Buruh Minta Asing Tak Campuri Kebijakan Tembakau Indonesia

Federasi Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan dan Minuman (FSP RTMM) SPSI menolak adanya dorongan pihak asing yang turut campur dalam kebijakan pertembakauan di Indonesia.

oleh Liputan6.com diperbarui 12 Des 2022, 10:45 WIB
Ilustrasi tembakau. Federasi Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan dan Minuman (FSP RTMM) SPSI menolak adanya dorongan pihak asing yang turut campur dalam kebijakan pertembakauan di Indonesia. (Foto: Ade Nasihudin/ liputan6.com).

Liputan6.com, Jakarta Federasi Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan dan Minuman (FSP RTMM) SPSI menolak adanya dorongan pihak asing yang turut campur dalam kebijakan pertembakauan di Indonesia.

Hal ini disampaikan Ketua FSP RTMM Sudarto menanggapi adanya gelaran 7th Asia Pacific Summit of Mayors yang diselenggarakan Asia Pacific City Alliance for Health and Development (APCAT) 1-3 Desember lalu.

Sudarto mengatakan bahwa indikasi intervensi asing dalam penyusunan kebijakan soal tembakau terpampang nyata. Salah satunya melalui gelaran 7th Asia Pacific Summit Mayors APCAT yang di dalamnya hadir sejumlah lembaga asing.

Menurut Sudarto, aliran dana yang dikucurkan oleh lembaga internasional untuk mengatur kebijakan tembakau di Indonesia telah menjadi rahasia umum.

“Aliran dana itu sudah banyak yang tahu. Tapi yang menyerang tembakau hanya memanfaatkan kucuran dana untuk kampanye tanpa memperhatikan kondisi pekerja. Bicara soal rokok kita harus lihat lebih dalam karena ada aspek pekerja. Kami sudah mengirim surat kepada Presiden Jokowi untuk menolak intervensi ini pada 2 Desember lalu,” ujar Sudarto dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (12/12/2022).

 

Sudarto menambahkan secara hukum pekerja telah jelas dilindungi oleh Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Apalagi, industri tembakau adalah industri yang legal.

“Yang berkumpul dalam acara itu antara lain beberapa kepala daerah, mereka seharusnya bersikap netral dan paham bahwa lapangan kerja itu terbatas. Mereka sendiri tidak bertanggung jawab menyediakan lapangan kerja. Situasi ekonomi juga masih tidak pasti, ancaman resesi global dan PHK massal harus diperhitungkan,” tegas Sudarto.

Sudarto juga menjelaskan terkait pengendalian tembakau sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) 109/2012 yang justru saat ini didorong untuk direvisi.

Padahal PP 109/2012 telah secara komprehensif mengatur soal pertembakauan. Ia yakin dorongan revisi PP 109/2012 juga turut ditunggangi lembaga-lembaga asing tanpa basis data dan fakta yang jelas.

“Kalau mau revisi, harusnya evaluasi terlebih dulu. Kalau implementasinya belum kuat, bukan berarti aturannya yang harus direvisi. Banyak aspek dalam PP ini, termasuk tenaga kerja. RTMM tidak antiregulasi, tapi harus dilihat situasinya” papar Sudarto.

 


Petani Tembakau Kepung Kantor Sri Mulyani, Ini 5 Tuntutannya

Seorang petani membawa daun tembakau di perkebunan tembakau di San Juan y Martinez, Provinsi Pinar del Rio, Kuba (24/2). Para peserta akan dibawa ke perkebunan tembakau terbaik di Pinar del Rio dan ke pabrik cerutu bersejarah. (AFP Photo/Yamil Lage)

Pemerintah memutuskan untuk menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) untuk rokok sebesar 10 persen pada 2023 dan 2024. Kenaikan cukai rokok ini dengan mempertimbangkan sejumlah aspek mulai dari tenaga kerja pertanian hingga industri rokok.

Namun kenaikan cukai rokok ini ternyata tidak diterima oleh petani tembakau. Kelompok petani, hari ini Senin (28/11/2022) lakukan unjuk rasa di depan Kementerian Keuangan pada pukul 09.00 WIB. Unjuk rasa yang dilakukan merupakan protes atas kenaikan tarif cukai 10 persen.

Ketua Umum  Dewan Pimpinan Nasional APTI Agus Parmuji menyebut ada 5 tuntutan yang dilayangkan kepada Kemenkeu, pertama instrumen kenaikan cukai berpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja.

"Salah satu kekuatan yang ampuh untuk membuat mati hidupnya petani cukai itu. Saat cukai dikerek naik otomatis berpengaruh pada serapan tembakau lokal, karena tembakau masih beli oleh industri rokok dan juga ruang industri. Tapi yg harus ada dukungan pemerintah pemerintah," ujar Agus, Jakarta (28/11/2022).

Kedua, pihaknya meminta rencana kenaikan cukai 10 persen di tahun 2023 dan 2024 untuk dirapatkan kembali. "Ada sebuah komponen sejumlah 3 juta pegawai/petani rokok yang bergantung kebijakannya dari kebijakan tersebut," terang dia.

Ketiga tentang pengaturan importasi tembakau karena infrastruktur kebijakan ketika pemerintah melindungi rakyat seharusnya. "Bagaimana rakyat bisa berdaulat di negeri sendiri dgn bahan baku dari luar negeri untuk diatur," kata dia.

Dia membeberkan menurut data APTI impor tembakau dari luar negeri itu sudah diluar ambang batas kedaulatan atau 50 persen lebih dari produksi nasional. Perlu diatur supaya rakyat bisa merdeka di negeri sendiri.

"Keempat untuk subsidi pupuk, selama ini kami sudah sakit karena kebijakan2 pemerintah karena petani tembakau itu seharusnya pemerintah berpikir panjang, hanya berhadapan dengan musim sekarang malah regulasi nasional menekan. Nah kita sudah sakit dicabutnya subsidi pupuk petani tembakau ZA," tandasnya.

Terakhir bagaimana perlindungan pada penyerapan tembakau nasional jadi selama ini gelombang impor menghantam Indonesia. "Petani tergerus juga oleh rokok yang tidak menggunakan bahan baku petani lokal. Contohnya rokok elektrik tidak menyerap petani tembakau lokal," imbuhnya.

"Petani minta keputusan dibatalkan, tapi kami tau ini ada proses. ini sekaligus angin segar agar permintaan kami segera diproses atau ditindaklanjuti," tambahnya. 


Tarif Cukai Rokok Naik 10 Persen di 2023 dan 2024

Sejumlah batang rokok ilegal diperlihatkan petugas saat rilis rokok ilegal di Kantor Direktorat Jenderal Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Pemerintah memutuskan untuk menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) untuk rokok sebesar 10 persen pada 2023 dan 2024. Kenaikan cukai rokok ini dengan mempertimbangkan sejumlah aspek mulai dari tenaga kerja pertanian hingga industri rokok.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, kenaikan tarif cukai hasil tembakau pada golongan sigaret kretek mesin (SKM), sigaret putih mesin (SPM), dan sigaret kretek pangan (SKP) akan berbeda sesuai dengan golongan.

“Rata-rata 10 persen, nanti akan ditunjukkan dengan SKM I dan II yang nanti rata-rata meningkat antara 11,5 hingga 11,75 (persen), SPM I dan SPM II naik di 12 hingga 11 persen, sedangkan SKP I, II, dan III naik 5 persen,” ujar Sri Mulyani usai rapat bersama Presiden Joko Widodo Bogor, Kamis (3/11/2022).

Kepada Sri Mulyani, Presiden Jokowi meminta agar kenaikan tarif tidak hanya berlaku pada CHT, tetapi juga rokok elektrik dan produk hasil pengolahan hasil tembakau lainnya (HPTL). Untuk rokok elektrik, Sri Mulyani menuturkan, kenaikan tarif cukai akan terus berlangsung setiap tahun selama lima tahun ke depan.

“Hari ini juga diputuskan untuk meningkatkan cukai dari rokok elektronik yaitu rata-rata 15 persen untuk rokok elektrik dan 6 persen untuk HTPL. Ini berlaku, setiap tahun naik 15 persen, selama 5 tahun ke depan,” lanjut Sri Mulyani. 


Mempertimbangkan Sejumlah Aspek

Ilustrasi kenaikan cukai rokok (Liputan6.com / Abdillah)

Dalam penetapan CHT, Menkeu mengatakan, pemerintah menyusun instrumen cukai dengan mempertimbangkan sejumlah aspek mulai dari tenaga kerja pertanian hingga industri rokok.

Di samping itu, pemerintah juga memperhatikan target penurunan prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun menjadi 8,7 persen yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024.

Pertimbangan selanjutnya, tambah Menkeu, yaitu mengenai konsumsi rokok yang menjadi konsumsi rumah tangga terbesar kedua setelah beras. Bahkan, konsumsi tersebut melebihi konsumsi protein seperti telur dan ayam.

“Yang kedua mengingat bahwa konsumsi rokok merupakan konsumsi kedua terbesar dari rumah tangga miskin yaitu mencapai 12,21 persen untuk masyarakat miskin perkotaan dan 11,63 persen untuk masyarakat pedesaan," kata dia. 

"Ini adalah kedua tertinggi setelah beras, bahkan melebihi konsumsi protein seperti telur dan ayam, serta tahu, tempe yang merupakan makanan-makanan yang dibutuhkan oleh masyarakat,” tambah Sri Mulyani.  

(Liputan6.com / Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya