Liputan6.com, Jakarta Pemerintah resmi menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok 10 persen. Kenaikan cukai rokok ini mulai direalisasikan pada tahun 2023 dan 2024 mendatang.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyerbut kenaikan tarif cukai rokok tersebut akan berpengaruh pada tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam hitungannya, kenaikan tarif cukai ini akan berdampak 0,01 percentage point (ppt) hingga 0,02 ppt bagi tingkat inflasi.
Advertisement
"Dampak terhadap inflasi sangat terbatas yaitu +0,01 ppt sampai +0,02 ppt," kata Sri Mulyani dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR-RI di Komplek Parlemen, Jakarta Pusat, Senin (12/12).
Tak hanya inflasi, kenaikan tarif cukai rokok juga memberikan andil terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Di memperkirakan dampaknya ke pertumbuhan ekonomi sebesar 0,01 ppt sampai 0,02 ppt.
"Dampak terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar -0,01 ppt sampai -0,02 ppt," kata dia.
Sri Mulyani menjelaskan, dengan kenaikan tarif cukai tersebut, maka indeks kemahalan rokok menjadi 12,46 persen di 2023 dan 12,35 persen di tahun 2024.
Selain itu, kenaikan tarif cukai tembakau ini menargetkan penurunan prevalensi perokok anak. Targetnya prevalensi perokok anak turun menjadi 8,29 persen pada 2023 dan 8,79 persen di tahun 2024.
"Prevalensi merokok pada anak menjadi 8,92 persen di 2023 dan 8,79 persen di 2024," kata dia.
Reporter: Anisyah Al Faqir
Sumber: Merdeka.com
Industri Rokok Minta Pemerintah Tunda Kenaikan Cukai 2023-2024
Para Pelaku industri hasil tembakau (IHT) di tanah air, yang tergabung dalam berbagai organisasi seperti Gaprindo (Gabungan produsen rokok putih Indonesia) dan Formasi (Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia) meminta pemerintah meninjau kembali kebijakan kenaikan cukai rokok tahun 2023 dan 2024 rata rata sebesar 10 persen lebih.
Selain kondisi ekonomi masyarakat masih sangat berat sebagai dampak dari kenaikan bahan bakar minyak (BBM), dan pendemik Covid 19 yang belum reda, juga karena saat ini sudah masuk resesi ekonomi dunia akibat situasi politik global yang terus memanas. Sementara masa depan perekonomian di tanah air dan dunia juga masih dilanda ketidakpastian.
Dalam situasi seperti ini, harusnya ada kelonggaran dari pemerintah. Bukan justru semakin dipersulit dengan kenaikan cukai sebesar 10 persen lebih.
Sekiranya pemerintah sedang membutuhkan dana untuk pembangunan, sehingga harus menaikan cukai, maka kenaikannya tidak lebih dari 7 persen. Selain itu kenaikan cukai juga harus diikuti pemberantasan rokok illegal.
Hal tersebut disampaikan Ketua Gaprindo, Benny Wahyudi dan Ketua Formasi Heri Susianto.
“Saat ini situasinya berat dengan adanya berbagai kenaikan biaya di industri. Situasi ini sangat beda dari yang normal, jadi situasinya sangat tidak normal. Pandemi pun belum selesai, masih ada saja kasus baru (terinfeksi Covid 19 yang jumlahnya mencapai) 6000-7000 kasus," kata Benny, dikutip Sabtu (25/11/2022).
"Saya benar-benar tidak tahu, apakah memang IHT ini sudah tidak diperhatikan (pemerintah)? Yang jelas, kalau tidak diperhatikan, kontribusi IHT kepada perekonomian atau penerimaan negara itu kan lebih dari 10 persen. Cukainya saja tahun ini diperkirakan lebih dari 200 trilyun," lanjut dia.
Bagi Gaprindo, menurut Benny Wachjudi kenaikan cukai rokok tahun ini terlalu tinggi. Karena kenaikan ini sudah dari tahun ke tahun naiknya dari tahun 2020, 2021, 2022 dan selalu tinggi kenaikannya. Ini mengakibatkan produksi kita menurun.
Advertisement
Produksi Rokok Bisa Turun
Lebih lanjut Benny menjelaskan, dengan adanya kebijakan kenaikan cukai rokok di atas 10 persen yang kembali akan diberlakukan Pemerintah di tahun 2023 dan 2024, kemungkinan besar akan semakin menurunkan jumlah produksi rokok putih. Jika dilihat produksinya dari tahun 2017, year on year Oktober 2017, kira-kira jumlah produksinya mencapai 17,4 miliar batang.
Saat ini tahun 2022 year on year, tinggal 10,4 miliar batang. Dalam waktu 5 tahun penurunan jumlah produksi mencapai 7 milyar. Karena itu, kebijakan pemerintah menaikan cukai rokok, kemungkinan besar akan kembali menurunkan jumlah produksi rokok putih.
“Kenaikan cukai rokok pengaruhnya sangat berat bagi kami. Karena kita mengalami kemunduran dari segi produksi saja turun. Mungkin di tahun depan juga turun antara 8-9 persen lagi. Jelas (Kenaikan cukai rokok) itu berdampak (pada penurunan produksi dan penjualan). Kalau tahun sebelumnya di tahun 2017 masih 17 miliar. Kalau tahun ini dengan pemberian cukai kesatu saja itu kira-kira penjualannya hanya 10,4 miliar. Jadi jelas ada penurunan penjualannya,” papar Beny.
Lebih lanjut dia menjelaskan, menurut informasi yang diterima pihaknya, kenaikan cukai rokok di tahun 2023 mendatang, sigaret putih mesin (SPM) kenaikan cukai rokoknya paling tinggi. Bahkan lebih tinggi dari sigaret kretek tangan (SKT). Meskipun pangsa pasar SPM terus mengalami penurunan.
Kalau tahun 2017 pangsa pasar SPM masih di atas 5 persen, year on year Oktober 2022 masih 5,11 persen. Saat ini pangsa pasarnya dibandingkan rokok kretek mesin atau tangan, SPM ini pangsa pasarnya tinggal 3,07 persen. Produksi dan pangsa pasar mengalami penurunan karena pembebanan kenaikan cukainya paling besar.
“Sayangnya kita (Gaprindo) belum punya (menerima) PMK (peraturan menteri keuangan)nya. Kalau kita lihat dan bandingkan dengan sigaret kretek tangan atau sigaret kretek mesin,” keluh Benny Wahyudi.
Terjadi PHK
Benny Wahyudi juga membantah statement yang menyebutkan kenaikan cukai rokok dua tahun ke depan secara berturut turut tidak akan berakibat pada pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan di lingkungan IHT. Menurutnya, kemungkinan pengurangan pegawai atau PHK akibat kenaikan cukai rokok di dua tahun berturut turut tidak tertutup dilakukan IHT.
“Pengurangan pegawai mungkin saja bisa terjadi, namanya juga efisiensi. Karena pastinya pendapatan menurun, pasti akan ada efisiensi. Seberapa besar dan di level mana saya juga kurang paham. Tapi yang jelas kalau pengurangan itu bisa saja, misalnya mengurangi shift kerja dari 3 shift menjadi 2 shift, karena memang yang dijual tidak ada,” papar Benny Wahyudi.
Hal senada disampaikan Ketua Formasi Heri Susianto. Menurutnya, anggotanya tidak menutup kemungkinan terjadinya PHK karyawan, demi melakukan efisiensi akibat kenaikan cukai rokok yang terus menerus.
Menurut Benny Wahyudi, pihak produsen rokok juga tidak ingin terjadi PHK karyawan atau pegawai. Sebab, industri rokok juga sangat bergantung pada pegawai. Namun, tak ada pilihan lain, demi efisien, jika pemerintah terus menaikan cukai rokok yang membuat harga rokok menjadi jauh lebih mahal dan pembelian rokok oleh masyarakat semakn berkurang, pihaknya harus melakukan PHK.
“Makanya kita berupaya agar masih bisa bertahan. Kita pasti akan melakukan penghematan-penghematan, misalnya mengurangi shift, mencari penjualan lain seperti ekspor. Meski hal ini tidaklah mudah karena negara tujuan ekspor juga menerapkan pembatasan terhadap IHT ini,” ujar Benny Wahyudi.
Advertisement