Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Hukum dan HAM berusaha untuk meluruskan hingar-bingar terkait KUHP yang baru. Media-media asing serta kelompok HAM internasional memberikan sentimen negatif.
Dua pasal yang ramai disorot adalah soal seks di luar nikah (zina) dan tinggal bersama (kohabitasi) bagi pasangan yang belum menikah. Itu dikhawatirkan mengurangi turis yang akan datang ke Indonesia.
Advertisement
Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej menjelaskan bahwa pasal-pasal tersebut bersifat absolut, sehingga tak bisa hanya satu pihak saja yang dilaporkan. Artinya, apabila orangtua si A melaporkan hubungan A dan B, maka si A juga harus diproses hukum.
"Soal zina dan kohabitasi, sebetulnya persoalan zina tak ada permasalahan. Toh, pasal ini sudah ada dalam pasal 284 KUHP yang lama. Dan dia adalah delik aduan yang absolut," ujar Edward dalam konferensi pers hybrid bersama Kementerian Luar Negeri, Senin (12/12/2022).
Edward berkata soal kohabitasi masih ada permasalahan, namun ia menjamin para turis tidak akan terdampak, sebab pelapor harus keluarga dekat.
Lantas bagaimana jika bule berhubungan dengan warga lokal kemudian dilaporkan orangtua warga tersebut? Edward menyebut hal itu bisa terjadi, namun laporan tidak bisa sepihak.
"Apa makna delik aduan yang absolut? Delik aduan yang absolut itu pengaduan tidak boleh dipisah. Apa maksudnya pengaduan tak boleh dipisah? Kalau orangtua itu mengadukan si bule itu, maka orang itu harus juga merelakan anaknya masuk penjara," jelas Edward.
"Maka kembali pertanyaan apa ada orangtua yang merelakan anaknya masuk penjara? Jadi tak bisa dia mengadukan bule itu saja. Itu makna pengaduan absolut. Pengaduan tak boleh dipisah," kata Wamenkumham.
Indonesian Way
Lebih lanjut, Wamenkumham menjelaskan bahwa memang ada daerah-daerah yang pro-kontra. Edward berkata ada satu daerah yang menolak pasal KUHP kontroversial itu karena dinilai terlalu memasuki ranah pribadi.
Namun, Edward berkata daerah Sumatra Barat menuntut agar pasal KUHP yang mengganggu privasi ini supaya diperluas, pasalnya delik aduan dinilai terlalu terbatas.
Edward berkata di Parlemen juga ada pro dan kontra. Ada fraksi yang meminta aturan ini dicabut saja dar RUU, sementara fraksi Islam menolak.
Fraksi-fraksi Islam di Parlemen menolak penghapusan pasal KUHP yang mengganggu privasi itu dihapus dari RUU KUHP dengan alasan moral.
"Ada sebagian fraksi, terutama fraksi-fraksi Islam, mengatakan bahwa ini adalah moral value dan tidak mungkin ini kemudian di-take out," jelas Edward.
Edward menyebut pemerintah mengambil "Indonesian way" agar ada kompromi. Delik aduan pun dipilih sebagai tengah-tengah.
KUHP ini pun dinilai mampu mencegah aksi main hukum sendiri seperti penggrebekan atau sweeping.
"Tidak boleh ada peraturan daerah yang menyatakan ini sebagai delik biasa. Kalau ada peraturan daerah maka harus delik aduan. Kalau delik aduan maka impossble ada penggrebekan," ujar Edward.
Advertisement
Bali Potensi Kehilangan 1 Juta Turis Australia Gara-Gara KUHP
Sebelumnya dilaporkan, pakar Hukum dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah menilai, mispersepsi terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terbaru berpotensi membuat Indonesia kehilangan banyak turis asing, utamanya Bali yang kerap jadi surga wisatawan mancanegara, khususnya Australia.
Dalam hal ini, sejumlah media asing menyoroti pasal zina yang tertera dalam KUHP tentang extra marital sex (sex di luar nikah).
Kendati Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly telah menjelaskan tak mungkin seseorang diproses hukum bila tak ada laporan keluarga dekat, tapi publik sudah kadung salah memahami.
Terlebih, Trubus mengatakan, pasal karet seperti itu cenderung rawan untuk dimainkan sejumlah pihak.
"Ini kegagalan pemerintah dalam mensosialisasikan RUU KUHP yang disahkan menjadi UU KUHP. Meskipun dijelaskan di situ (pasal zina KUHP) hanya keluarganya yang bisa melaporkan, tetapi dalam praktiknya enggak seperti itu. Nanti ada orang yang mengaku, saya dari keluarganya," ujarnya kepada Liputan6.com, Jumat (9/12).
Takut Ditangkepin
Trubus menegaskan, KUHP baru ini memang akan berdampak buruk terhadap banyak aspek, salah satunya sektor pariwisata Indonesia. Ini sudah menjadi bukti ketika Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia mengeluarkan travel warning bagi warganya yang hendak melancong ke Indonesia.
"Apalagi Australia langsung mengeluarkan travel warning. Karena setiap tahun, apalagi sekarang Desember mau akhir tahun, minimal 1 juta warga Australia berada di Bali. Minimal loh itu," kata Trubus.
Menurut dia, kasus KUHP saat ini punya kesamaan dampak dengan diterbitkannya Undang-Undang (UU) Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
"Itu akhirnya di Bali kan enggak boleh ditetapkan, karena kalau orang mempertontonkan payudara jadi porno, itu di Bali di Pantai Kuta banyak sekali, masa nanti ditangkepin semua," sebutnya.
"Kita boleh berdebat ini melanggar norma kesusilaan. Tapi ini harus diurai dalam konteks global sekarang. Jadi UU ini relevan dengan dunia sekarang," pungkas Trubus.
Advertisement