Remy Sylado Meninggal Dunia, Kenang Warisan Karyanya

Sastrawan Remy Sylado dilaporkan meninggal dunia hari ini, Senin (12/12/2022).

oleh Asnida Riani diperbarui 12 Des 2022, 14:07 WIB
Remy Sylado. (dok. YouTube)

Liputan6.com, Jakarta - Kepergian sastrawan Remy Sylado tengah meninggalkan dekapan duka mendalam. Selain keluarga, sahabat, dan teman terdekat, emosi serupa juga tentu dirasakan para penikmat karyanya.

Sebelumnya, kanal Regional Liputan6.com melaporkan, kabar Remy Sylado meninggal dunia disampaikan Fadli Zon lewat unggahan Twitter-nya, Senin (12/12/2022). "Selamat jalan bang Remy Sylado. Baru beberapa hari lalu ngobrol tentang Elvis Presley dan manajernya Kolonel Tom Parker. RIP," cuit Fadli.

Remy pun meninggalkan banyak warisan berupa ragam karya. Melansir laman Ensiklopedia Kemendikbud, seniman serba bisa ini dikenal sebagai pelopor puisi mbeling. Itu merupakan bagian dari gerakan mbeling yang dicetuskan Remy untuk mendobrak sikap rezim Orde Baru yang dianggap "feodal dan munafik."

Benih gerakan tersebut mulai disemai pemilik nama lengkap Yusbal Anak Perang Imanuel Panda Abdiel Tambayong ini pada 1971 ketika ia mementaskan dramanya yang berjudul Messiah II di Bandung. Namun, waktu itu istilah mbeling belum diperkenalkan.

Sebutan itu baru dipopulerkan pada 1972 ketika Remy mementaskan dramanya Genessis II, juga di Bandung. Dalam undangan pertunjukan drama itu, Remy menyebut teaternya sebagai teater mbeling

Secara ringkas, gerakan puisi mbeling bermaksud mendobrak pandangan estetika yang menyatakan bahwa bahasa puisi harus diatur dan dipilih-pilih sesuai stilistika yang baku. Pandangan ini, menurut gerakan puisi mbeling, hanya akan menyebabkan kaum muda takut berkreasi secara bebas.

Karena itu, pihaknya menyuarakan bahwa bahasa puisi dapat saja diambil dari ungkapan sehari-hari, bahkan yang dianggap "jorok" sekalipun. Alih-alih bahasa, indikatornya lebih kepada apakah puisi dapat menggugah kesadaran masyarakat atau tidak, berfaedah bagi masyarakat atau tidak. 

 


Gerakan Puisi Mbeling

Ilustrasi menulis puisi. (Photo by Álvaro Serrano on Unsplash)

Dalam kamus gerakan puisi mbeling, tidak ada istilah major art atau minor art. Dalam salah satu kata pengantarnya di rubik Puisi Mbeling, sebagaimana dicatat Sapardi Djoko Damono, Remy mengungkap bahwa dramawan dan penyair Rustandi Kartakusuma frustrasi karena karya-karyanya tidak dibicarakan H.B. Jassin.

Karena itu, dalam nasihatnya pada kaum muda calon penyair, Remy menyebut, "Kamu jangan tawar hati jika puisimu tidak ditanggapi. Satu sikap yang harus kaumiliki sekarang adalah bagaimana kautampilkan di muka untuk sekaligus membicarakan puisimu."

"Puisi adalah pernyataan akan apa adanya. Jika puisi adalah apa adanya, dengan begitu terjemahan mentalnya hendaknya diartikan bahwa tanggung jawab moral seorang seniman adalah bagaimana ia memandang semua kehidupan dalam diri dan luar lingkungannya secara menyeluruh, lugu, dan apa adanya ... Tapi, tanggung jawab penyair yang pertama adalah bahwa sebagai seniman, ia harus memiliki gagasan," ia menyambung.

Sepak terjangnya tentu tidak berhenti di situ. Semasa usianya, Remy telah dikenal sebagai penyair, novelis, cerpenis, dramawan, kritikus sastra, pemusik, penyanyi, penata rias, aktor, ilustrator, wartawan, dan dosen.


Catatan Karier

Remy Sylado. (via freedom institute)

Pemilik nama asli Japi Panda Abdiel Tambajong ini lahir pada 12 Juli 1943 di Malino, Makasar, Sulawesi Selatan, dari keluarga gereja Christian and Missionary Alliance. Ia menamatkan sekolah dasarnya di Makasar. Pada 1954, ia melanjutkan sekolahnya ke Semarang dan lulus SMA tahun 1959.

Di Semarang, Remy sempat bermain dalam drama berjudul Midsummer Night's Dream karya Shakespeare. Tahun 1959—1962, ia belajar di Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI), Solo, dan di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), Solo, kemudian Akademi Bahasa Asing (Jakarta).

Kegiatannya di bidang jurnalistik antara lain jadi wartawan harian Sinar Harapan, redaktur pelaksana harian Tempo di Semarang, majalah Top, majalah Fokus, dan redaktur majalah Vista. Remy juga jadi dosen di Akademi Sinematografi Bandung sejak 1971.

Ia adalah redaktur pertama rubrik Puisi Mbeling dalam majalah Aktuil di Bandung (1972—1975). Bulan Agustus 1968, Remy berkunjung ke Bandung dan bertemu Fred Wetik, salah seorang tokoh di Akademi Teater dan Film (ATF) Bandung.

Pada tahun itu, Jim Lim, yang merupakan pemimpin ATF, sudah berangkat ke Prancis. Grup Teater 23761 inisiasi Remy baru dibentuk akhir tahun 1969. Yang tergabung di dalamnya adalah partisan Jim Lim dan mahasiswa Akademi Sinematografi yang berjumlah sekitar 50 orang. Di akademi itu, Remy mengajarkan bidang dramaturgi, ikonografi, bahkan makeup. Remy juga pernah bermain dalam beberapa film layar lebar.


Daftar Karya

Ilustrasi Drama Credit: unsplash.com/Giano

Panjang perjalanan karier Remy, catatan karyanya antara lain:

Puisi

1. Kerygma (1999),

2. Puisi Mbeling Remy Sylado (2004), dan

3. Kerygma dan Martryria (2004).

Prosa (Novel)

1. Gali Lobang Gila Lobang (1977),

2. Kita Hidup Hanya Sekali (1977),

3. Orexas (1978),

4. Ca Bau Kan: Hanya Sebuah Dosa (1999),

5. Kembang Jepun (2002),

6. Kerudung Merah Kirmizi (2002),

7. Pariys van Java (2003),

8. Menunggu Matahari Melbourne (2004),

9. Sampo Kong (2004),

10. Mimi Lan Mintuna (2007),

11. Namaku Mata Hari (2010), dan

12. Hotel Prodeo (2010).

Drama

1. Siau Ling (2001),

2. Jalan Tamblong: Kumpulan Drama Musik (2010), dan

3. Drama Sejarah 1832 (2012).

Film

1. Tinggal Sesaat Lagi (1986),

2. Akibat Kanker Payudara (1987),

3. Dua dari Tiga Laki-laki (1989),

4. Taksi (1990),

5. Blok M (1990),

6. Pesta (1991),

7. Tutur Tinular IV [Mendung Bergulung di Atas Majapahit] (1992),

8. Capres (2009),

9. Bulan di Atas Kuburan (2015), dan

10. Senjakala di Manado (2016).

Non-fiksi

1. Dasar-Dasar Dramaturgi,

2. Mengenal Teater Anak,

3. Menuju Apresiasi Musik,

4. Sosiologi Musik, dan

5. Ensiklopeia Musik.

Dari buah pikiran di berbagai medium, Remy telah menerima penghargaan, yakni:

1. Juara II Lomba melukis tingkat SR (SD) se-Semarang (1956),

2. Juara I menyanyi meniru suara Elvis Presley di Semarang (1961),

3. Juara II menyanyi meniru suara Pat Boone di Semarang (1961),

4. Juara I menyanyi meniru suara Louis Armstrong di Semarang (1962),

5. Nominasi aktor terbaik di FFI dalam film Tinggal Sesaat Lagi (1986),

6. Nominasi aktor terbaik di FFI dalam film Akibat Kanker Payudara (1987),

7. Nominasi aktor terbaik di FFI dalam film Dua dari Tiga Laki-laki (1988),

8. Peraih Piagam Apresiasi dari Walikota Solo untuk Bidang Lukis (1989),

9. Man of Achievement dalam Who's Who in Asia and Pacific (1991),

10. Peraih Khatulistiwa Literary Award: Kerudung Merah Kirmizi (2002),

11. Peraih Anugrah Indonesia untuk bidang musik (2008),

12. Aktor terpuji di FFB dalam film Bintang Idola (2004),

13. Peraih penghargaan MURI untuk bidang puisi Kerygma & Martyria (2004),

14. Peraih Satya Lencana Kebudayaan dari Negara/Presiden (2005),

15. Peraih Penghargaan Sastra Terbaik Pusat Bahasa dalam “Kerudung Merah Kirmizi” (2006),

16. Penerima Piagam Apresiasi Masyarakat Budaya Minahasa (2007),

17. Penerima Piagam Piagam PAPPRI untuk Bidang Kritik Musik (2008),

18. Peraih Braga Award (kepelaporan musik sastra) dari Gubenrnur Jawa Barat (2009),

19. Peraih Sastra Bermutu melalui Can Bau Kan dari Komunitas Nobel Indonesia (2011),

20. Penerima Piagam Kebudayaan (kepelaporan teater) dari Gubenrnur Jawa Barat (2012),

21. Penerima Piagam Brawijaya dari Pangkima Kodam Brawijaya (2013),

22. Peraih Penghargaan Achmad Bakrie Bidang Sastra dari Freedom institute (2013), dan

23. Penerima Piagam Penghargaan Kerukunan Keluarga Kawuna (2013).

Wayang Potehi menjadi salah satu warusan seni budaya Tionghoa - Jawa

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya