Liputan6.com, Jambi - Semasa Saiful Amran masih remaja, saban hari ia dan para nelayan di desanya biasa kembali ke rumah mereka dengan perahu penuh ikan. Sekitar puluhan kilogram ikan air tawar mereka bawa pulang. Tapi kini mereka hampir tidak bisa membawa penuh hasil tangkapannya.
“Penangkapan ikan kami sangat buruk, dan sekarang ini sayo pikir sudah berkurang banyak,” kata Saiful Amran kini berusia 45 tahun.
Advertisement
Saya menemui Saiful saat dia menjual hasil tangkapannya hari itu kepada seorang tengkulak di sebuah rumah panggung di tepi Sungai Kumpeh, Desa Arang-Arang, Kecamatan Kumpeh, Kabupaten Muaro Jambi. Bersama perahu kecil yang jadi andalannya itu, Saiful membawa satu ember kecil berisi hasil tangkapannya.
Dayung pun ia letakkan. Ketika telah menepi ke darat, Saiful langsung menghampiri Budiman–tengkulak hasil tangkapan ikan dari para nelayan di desa itu. Tak menunggu lama, Budiman lantas berbegas menimbang hasil tangkapan milik Saiful.
“Tidak ada ikannya. Belut semua isinya dan ini sudah ditimbang beratnya 4,5 kilogram,” kata Budiman usai menimbang hasil tangkapan milik Saiful, Senin 31 Oktober 2022 di depan rumahnya.
Seharian penuh menyusuri sungai, danau dan lopak (anak danau), Saiful pulang hanya membawa tangkapan belut. Hari itu usai hasilnya masuk timbangan, dia mengantongi duit sekitar Rp80 ribu dari hasil belut tangkapannya itu.
“Harus sayo syukuri, meskipun sekarang ini adalah masa yang sulit mencari ikan,” kata Saiful dengan logat dialek kumpeh yang medok itu.
Saiful ingat betul dulu nelayan di desanya begitu ramai. Sebagian besar warga di desanya mencari ikan sungai, danau, rawa, dan lopak (anak danau). Bahkan dalam waktu sehari mereka bisa membawa pulang ikan mencapai puluhan kilogram.
Beragam jenis ikan sungai sering mereka bawa pulang. Seperti; gabus, toman, tembakang, serandang, belut, betok, jale, bujuk, sepat, ridi angus, seluang hijau, lambak, bayas, dan ikan ruwan. Hasil tangkapan jadi menu makan warga atau jika hasilnya lebih mereka menjualnya ke pengepul.
Ikan-ikan khas air tawar itu mereka tangkap menggunakan alat perangkap tradisional khas masyarakat Melayu Jambi, yang dinamakan garugu atau lukah (alat tangkap tradisional dari rotan/bambu).
“Kalau dulu dak tukang (susah untuk disebut) banyaknya ikan. Dulu pernah sehari itu dapat 40 ekor toman yang ukurannya satu ekor itu sampai dua kilogram,” ucap Saiful.
Sekarang keadaan berbalik. Satu dekade yang lalu, masyarakat Kumpeh terkenal dengan hasil tangkapan ikan dari sungainya dan mereka tidak pernah beli ikan segar. Ikan begitu mudah mereka dapatkan dari sungai dan danau.
Mereka dulu terkenal tak pernah kebingungan mencari sumber protein. Sebuah kajian yang dilakukan lembaga non-profit yang fokus pada isu lingkungan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi mengungkapkan bahwa Kecamatan Kumpeh terkenal sebagai daerah penghasil ikan sungai. Bahkan dalam satu malam, ikan yang dikirim dari daerah itu bisa mencapai 3 ton per malam.
Namun kini sungai dan rawa tempat bersarangnya ikan sudah hancur akibat masifnya perusahaan perkebunan kelapa. Tempat pemijahan dan sarang ikan sudah sulit ditemui dan hancur.
Kondisi ini kata Saiful, telah mengakibatkan nelayan telah berhenti memancing, menangkap ikan dan menanggalkan profesi mereka. Keluarga nelayan tersebut berasal dari Kumpeh, sebuah kecamatan di Provinsi Jambi yang dulunya terkenal sebagai daerah penghasil komoditi ikan air tawar.
Kisah Saiful mencerminkan dengan apa yang dikatakan keluarga nelayan lain di Kumpeh. Kondisi berkurangnya tangkapan ini telah dikatakan banyak nelayan selama bertahun-tahun dan kehidupan nelayan pun kian tertekan.
“Kini bisa dikatakan untuk cari sikok (satu ekor) pun payah,” ucap Saiful sembari membakar rokok di bibirnya.
Dulu, kata Saiful, hampir merata penduduk di desa itu adalah nelayan. Namun sejak satu dekade kehidupan nelayan kian tertekan. Setelah perusahaan perkebunan kelapa sawit merangsek ke desa mereka, pendapatan ikan harian terus menurun, memaksa banyak orang untuk bermigrasi untuk pekerjaan di perusahaan.
Saiful adalah satu diantara belasan nelayan yang masih bertahan mencari ikan. Meski profesinya sebagai nelayan sungai kini kurang menjanjikan secara ekonomi, ia mengaku masih bertahan lantaran tidak berminat untuk bekerja sebagai buruh perusahaan di desanya.
“Sekarang yang masih aktif cari ikan bisa dihitung pakai jari, tidak sampai 20 orang,” kata Saiful.
Desa Arang-arang adalah salu desa gambut di Kabupaten Muaro Jambi. Desa ini pada sisi timur dan barat diapit oleh dua perusahaan perkebunan kelapa sawit.
Saat ini, Desa Arang-arang dihuni 1.700 jiwa. Sekretaris Desa Arang-arang Ridwan mengatakan, dari total jumlah penduduk tersebut saat ini yang masih bertahan berprofesi sebagai nelayan hanya sekitar 20 orang.
"Selebihnya warga kami banyak yang jadi petani dan alih profesi menjadi buruh di perusahaan kebun sawit yang ada di desa," kata Ridwan yang mengakui bahwa kehidupan nelayan di desanya telah berubah.
Tak hanya kehidupan nelayan yang berubah, Ridwan menjelaskan, budaya lelang ikan di sungai yang ada di desa mereka juga semakin ditinggalkan. Masyarakat Desa Arang-arang dulu dikenal memiliki sistem lelang ikan di sungai, namun karena ikan yang semakin berkurang membuat peminat lelang juga tak lagi melirik sistem tersebut.
“Kalau dulu lelang desa kami ini sangat ramai yang nawar. Sekarang hanya satu, dua, tiga orang saja, mereka tidak mau rugi karena ikan semakin sedikit,” kata Ridwan.
Selain Sungai Kumpeh, Desa Arang-arang kata Ridwan, memiliki 5 anak sungai dan 7 lokap (anak danau). Sungai-sungai tersebut kini, Ridwan menjelaskan, keadaannya memprihatinkan dan kondisinya banyak ditutupi gulma dan alga.
Apa yang dialami masyarakat nelayan di Desa Arang-arang itu ditengarai akibat eksploitasi ekosistem gambut oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit. Belum lagi penggunaan pupuk kimia secara berlebihan ditengarai bisa memicu pencemaran air dan mengganggu ekosistem di dalamnya.
Daya Jelajah Nelayan Semakin Sempit
Di halaman depan dan samping rumah Budiman, drum plastik yang biasa digunakan sebagai wadah ikan itu jumpalitan, isinya kerontang. Dari belasan drum itu hanya dua drum yang berisi ikan.
Budiman sudah lima tahun menjadi seorang penampung ikan hasil tangkapan nelayan. Sebagai orang yang bergantung pada hasil tangkapan, nelayan itu merasakan betul ikan berkurang drastis dalam beberapa tahun terakhir.
Jika dulu dalam satu malam ia bisa membawa 2 pikul atau 200 kg ikan hasil tangkapan nelayan untuk dijual ke Pasar Angso Duo, pasar induk di Kota Jambi, sekarang berkurang lebih dari separuh.
“Sekarang yang dibawa ke pasar hanya 20 kilogram, dua hari sekali. Untuk penghasilan ikan ini memang menurun terutama sejak perusahaan-perusahaan masuk,” kata Budi.
Saiful Amran, seorang nelayan langganan Budi, memperkuat pernyataan tersebut. Dia mengamini sejak lahan gambut dibabat perusahaan, ekosistem di sekitarnya terdampak. Pendapatannya dari mencari ikan sudah tak pasti.
Dia, yang saban hari menyusuri sungai, merasakan perubahan kondisi sungai. Saat ini gulma dan rumput liar tumbuh begitu cepat di badan-badan sungai. Saiful menduga hal ini disebabkan oleh penggunaan pupuk kimia.
Selain itu, alih fungsi gambut menjadi kebun sawit mendorong para investor untuk memproteksi wilayah konsesinya atas nama keamanan. Padahal kawasan itu yang di dalamnya ada sungai–sejak lama menjadi wilayah jelajah para nelayan.
“Sekarang akses kami terbatas. Kalau dulu itu sebelum ada perusahaan itu kami bisa leluasa mencari ikan,” kata Saiful.
Syahroma Husni Nasution dari Organisasi Riset Kebumian dan Maritim pada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengatakan, ikan di perairan kumpeh, selain sebagai sumber protein protein juga sebagai sumber ekonomi rumah tangga nelayan.
Namun saat meneliti di Kumpeh, Syahroma menyebut, kondisi perairan di sana sudah didominasi gulma di beberapa titik. Kondisi ini bisa diakibatkan oleh aktivitas perusahaan yang menggunakan pupuk kimia.
“Jadi ada eutrofikasi perairan, atau penyuburan gulma di perairan, akibat pupuk kimia. Ini kalau sudah mendominasi bisa menyebabkan volume air jadi berkurang dan dampak terburuk bisa mematikan perairan,” kata Dr Syahroma kepada Liputan6.com, Kamis (24/11/2022).
Perubahan alam serta kerusakan lingkungan akibat kegiatan eksploitatif tak cuma berdampak pada perubahan lanskap. Kondisi itu berdampak juga pada aktivitas nelayan dan penampung hasil ikan yang menggantungkan sungai dan danau.
Analisis spasial menggunakan platform Global Forest Watch menunjukan di Kabupaten Muaro Jambi perkebunan kelapa sawit menjadi sektor yang paling mendominasi. Perkebunan kelapa sawit mewakili area perkebunan terbesar berdasarkan tipe dengan luas mencapai 194 ribu hektare dan menguasai 35 persen dari luas lahan.
Sementara itu, Manajer Advokasi, Kajian, dan Penguatan Informasi Walhi Jambi, Eko Mulyo Utomo, menilai apa yang dialami nelayan sungai di desa disebabkan oleh sistem tata kelola yang seringkali tidak mendukung akibat alih fungsi hutan menjadi perkebunan monokultur. Kondisi ini semakin diperparah dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan yang semakin rusak.
Ekosistem rawa gambut, kata Eko, selain menjadi tumpuan pertanian juga menjadi penopang nelayan. Luas kawasan gambut di Provinsi Jambi mencapai 716.838 hektare. Namun sayangnya, hasil analisis Walhi Jambi menyebutkan sekitar 70 persen atau 400 ribu hektare lahan gambut telah dibebankan izin dan kehilangan daya dukung.
Daya dukung lingkungan yang dimaksud Eko adalah kemampuan lingkungan untuk mendukung kehidupan manusia, termasuk keanekaragaman hayati di dalamnya.
Bagi masyarakat nelayan, daya dukung lingkungan kata Eko sangat penting. Bila daya dukung lingkungan tidak baik, maka bisa dipastikan berdampak menurunnya produktivitas tangkapan ikan sehingga para nelayan secara perlahan beralih menjadi buruh.
“Banyak faktor yang menyebabkan produktivitas nelayan kita ini menurun, tapi yang paling utama itu soal daya dukung lingkungan,” ujar Eko, Rabu (26/10/2022)
Kepala Bidang Perairan Umum dan Penguatan Daya Saing Nelayan pada Dinas Perikanan Kabupaten Muaro Jambi, Sukadi, mengakui kondisi nelayan di Kumpeh semakin tertekan karena populasi ikan di perairan umum semakin berkurang.
“Saat ini (lubuk) sarang-sarang ikan sudah mulai hilang,” kata Sukadi, Senin (21/11/2022)
Selain faktor kerusakan lingkungan, menurut dia, berkurangnya populasi ikan itu juga disebabkan oleh penggunaan alat tangkap yang tak ramah. Saat ini, selain memberikan bantuan alat tangkap ramah lingkungan, pihaknya juga akan menawarkan solusi untuk program restocking atau menyebarkan kembali jenis-jenis ikan yang menurut historisnya mendiami perairan itu.
“Saya pikir salah satu cara adalah restocking, tapi ini bukan jadi kewenangan kami, sehingga ini perlu koordinasi dengan Pemprov Jambi,” ujar Sukadi.
Advertisement
Daftar Ikan Air Tawar Terancam Punah
Jambi--provinsi yang berjuluk “Sepucuk jambi sembilan lurah” menjadi salah satu titik biodiversitas ikan air tawar terbanyak di Indonesia. Hasil penelitian seorang peneliti ikan air tawar dari Universitas Jambi, Dr Tedjo Sukmono, mencatat sebanyak 320 spesies ikan hidup tersebar, mulai di rawa, danau–gunung dan hutan, hingga sungai.
Namun, di tengah beragamnya spesies ikan air tawar ini, yang tak bisa dianggap sepele adalah soal degradasi lingkungan. Potensi keragaman spesies ikan air tawar ini bisa berkurang jika kondisi kerusakan lingkungan di perairan tidak segera diatasi.
Tedjo Sukmono, yang tergabung dalam Masyarakat Iktiologi Indonesia (MII), sebuah organisasi para ilmuwan iktiologis–cabang ilmu yang mempelajari khusus tentang ikan dan spesiesnya. Dalam sebuah risetnya Tedjo mengungkapkan sedikitnya 12 spesies ikan air tawar di Jambi dalam kondisi mengkhawatirkan. Iktiologis merupakan sebuah.
Dari belasan spesies ikan tersebut, diantaranya tiga spesies masuk status terancam punah (endangered), yakni; arwana silver, putak, dan belida.
Kemudian tiga ikan lainnya masuk status hampir terancam (near threatened), yakni ikan parang bengkok, lais kaca, dan sepat mutiara. Sedangkan, ikan kerapu rawa, tilan, flying fox, botia dalam risiko rendah (least concern). Selain itu, radiangus dan gurami coklat sudah sulit ditemukan, sehingga masuk status belum dievaluasi (not evaluate).
Dampak aktivitas antropogenik seperti alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit dan kerusakan lingkungan ditengarai menjadi biang kerok langkanya ikan-ikan air tawar tersebut. Penggunaan pestisida dan pupuk kimia secara masif untuk perkebunan serta penangkapan ikan menggunakan racun dan setrum menjadi penyebabnya.
“Kalau bicara masalah kesehatan sungai banyak faktornya, salah satunya alih fungsi hutan. Perairan itu bisa bagus kalau (hutan) sekitarnya terjaga. Tapi kalau hutan rusak, maka tidak ada material penahan dan langsung ke perairan menyebabkan dangkal dan kondisi ini tidak memungkinan bagi biota itu sendiri,” kata Tedjo, Kamis (24/11/2022).
Menurut Tedjo, sangat mudah untuk mengidentifikasi sehat atau tidaknya perairan itu. Salah satunya hanya cukup melihat keberadaan ikan sapu-sapu. Jika di suatu perairan berkembang ikan sapu-sapu, bisa dikatakan perairan tersebut tidak baik.
“Ikan (sapu-sapu) itu sangat mudah untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitar dan dapat bertahan hidup di sungai kotor,” ujar Tedjo.
Selain itu, warna air juga bisa menjadi indikator buruknya perairan. Namun hal itu, kata Tedjo, bisa dikarenakan sedimentasi di bawahnya sehingga air menjadi keruh.
“Semakin sungai itu tertekan (rusak), maka semakin jarang ditemukan ikan yang besar karena pertumbuhannya (ikan) dipastikan terganggu. Bisa kita lihat sekarang jarang sekali nelayan dapat ikan besar,” kata Tedjo.
Menurut Tedjo, solusi jangka panjang yang bisa dilakukan pemerintah adalah mengkonservasi di kantung habitat atau sarang tempat pemijahan ikan. Konservasi ini harus cepat dilakukan supaya biota air tawar lestari.
Selain itu habitat biota air tawar mesti dikembalikan marwahnya sebagai fungsi ekosistem lindung. Jika fungsi ekosistem biota air tawar rusak maka akan berpengaruh terhadap wilayah di sekitarnya.
Selain dari segi konservasi, Dr Syahroma menambahkan, soal penggunaan alat tangkap juga perlu diperhatikan oleh pemerintah. Aturan penggunaan alat ini mesti ditertibkan karena keberadaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan akan mengancam eksistensi nelayan tradisional.
"Kemudian sekarang kan banyak ikan introduksi spesies (bukan ikan asli Indonesia) seperti nila dan lainnya. Itu kalau sudah masuk ke dalam perairan akan membahayakan ikan-ikan endemik yang ada di perairan kita ini. Jadi ini yang harus diperhatikan," kata Syahroma.
Saiful Amran, seorang nelayan yang sampai sekarang masih bertahan menjadi sekelumit kisah yang menggambarkan kehidupan nelayan kini di pelosok desa. Indonesia negeri maritim–kaya akan perairan sungainya, tapi nelayan dihadapkan pada situasi pelik. Sebuah mimpi buruk yang tak pernah mereka bayangkan.
Walau begitu Saiful bertekad akan terus mendayung perahu, menyusuri sungai dan danau untuk memenuhi bekal kebutuhannya. “Esok hari entah sampai kapan saya akan tetap menjadi nelayan,” ucap Saiful.
Dengan penuh harapan Saiful kembali menyusuri Sungai Kumpeh yang keruh itu.
Liputan ini merupakan bagian dari “Story Grant Kerusakan Lingkungan Hidup dan Hilangnya Sumber Pangan” yang diadakan The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) dan Ekuatorial.