Pakar UNS Solo Sebut Sistem Pemilu Proporsional Terbuka Lemahkan Party-ID dan Demokrasi

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo Agus Riewanto menanggapi usulan kembali menerapkan sistem proporsional tertutup pada Pemilu 2024.

oleh Liputan6.com diperbarui 04 Jan 2023, 17:11 WIB
Ilustrasi pemilih surat suara.

Liputan6.com, Solo - Pakar Hukum Tata Negara Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo Agus Riewanto menanggapi usulan kembali menerapkan sistem proporsional tertutup pada Pemilu 2024. Sistem tersebut bisa menjawab kelemahan yang ada dalam sistem proporsional terbuka.

Agus Riewanto menyoroti dua kelemahan sistem Pemilu Terbuka atau sistem berbasis caleg. Kelemahan tersebut berdasarkan evaluasi pelaksanaan Pemilu 2009, 2014, dan 2019 yang menerapkan sistem proporsional terbuka dengan penentuan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak.

“Pertama, melemahkan Identifikasi Diri dengan Partai atau Party-ID. Party-ID merupakan perasaan seseorang bahwa partai tertentu adalah identitas politiknya. Party-ID ini merupakan komponen psikologis yang akan memberikan sumbangan bagi stabilitas dukungan terhadap partai dan sistem kepartaian yang bisa memperkuat demokrasi,” ujar Agus saat dihubungi, Rabu (4/1/2023).

Agus Riewanto kemudian mengutip hasil survei nasional yang dilakukan oleh Indikator Politik Indonesia pada Februari 2021. Survei menunjukkan bahwa party identity masyarakat Indonesia sangat rendah. Bahwa 92,3 persen dari 1.200 responden yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia menyatakan tidak ada kedekatan dengan partai politik tertentu (Party ID).

Hal ini menunjukkan sentimen terhadap partai rendah sekali. Kalau sentimen terhadap partai baik, pemilih akan merasa diwakili oleh partai.

Selain melemahkan Party-ID, persoalan kedua yang disebabkan oleh sistem proporsional terbuka adalah melahirkan fenomena antipartai politik atau deparpolisasi yang berdampak buruk bagi bangunan demokrasi di Indonesia.

“Terjadi perubahan pilihan pemilih dari satu partai politik ke partai politik lain, dari satu Pemilu ke Pemilu selanjutnya. Sehingga Pemilu menghasilkan perubahan dramatis yang ditandai naik-turunnya dukungan pemilih terhadap partai layaknya roller coaster,” ujar Agus.

“Dampak buruknya, Pemilu hanya bergantung pada figur atau kandidat atau calegnya, sehingga pemilih lebih mempertimbangkan pada caleg yang popular dan bermodal uang bukan pada kesamaan Party-ID,” tutup Agus.


Uji Materi

Diketahui, saat ini Mahkamah Konstitusi (MK) sedang menguji materi (judicial review) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait sistem proporsional terbuka. Apabila judicial review itu dikabulkan oleh MK, maka sistem pemilu pada 2024 mendatang akan berubah menjadi sistem proporsional tertutup.

Sistem proporsional tertutup memungkinkan para pemilih hanya disajikan logo partai politik (parpol) pada surat suara, bukan nama kader partai yang mengikuti pileg.

Uji materi ini diajukan oleh enam orang, yakni Demas Brian Wicaksono (pemohon I), Yuwono Pintadi (pemohon II), Fahrurrozi (pemohon III), Ibnu Rachman Jaya (pemohon IV), Riyanto (pemohon V), dan Nono Marijono (pemohon VI).

Di sisi lain, mayoritas fraksi di DPR justru menyatakan keberatan bila sistem proporsional tertutup diberlakukan. Mereka menginginkan sistem proporsional terbuka yang digugat itu untuk terus dipertahankan.

Infografis Nomor Urut 18 Parpol Peserta Pemilu 2024. (Liputan6.com/Abdillah)

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya