Liputan6.com, Jakarta - Duta Besar Uni Eropa Vincent Piket berkata pihaknya mendukung perekonomian Indonesia, namun sesuai dengan aturan hukum internasional. Hal ini terkait hilirisasi dan larangan ekspor bijih nikel (nickle ore).
Seperti diketahui, Uni Eropa menang dalam gugatannya di World Trade Organization (WTO) terkait aturan larangan ekspor nikel. Namun, Dubes Piket berkata tidak melihat hal itu sebagai kemenangan karena Uni Eropa fokus pada perkembangan ekonomi bersama.
Baca Juga
Advertisement
"Kami tidak mendefinisikan hubungan dengan Indonesia dalam menang atau kalah. Kami di sini untuk membuat ekonomi kita berfungsi untuk rakyat kita," ujar Dubes Uni Eropa Vincent Piket kepada wartawan di Jakarta, Senin (12/12/2022).
Ketika ditanya soal tudingan "ekspor paksa" bijih nikel, Dubes Piket langsung memberikan bantahan.
"Tidak sama sekali. Ini dunia yang bebas untuk mengekspor di marketplace sesuai dengan hukum," ujarnya. "Pada legislasi WTO, tidaklah diizinkan untuk mencekal ekspor barang-barang tertentu ke mitra agar mendapatkan untung ke diri sendiri. Itu tak diizinkan."
Sekadar informasi, Uni Eropa menggugat ke WTO terkait larangan ekspor nikel Indonesia. Uni Eropa berargumen bahwa larangan ekspor nikel tidak sesuai dengan aturan ekspor Pasal XI no. 1 dalam General Agreement on Tariffs and Trade (GATT).
Salah satu argumen delegasi Indonesia adalah larangan ekspor nikel itu sah-sah saja karena sesuai pengecualian di Pasal XI no. 2(a).
Padahal, pengecualian itu hanya berlaku terkait kelangkaan makanan atau produk esensial.
WTO lantas minta Indonesia membuktikan argumen tersebut, tetapi WTO menyebut delegasi Indonesia tak bisa melakukannya, sehingga Uni Eropa dinyatakan menang. Indonesia pun memilih untuk banding.
Dubes Piket lantas mengingatkan supaya Indonesia turut mengikuti aturan WTO.
"Jadi kami berharap Indonesia akan mematuhi aturan-aturan tersebut juga. Kami pun demikian," jelas Dubes Uni Eropa.
Mendag: Kita Banding Dulu
Sebelumnya dilaporkan, Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan berkata pemerintah akan mengajukan banding setelah kalah melawan Uni Eropa dalam gugatan larangan ekspor bijih nikel di WTO
"Ini kan sebetulnya enggak boleh dibicarakan dahulu, tapi kan sudah banyak berita. Langkah pertama kita tentu banding," kata Zulkifli Hasan saat ditemui di Jakarta, Senin (5/12).
Secara rinci, Mendag belum bisa menyampaikan langkah hukum apa yang akan diambil Pemerintah. Namun, pihaknya memastikan Pemerintah dalam waktu dekat akan segera melakukan banding.
"Kita banding dulu. Nanti selanjutnya kita akan sampaikan. Itu saja dulu," imbuhnya.
Diketahui, beberapa waktu lalu Indonesia menghadapi gugatan Uni Eropa soal kebijakan larangan ekspor bijih nikel. Larangan ekspor nikel mentah memang menjadi perhatian serius pemerintah, tujuannya melipatgandakan nilai tambah ke dalam negeri.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo memprediksi bahwa ada kemungkinan Indonesia kalah dalam gugatan di WTO. Namun, ia menegaskan kalau hilirisasi dan industrialisasi nikel sudah berjalan.
Adapun substansi gugatan yang dilayangkan Uni Eropa di WTO adalah pemakaian diksi 'melarang'. Artinya, bukan pada kegiatan ekspor sesuai dengan syarat sesuai ketentuan hilirisasi yang digadang di Indonesia.
Advertisement
Jokowi Dukung Banding
Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak pantang menyerah meskipun kalah dalam gugatan larangan ekspor nikel oleh Uni Eropa di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Menurut dia, itu jadi bentuk komitmen Pemerintah RI dalam program hilirisasi industri. Sehingga Indonesia bukan hanya dikenal sebagai pengekspor bahan mentah alias raw material saja.
"Sekali lagi, meskipun kita kalah di WTO, kalah kita urusan nikel ini digugat oleh Uni Eropa dibawa ke WTO kita kalah, enggak apa-apa. Kalah saya sampaikan ke menteri, banding," tegas Jokowi dalam Rapat Koordinasi Nasional Investasi 2022 di Ritz-Carlton Hotel Jakarta, Rabu (30/11/2022).
Jokowi pun tidak mempermasalahkan bila ada sejumlah negara yang menggugat kebijakan Indonesia yang menahan laju ekspor bahan mentah. "Kalau ada negara lain yang menggugat, ya itu haknya negara lain yang menggugat, karena ya memang terganggu," imbuhnya.
Setelah melakukan pengecekan alasan Uni Eropa menggugat larangan ekspor nikel, ia menemukan bahwa komoditas tersebut jadi bahan utama sektor industri di sana.
"Kalau dikerjain di sini, di sana akan ada pengangguran. Di sana akan ada pabrik yang tutup, di sana akan ada industri yang tutup," papar Jokowi.
"Tapi kan kita juga mau maju, kita ingin maju, negara kita ingin menjadi negara maju. Kita ingin membuka lapangan kerja. Kalau kita digugat saja kita takut, mundur, enggak jadi, ya enggak akan kita menjadi negara maju," tuturnya.
Oleh karenanya, ia mengajak seluruh jajarannya untuk terus berkomitmen dan tidak gentar menghadapi gertakan negara maju atas kebijakan yang diambil Pemerintah RI.
"Terus saya sampaikan kepada menteri, terus (lanjutkan program hilirisasi), tidak boleh berhenti. Tidak hanya berhenti di nikel, tapi terus yang lain," pungkas Jokowi.
Pemerintah Buka Opsi Tarik Pajak Nikel
Menteri Investasi/Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia menambahkan, pemerintah memiliki beberapa opsi merespons hasil putusan WTO. Pertama, menempuh langkah banding atas putusan WTO yang memenangkan Uni Eropa.
"Kita kalah di tahap pertama, dan instruksi presiden jelas hadapi dan lawan," katanya di Istana Kepresidenan, dikutip dari Belasting.id, Rabu (30/11).
Bahlil melanjutkan langkah banding menjadi strategi pertama pemerintah menyikapi hasil putusan WTO. Selanjutnya, masih ada beberapa opsi yang bisa ditempuh, salah satunya melalui kebijakan fiskal.
Menurutnya, pemerintah bisa saja membuka opsi untuk menerapkan atau meningkatkan beban pajak ekspor untuk ekspor sumber daya alam dalam bentuk bahan mentah.
Dia menegaskan kebijakan fiskal khususnya pajak sepenuhnya menjadi kedaulatan Indonesia. Kemudian masih ada langkah lain yang berpotensi ditempuh selain menerapkan kebijakan pajak.
"Mungkin salah satunya pajak ekspor, jadi ini kan main di instrumen. Pajak ekspor bisa kita naikkan dan itu kewenangan kita dong," ulasnya.
Bahlil menambahkan upaya hilirisasi SDA tidak akan berhenti dengan ganjalan gugatan melalui WTO. Menurutnya, pemerintah memiliki kepentingan besar melakukan hilirisasi untuk menciptakan lebih banyak nilai tambah di dalam negeri dibandingkan terus-menerus mengekspor bahan mentah.
"Arena hilirisasi adalah sebuah kewajiban dalam rangka bergerak dari negara berkembang menjadi negara maju dan bagaimana meningkatkan pendapatan per kapita dari US$4.500 saat ini menjadi US$10.000," tambah Bahlil.
Advertisement