Liputan6.com, Jakarta - Inflasi di Amerika Serikat mulai menunjukan penurunan di bulan November 2022 dan berada pada level terendah dalam hampir satu tahun. Indeks dari Biro Statistik Tenaga Kerja menunjukkan inflasi AS mencapai 7,1 persen pada November 2022, turun dari 7,7 persen yang tercatat di bulan Oktober 2022.
Mengutip CNN Bussiness, Rabu (14/12/2022), pada basis bulan ke bulan, inflasi AS naik hanya 0,1 persen pada November, lebih kecil dari kenaikan pada bulan Oktober sebesar 0,4 persen. Tingkat Indeks Harga Konsumen AS per November 2022 lebih baik dari ekspektasi ekonom sebesar 7,3 persen.
Advertisement
Inflasi AS kali ini juga menjadi yang terendah sejak Desember 2021 dan peningkatan signifikan pada inflasi terbesar tahun ini sebesar 9,1 persen pada Juni 2022.
"Saya pikir kita akhirnya mendapatkan beberapa indikasi bahwa kita mendapatkan kelegaan di depan inflasi," kata Ryan Sweet, kepala ekonom AS di Oxford Economics, dalam sebuah wawancara.
"(Moderasi) adalah kunci bagi The Fed untuk melonggarkan langkah mereka. Mereka tidak akan melepas rem sepenuhnya, mereka masih akan memperketat kebijakan moneter, tetapi kita sudah bergerak ke arah yang benar," sambungnya.
Sementara inflasi inti AS, yang tidak termasuk harga makanan dan energi, menyentuh 6 persen, turun dari tingkat 6,3 persen di bulan Oktober. Setiap bulan, CPI inti meningkat sebesar 0,2 persen — kenaikan terkecil dalam 15 bulan.
"Sepertinya kita sekarang sudah turun dari puncak itu (inflasi)," kata Rucha Vankudre, ekonom senior di Lightcast.
Masih Ada Tantangan
Seperti diketahui, sejumlah ekonom telah menyatakan keprihatinan mereka tentang inflasi AS di sektor-sektor jasa dan kemungkinan sulitnya untuk menurun, yang berarti bahwa begitu harga naik, mereka tidak akan turun dengan mudah.
Terlepas dari kemajuan tersebut, masih banyak ketidakpastian, kata Sung Won Sohn,
Profesor ekonomi di Loyola Marymount University dan presiden SS Economics, Sung Won Sohn mengatakan bahwa AS masih menghadapi ketidakpastian terlepas dari penurunan inflasi.
Hal itu dikarenakan perang Rusia-Ukraina yang terus memengaruhi harga makanan dan BBM, kebijakan Covid-19 di China dan cuaca yang tidak stabil.
Selain itu, ada juga tantangan pada tenaga kerja.
"Pasar kerja sedang panas, terutama dalam layanan termasuk perawatan kesehatan serta rekreasi dan keramahtamahan,” kata Sohn.
"Ada lebih banyak lowongan pekerjaan daripada pasokan tenaga kerja yang tersedia, yang seharusnya mengarah ke tingkat pengangguran yang rendah dan pertumbuhan upah yang cepat. Yang pasti, kampanye Federal Reserve untuk memperlambat pertumbuhan ekonomi pada akhirnya akan berdampak pada pasar kerja, tetapi itu akan memakan waktu," paparnya.
Advertisement
Menkeu Janet Yellen Sebut Inflasi AS Bakal Melandai di 2023
Menteri Keuangan Amerika Serikat Janet Yellen mengungkapkan bahwa dia memprediksi inflasi negara akan mulai berkurang di 2023 mendatang.
Mengutip US News, Senin (12/12/2022) Yellen mengatakan akan ada pengurangan substansial dalam inflasi AS pada tahun 2023.
"Saya percaya pada akhir tahun depan Anda akan melihat inflasi yang jauh lebih rendah jika tidak ada kejutan yang tidak terduga," kata Yellen kepada CBS, dalam sebuah wawancara yang dirilis pada Minggu (11/12).
"Ada risiko resesi. Tapi menurut saya, hal itu jelas bukan sesuatu yang diperlukan untuk menurunkan inflasi," bebernya. ketika ditanya tentang kemungkinan resesi di AS.
Sebelumnya, Federal Reserve (The Fed) telah mengatakan sudah dapat mengurangi laju kenaikan suku bunga dengan segera pada bulan Desember ini.
Hal itu diungkapkan langsung oleh Ketua The Fed, Jerome Powell pada 30 November 2022.
"Waktu untuk memoderasi laju kenaikan suku bunga mungkin datang segera setelah pertemuan di bulan Desember" kata Powell dalam pidato di think tank Brookings Institution, dikutip dari Channel News Asia.
Dia menambahkan bahwa efek penuh dari langkah bank sentral AS tersebut belum dirasakan, tetapi juga memperingatkan bahwa kebijakannya kemungkinan harus tetap ketat "untuk beberapa waktu" guna memulihkan stabilitas harga.
"Kebijakan moneter mempengaruhi ekonomi dan inflasi dengan kelambatan yang tidak pasti," katanya.
"Dengan demikian, masuk akal untuk memoderasi laju kenaikan suku bunga kami saat kami mendekati tingkat pengekangan yang cukup untuk menurunkan inflasi," tambah Powell.
Chatib Basri: AS Harus Resesi Demi Turunkan Inflasi
Ekonom Senior dan Co-Founder Creco Research Institute Muhammad Chatib Basri, mengatakan bahwa Amerika Serikat memerlukan resesi untuk menurunkan inflasi yang tinggi.
Hal itu melihat dari data beveridge curve yakni ketidakseimbangan antara tingkat lowongan pekerjaan yang tinggi, sedangkan tingkat penganggurannya rendah.
"Yang menarik dari beverage curve di Amerika Serikat adalah bahwa lowongan pekerjaannya itu besar sekali walaupun unemployment sudah rendah. Artinya bahwa ada pekerjaan yang ditawarkan tapi orangnya tidak ada," kata Chatib Basri dalam acara Bank BTPN Economic Outlook 2023, Senin (5/12/2022).
Hal itu bisa terjadi lantaran terjadi ketidakcocokan. Sebab, lowongan pekerjaan tersebut meminta orangnya hadir langsung ke tempat kerja. Sementara, orang itu menginginkan pekerjaan yang remote alias tidak perlu datang ke tempat kerja.
"Yang terjadi akibat dari Mismatch karena yang diminta mungkin pekerjaan yang membutuhkan orangnya hadir in person, tetapi yang bersedia bekerja memilih untuk remote," ujarnya.
Menurut dia, di dalam kondisi ini maka implikasinya adalah walaupun tingkat pengangguran di Amerika sudah rendah 3,7 persen, tetapi lowongan pekerjaan yang diminta itu masih jauh lebih besar.
"Bisa dibayangkan kalau yang minta tenaga kerja itu banyak sementara supplynya tidak ada, maka akibatnya upahnya akan naik kalau upahnya naik maka inflasi di Amerika akan naik," ujarnya.
Advertisement