Liputan6.com, Jakarta Ketua Komunitas Dengue Indonesia Prof Dr dr Sri Rezeki S Hadinegoro Sp.A(K) mengatakan bahwa gejala Demam Berdarah Dengue (DBD/Dengue) mirip dengan COVID-19.
Beberapa gejala DBD yang ada pada pasien COVID-19 adalah demam tinggi, sakit kepala, dan diare.
Advertisement
“Susahnya sekarang Dengue dengan COVID, itu mirip-mirip sekali. Makanya perlu pemeriksaan sequencing maupun tes PCR,” kata Sri dalam wawancara eksklusif Takeda di Cikini, Jakarta Pusat, Selasa, 13 Desember 2022.
Artinya, jika ada gejala COVID-19 tapi ternyata ketika dilakukan tes antigen hasilnya negatif, maka perlu mencurigai kemungkinan terkena DBD. Pemeriksaan lanjutan perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis tersebut.
Virus Dengue juga bisa dideteksi dengan genome sequencing. Hal ini lah yang menunjukkan serotipe Dengue 1, 2, 3, dan 4. Serotipe ini diartikan pula sebagai variasi dari penyakit Dengue layaknya COVID-19 yang memiliki varian Delta dan Omicron. Hanya saja, virus Dengue tidak bermutasi seperti virus Corona penyebab COVID-19.
“Kita bisa tahu serotipe itu dengan sequencing. Tapi, kita harus galakkan juga seperti COVID supaya semua laboratorium yang sudah ditunjuk itu betul-betul bisa menyelenggarakan.”
Salah satu kendala sequencing untuk DBD adalah harganya yang mahal. Meski sebetulnya semua balai besar laboratorium kesehatan (BBLK) bisa melakukan itu.
“Masalahnya cuma mahal, sebetulnya BBLK semua bisa bantu tuh yang di Jakarta, Surabaya, Bandung, kalau enggak salah Bali juga ada.”
Mengingat sequencing DBD mahal, maka cara lain untuk mengetahui perbedaan gejala antara COVID-19 dengan DBD adalah dengan mengetahui gejala khasnya.
Demam Tinggi Mendadak Tanpa Pilek
Salah satu gejala yang membedakan antara DBD dengan penyakit lain adalah demam tinggi mendadak.
“Sebetulnya yang paling penting itu demamnya, demamnya tinggi dan mendadak. Itu salah satu ciri dari penyakit virus. Kalau penyakit bakteri enggak, sekarang demam, besok enggak enak badan, pusing, besoknya demam tapi sudah mending,” kata Sri dalam wawancara eksklusif Takeda di Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (13/12/2022).
“Kalau virus, pagi-pagi masih main, masih sekolah, malamnya langsung naik (demam tinggi). Itu harus hati-hati. Pada anak-anak tuh bisa dilihat mukanya jadi kaya udang rebus, merah, nah ini dipastikan karena virus,” tambahnya.
Gejala DBD cenderung mirip dengan radang tenggorokan, seperti gejala yang dirasakan ketika akan flu. Namun, biasanya tidak ada gejala pilek pada penyakit DBD.
“Kalau pilek itu virusnya sudah virus lain, tapi batuk masih mungkin, muntah masih mungkin, diare masih mungkin, tapi biasanya enggak pilek. Jadi kalau demam tinggi tapi ada pilek itu Alhamdulillah.”
Advertisement
Perbedaan yang Jelas antara DBD dengan Demam Tifoid
DBD cenderung mirip dengan COVID-19 tapi jelas berbeda jika dibandingkan dengan demam tifoid.
“Demam tifoid itu minggu pertama biasanya gejalanya masih belum berat. Demamnya karena bakteri Salmonella jadi dia khasnya kalau pagi segar, makin sore makin loyo, makin malam makin tinggi, besoknya segar lagi.”
Kondisi seperti ini bisa terjadi dalam satu minggu pertama. Masuk ke minggu kedua suhunya bisa terus-terusan tinggi.
“Nah kalau demam berdarah dalam tiga hari sudah ketahuan. Jadi istilahnya demam berdarah itu dalam satu minggu bisa sembuh atau bisa meninggal. Maka kalau demam satu dua hari, jangan pikirin demam tifoid, pikirin demam virus dulu.”
Demam akibat virus bisa didiagnosis dalam waktu lebih cepat sekitar kurang dari satu minggu. Sedangkan, demam tifoid satu minggu itu demamnya naik turun sehingga pasien menganggapnya sembuh.
Pencegahan Dengue
Dengue bisa dicegah dengan vaksinasi karena penyakit ini disebabkan virus. Namun hingga kini, vaksinasi Dengue belum menjadi program nasional seperti COVID-19.
Terkait hal ini, Sri mengatakan bahwa menjadikan vaksin Dengue sebagai program nasional sudah pernah menjadi bahan kajian.
“Saya kebetulan kan Ketua Indonesia Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI), jadi di ITAGI sendiri kita sudah pernah mengkaji. Kita juga memikirkan antrean untuk masuk ke program nasional itu ada Denguenya,” kata Sri.
Kajian ini dilakukan lantaran kasus Dengue dari tahun 2000 hingga kini tidak pernah menurun dengan stabil.
“Jadi harus ada pelor (peluru) lain atau harus ada intervensi lain dan kita memikirkan waktu itu dengan vaksin mungkin akan lebih baik. Memang kita juga mengendorse untuk vaksin ini kemungkinan bisa ikut menurunkan (kasus Dengue).”
Namun, penggunaan vaksin juga tetap harus terintegrasi dengan strategi pencegahan Dengue yang lain karena nyamuk tetap menjadi masalah.
“Sekarang teorinya, memberantas nyamuk itu tidak hanya untuk demam berdarah tapi untuk malaria, filaria (kaki gajah), chikungunya, zika, jadi banyak juga infeksi lain yang ditularkan oleh nyamuk,” katanya.
Advertisement