Keadilan Restoratif, Terobosan Hukum yang Humanis dan Modern dari Kejaksaan Republik Indonesia

Restorative justice memiliki prinsip penyelesaian perkara tindak pidana dengan mekanisme peradilan pidana, fokus pidananya diubah menjadi dialog atau mediasi.

oleh Fachri diperbarui 15 Des 2022, 19:53 WIB
Jaksa Agung ST Burhanuddin/Istimewa.

Liputan6.com, Jakarta Citra humanis dan modern terus didorong oleh Kejaksaan Republik Indonesia. Berbagai terobosan hukum pun diimplementasikan guna mencapai kedua hal tersebut.

Salah satu yang menjadi andalan Kejaksaan Republik Indonesia adalah penerapan restorative justice atau keadilan restoratif yang dilandasi oleh Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif pada 21 Juli 2020.

Restorative justice yang diterapkan oleh Kejaksaan Republik Indonesia memiliki prinsip penyelesaian perkara tindak pidana, di mana dalam mekanisme atau tata cara peradilan pidana, fokus pidananya diubah menjadi dialog atau mediasi.

Dengan penerapan keadilan restoratif, tidak semua tindak pidana menjadi kabar yang menyeramkan bagi para pelakunya, karena tidak lagi identik dengan pemidanaan atau jeruji besi.

Selain mengutamakan dialog atau mediasi, keadilan restoratif juga bertujuan untuk mendapatkan putusan hukum yang adil dan seimbang bagi pihak korban atau pelaku.

Karena prinsip utama keadilan restoratif adalah penegakan hukum yang selalu mengedepankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan mengembalikan pola hubungan baik dalam masyarakat.

Jaksa Agung ST Burhanuddin saat menghadiri Kuliah Tamu di Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Kamis (30/6/2022) mengatakan bahwa mulanya penegakan hukum yang berparadigma retributif (penyelesaian perkara pidana dengan cara penghukuman atau pemidanaan) diterapkan pada setiap penyelesaian kasus pidana di tengah masyarakat.

“Namun, hasil penegakan hukum tersebut dirasa tidak selalu memberikan manfaat bagi pelaku, korban, dan juga masyarakat. Adapun kehadiran keadilan restoratif merupakan paradigma pemidanaan baru yang menekankan penyelesaian perkara di luar pengadilan dan mendudukkan korban jadi bagian penting sebagai tujuan pemidanaan,” paparnya.

Ia juga menceritakan bahwa inovasi kebijakan hukum tersebut berdasarkan keresahan atas stigma yang ada di masyarakat terhadap lembaga Kejaksaan.

“Pada waktu sebelum saya masuk kembali ke Kejaksaan, ada satu hal yang menggelitik saya, bahwa di masyarakat ada yang berpendapat bahwa hukum itu tajam ke bawah, tumpul ke atas,” ujar Burhanuddin.

 


Relevan dengan Perkembangan Hukum Era Kekinian

Jaksa Agung ST Burhanuddin saat mengikuti rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR RI di Jakrta, Selasa (23/8/2022). Rapat tersebut membahas perkembangan kasus Korupsi Surya Darmadi 78 T dan kasus Korupsi PT Waskita Beton Precast Tbk. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Penerapan restorative justice atau keadilan restoratif relevan dengan perkembangan hukum era kekinian. Penegakan hukum yang semula bersifat retributif atau pembalasan, kini telah bergeser menjadi restoratif atau pemulihan. 

Jaksa Agung ST Burhanuddin menjelaskan bahwa dalam sistem hukum Indonesia, norma dasar negara adalah Pancasila. Pancasila merupakan cerminan dari jiwa bangsa yang mengandung nilai-nilai moral, kekeluargaan, keseimbangan, musyawarah, dan keadilan sosial. Baginya salah satu implementasi supremasi hukum dalam kerangka tersebut adalah penerapan keadilan restoratif.

“Penerapan keadilan restoratif diambil dari nilai-nilai hukum Pancasila yang telah hidup dalam masyarakat Indonesia, living law sebagai refleksi atas budaya hukum,” katanya.

Selain itu, penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif yang termaktub dalam Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sangat selektif diberlakukan.

Perkara pidana harus memenuhi syarat-syarat seperti tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana; tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun; dan tindak pidana dilakukan dengan nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari Rp2.500.000.

Dalam penghentian penuntutan, juga terdapat beberapa hal yang patut diperhatikan seperti kepentingan korban, penghindaran stigma negatif bagi pelaku, respon masyarakat dan kepatutan serta ketertiban umum.

Keadilan restoratif dapat berjalan secara maksimal jika adanya sinergi dari berbagai unsur masyarakat, seperti korban, tersangka, tokoh atau perwakilan masyarakat, dan pihak lainnya.

“Karena itu, dibentuklah wadah Rumah Restorative Justice sebagai wadah untuk menyerap nilai-nilai kearifan lokal serta menghidupkan kembali peran serta tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat untuk bersama-sama dengan Jaksa dalam proses penyelesaian perkara yang berorientasikan pada perwujudan keadilan substantif,” jelas Burhanuddin.

 


Bisa Diterapkan Pada Perkara yang Melibatkan Perempuan dan Anak

Jaksa Agung ST Burhanudin (kiri) dan Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif menyampaikan keterangan usai melakukan pertemuan di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (8/11/2019). Pertemuan membahas sinergi dalam penanganan pemberantasan tindak korupsi antara KPK dan Kejaksaan Agung. (merdeka.com/Dwi Narwoko)

Penerapan keadilan restoratif juga bisa diterapkan dalam perkara yang melibatkan perempuan dan anak serta diatur dalam Pedoman Kejaksaan Nomor 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana.

“Nilai keadilan restoratif menurut hemat kami, lebih dari hanya sekadar mengurangi pengulangan proses terjadinya korban tindak pidana atau viktimisasi. Keadilan restoratif pada dasarnya berfokus pada upaya membangun kembali hubungan, pertanggungjawaban atas kerugian dan pemulihan yang diakibatkan oleh terjadinya viktimisasi,” tegas Burhanuddin.

Selain nilai-nilai keadilan restoratif, terdapat dua nilai yang tidak kalah penting dalam konteks ini, seperti nilai pemulihan dan penyembuhan serta kompensasi atau penyelesaian perkara yang sesuai dengan keinginan korban.

“Intisari dari nilai keadilan restoratif adalah partisipasi, saling menghargai, kejujuran, kerendahan hati, keterkaitan, akuntabilitas, pemberdayaan, dan harapan yang dapat diterapkan dalam bentuk pelaksanaan keadilan restoratif, sebagai salah satu mekanisme penyelesaian perkara pidana yang terjadi di masyarakat,” jelas Burhanuddin.

 


Sejumlah Kasus yang Diselesaikan Melalui Keadilan Restoratif

Jaksa Agung ST Burhanuddin. (foto: dokumentasi Kejagung)

Selama dua tahun penerapan keadilan restoratif, Kejaksaan Agung sudah menyelesaikan lebih dari 2.000 perkara di seluruh Indonesia. Bagi Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana, hampir setiap hari Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum melakukan ekspose perkara melalui keadilan restoratif. 

“Dengan adanya penghentian di penuntutan akan menjamin kemanfaatan hukum jadi lebih cepat, lebih tepat, dan memenuhi rasa keadilan masyarakat. Itu sebenarnya dasar-dasar pemikiran lahirnya peraturan Kejaksaan tentang keadilan restoratif,” jelasnya.

Terdapat sejumlah kasus hukum yang telah diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif. Seperti kasus kakak pukul adik di Tangerang.

Kasus tersebut terjadi pada 9 Maret 2021 yang bermuara pada Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Tangerang. Kasus tersebut bermula dari peristiwa kehilangan uang hingga terjadi baku pukul antara pelaku dan korban.

Kejaksaan Negeri Kota Tangerang lantas menerapkan prinsip keadilan restoratif dalam kasus tersebut. Kesepakatan kedua belah pihak untuk berdamai pun terjadi dan setelah semua syarat terpenuhi, kasus tersebut akhirnya selesai sebelum masuk ke pengadilan.

Kasus kedua yang diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif adalah kasus pencurian motor untuk biaya persalinan.

Kasus pada 6 Desember 2021 tersebut terjadi ketika seorang buruh harian lepas mencuri sepeda motor untuk menutupi biaya lahiran, setelah usaha mencari pinjaman tak kunjung didapatkan.

Setelah itu, motor hasil curian tersebut pun digadaikannya ke orang lain seharga Rp1.500.000. Kejaksaan Negeri Takalar yang menangani kasus ini pun menerapkan mekanisme keadilan restoratif. Alhasil, kesepakatan perdamaian pun dilaksanakan tanpa syarat, di mana kedua belah pihak sudah saling memaafkan.

Jaksa Agung ST Burhanuddin menekankan bahwa penegakan hukum yang berkeadilan adalah penegakan hukum yang mampu memanusiakan manusia serta dapat memberikan suatu kemanfaatan dengan menghadirkan keadilan substantif yang dapat dirasakan oleh masyarakat.

“Dalam pelaksanaannya, penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif harus dilandasi dengan asas keadilan, kepentingan umum, proporsionalitas, dan pidana sebagai jalan terakhir, serta dalam penyelenggaraan penanganan perkara harus secara cepat, sederhana, dan berbiaya ringan,” tegasnya.

Jaksa Agung ST Burhanuddin selalu menekankan bahwa penegakan hukum yang modern adalah penegakan hukum humanis yang dilandasi hati nurani.

Pendekatan hukum dengan pembalasan hampir sudah banyak ditinggalkan di berbagai Negara karena dianggap konservatif, kolot, dan tidak menjadi solusi pembinaan bagi pelaku serta tidak menjamin keseimbangan serta keharmonisan dalam masyarakat. 

Inipula menghantarkan Professor Dr. ST Burhanuddin meraih penghargaan internasional, domestik, dan nasional atas dedikasinya mencari solusi yang efektif untuk penyelesaian masalah hukum di pengadilan (Alternative Dispute Resolution (ADR)) dengan konsep non litigasi “win-win solution”.

Burhanuddin selalu menanamkan bahwa segala permasalahan hukum tidak semua dapat diselesaikan dengan cara hukum. Hal yang paling penting yakni pendekatan kemanusiaan (humanis) antara pelaku dan korban untuk memberi ruang saling memanfaatkan adalah hal utama. 

Jika ingin mengetahui lebih dalam tentang keadilan restoratif yang diterapkan oleh Kejaksaan Agung RI bisa dilihat di sini

 

(*)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya