25 Pria Afghanistan Dihukum Cambuk Taliban Akibat Kejahatan Moral

Otoritas Taliban di Afghanistan selatan, Rabu (14/12) secara terbuka mencambuk 27 orang, termasuk dua perempuan, karena diduga melakukan pencurian, perzinahan, dan kejahatan lainnya.

oleh Liputan6.com diperbarui 15 Des 2022, 16:35 WIB
Pasukan Taliban merayakan satu tahun sejak mereka merebut Kabul di depan Kedutaan Besar AS di Kabul, Afghanistan, Senin (15/8/2022). Taliban memperingati tahun pertama pengambilalihan kekuasaan setelah pemerintah negara yang didukung barat itu melarikan diri dan militer Afghanistan hancur dalam menghadapi serangan Taliban. (AP Photo/Ebrahim Noroozi)

Liputan6.com, Kabul - Otoritas Taliban di Afghanistan selatan, Rabu (14/12) secara terbuka mencambuk 27 orang, termasuk dua perempuan, karena diduga melakukan pencurian, perzinahan, dan kejahatan lainnya. Para pejabat dan penduduk melaporkan, hukuman itu dilaksanakan di provinsi Helmand dan Zabul selatan.

Mohammad Qasim Riyaz, juru bicara pemerintah provinsi di Helmand, mengatakan 20 laki-laki dicambuk di stadion olahraga di ibukota provinsi, Lashkar Gah.

Riyaz mengatakan setiap laki-laki dicambuk antara 35 hingga 39 kali di hadapan sejumlah besar penonton, termasuk pejabat provinsi Taliban, ulama dan tetua setempat. Beberapa terpidana juga djatuhi hukuman penjara, dikutip dari VOA Indonesia, Kamis (15/12/2022).

Secara terpisah, kantor berita yang dikelola Taliban melaporkan hukum cambuk dihadapan publik terhadap lima laki-laki dan dua perempuan karena melakukan "hubungan terlarang, perampokan dan kejahatan lainnya" di Qalat, ibu kota Zabul. Kantor berita itu tidak merinci lebih jauh.

Penguasa garis keras Afghanistan telah mencambuk puluhan laki-laki dan perempuan di stadion sepak bola yang penuh sesak di beberapa provinsi dan ibu kota, Kabul, dalam beberapa pekan terakhir. Mereka menerapkan interpretasi hukum Islam mereka yang ketat pada peradilan pidana.

Pencambukan di depan publik, pada hari Rabu terjadi seminggu setelah Taliban melakukan eksekusi publik pertamanya terhadap seorang terpidana pembunuhan, sejak mengambil kendali negara miskin di Asia Selatan yang dilanda konflik itu.


China Sarankan Warganya Tinggalkan Afghanistan Segera, Ada Apa?

Pasukan Taliban merayakan satu tahun sejak mereka merebut Kabul di depan Kedutaan Besar AS di Kabul, Afghanistan, Senin (15/8/2022). Taliban memperingati tahun pertama pengambilalihan kekuasaan setelah pemerintah negara yang didukung barat itu melarikan diri dan militer Afghanistan hancur dalam menghadapi serangan Taliban. (AP Photo/Ebrahim Noroozi)

Sementara itu, China pada Selasa (13/12) menyarankan warga negaranya yang berada di Afghanistan untuk meninggalkan negara itu “sesegera mungkin,” pasca serangan militan ISIS terhadap sebuah hotel milik China di jantung ibu kota Kabul Senin (12/12).

Kelompok militan ISIS, yang merupakan saingan kuat Taliban, mengklaim bertanggungjawab atas serangan Senin siang lalu di Kabul Longan Hotel, yang menewaskan tiga penyerang.

Sedikitnya dua tamu hotel luka-luka setelah melompat dari jendela dalam upaya melarikan diri. Warga melaporkan terjadinya baku tembak dan ledakan, dikutip dari VOA Indonesia, Rabu (14/12/2022).

Pasukan Taliban bergegas datang ke lokasi dan memblokir semua jalan yang menuju ke lokasi itu. Juru bicara yang ditunjuk Taliban bagi Kepala Kepolisian Kabul, Khalid Zadran, mengatakan serangan itu berlangsung selama beberapa jam dan diakhiri dengan operasi pembersihan.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin hari Selasa menyebut serangan itu “sangat mengerikan” dan menambahkan bahwa China “sangat terkejut.”

China menuntut “penyelidikan menyeluruh,” dan menyerukan pemerintah Taliban untuk “mengambil langkah-langkah tegas dan kuat untuk memastikan keselamatan warga negara, institusi dan proyek-proyek China di Afghanistan,” ujar Wang.

Kedutaan Besar China di Kabul telah mengirim tim ke lokasi untuk membantu upaya penyelamatan, perawatan dan akomodasi para korban serangan itu, tambah Wang.


Krisis HAM Masih Jadi Masalah Besar di Afghanistan

Atas kekejaman ini, PM Pakistan Nawaz Sharif memutuskan mencabut moratorium atau penghentian sementara hukuman mati untuk teroris.

Pelapor khusus situasi hak asasi manusia di Afghanistan, Richard Bennett, mengatakan kondisi di Afghanistan memburuk dalam setahun ini.

Taliban, kata Bennett, telah menjadi semakin otoriter, menekan kebebasan berpendapat, dan menolak hak-hak sipil dan politik rakyat, VOA Indonesia, Rabu (15/9/2022).

Walaupun semua orang Afghanistan mengalami masa-masa sulit, Bennett menilai, kemunduran hak-hak yang dulu dinikmati anak perempuan dan perempuan, khususnya sangat menyedihkan.

“Saya sangat prihatin akan kemunduran yang mengejutkan di mana perempuan dan anak perempuan tidak lagi menikmati hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya sejak Taliban menguasai negara itu. Tidak ada negara di dunia di mana perempuan dan anak perempuan begitu cepat kehilangan hak asasi hanya karena jenis kelamin mereka,” ujarnya.

Menurut Bennett, apa yang terjadi di Afghanistan itu adalah keprihatinan internasional. Ia memperingatkan bahwa diperlukan tindakan mendesak untuk membuat penguasa de facto Taliban mengubah kebijakan yang diskriminatif.

Pakar PBB tersebut menggambarkan Afghanistan sebagai negara yang berada di ambang kehancuran ekonomi, dengan hampir 19 juta orang, setengah dari populasi, menghadapi kelaparan akut.

Bahkan keamanan, yang membaik setelah Taliban mengambil alih kekuasaan pada Agustus 2021, kembali memburuk, kata Bennett.


PBB Tak Akui Taliban

Warga mengibarkan bendera di atas potret mendiang komandan Afghanistan Ahmad Shah Massoud (kanan) di Distrik Paryan, Provinsi Panjshir, Afghanistan, 23 Agustus 2021. Taliban berusaha untuk bernegosiasi daripada melawan kelompok perlawanan di Lembah Panjshir. (Ahmad SAHEL ARMAN/AFP)

Dia mengungkapkan bahwa dia telah menerima banyak laporan tentang warga sipil yang menjadi sasaran penggeledahan dari rumah ke rumah dan apa yang tampaknya merupakan hukuman kolektif.

“Saya sangat prihatin bahwa mantan Pasukan Pertahanan dan Keamanan Nasional Afghanistan dan pejabat-pejabat lain dari pemerintahan sebelumnya tetap menjadi sasaran penahanan sewenang-wenang, penyiksaan, pembunuhan di luar proses hokum, dan penghilangan paksa, meskipun Taliban menyatakan akan memberi amnesti,” tambah Bennett.

Bennett menambahkan, mereka yang melakukan kejahatan ini tampaknya bertindak tanpa hukuman dan menciptakan suasana teror.

PBB tidak mengakui legitimasi pemerintahan Taliban. Nasir Ahmad Andisha tetap mewakili pemerintah sebelumnya sebagai duta besar Afghanistan untuk PBB di Jenewa.

Menanggapi apa yang disampaikan Bennett, ia meminta dewan agar membentuk mekanisme guna mengidentifikasi mereka yang melakukan kejahatan.

Ia berpendapat, informasi terdokumentasi ini mungkin bisa digunakan Pengadilan Kriminal Internasional dan badan-badan PBB lainnya untuk mengadili pelaku dan memberikan keadilan bagi para korban.  

Infografis Kejatuhan dan Kebangkitan Taliban di Afghanistan. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya