Liputan6.com, Jakarta - Sejak sebelum pandemi, Esther (26) menantikan konser Head In The Clouds terselenggara di Jakarta. Saat acara yang menampilkan sederet artis di bawah label 88Rising, termasuk NIKI, Rich Brian, dan Zico, itu terwujud, dia tak buang kesempatan untuk datang langsung pada 3--4 Desember 2022.
Ia rela merogoh koceknya dalam-dalam untuk membeli tiket kelas VIP yang harganya lebih dari Rp5 juta. Penampilan para artis idolanya memang memukau pada malam itu. Namun, layanan yang diperolehnya masih dirasa kurang sempurna.
Baca Juga
Advertisement
"Untuk venue kurang karena kondisi tanah yang tidak rata, jadi pegel dan jauh. Terlebih lagi di venue susah sinyal, jadi agak susah berkomunikasi. Untuk kebersihan venue, di akhir acara sangat kotor, apalagi yang berserakan itu sampah plastik, padahal masih Day 1," celotehnya soal pengalaman kurang menyenangkan yang dialaminya kepada Liputan6.com, Kamis, 15 Desember 2022.
Sampah plastik yang dimaksudnya adalah jas hujan parasut. Menurut dia, jas hujan itu sebenarnya masih bisa dipakai lagi untuk konser hari berikutnya bila masih bagus. Kondisi makin semrawut dengan sampah botol minum dan makanan penonton yang tumpah tapi tak dibersihkan.
"Yang disayangkan itu jumlah tempat sampah yang kurang, jadi kondisi sampah di sana menumpuk-numpuk dan overload dari tempat sampah yang disediakan. Juga, letak tempat sampah yang agak jauh dari tempat menonton, contohnya tempat sampah ada di dekat stan-stan penjualan saja," tutur Esther.
Keberadaan sampah yang tak tertangani dengan baik jelas mengganggu kenyamanan orang-orang yang ada di konser. Ia merasa panitia tidak banyak inisiatif memperingatkan penonton, di samping banyak penonton juga kurang peduli akan kebersihan di lokasi acara. Selain sampah, ia juga mengeluhkan soal toilet yang aksesnya ditutup staf setelah konser usai.
"Tapi pada dasarnya, sebagai yang menonton, tanpa ada peringatan dari panitia pun seharusnya sudah sadar pentingnya menjaga kebersihan demi kenyamanan bersama," ucapnya.
Masih Dianggap Beban
Mulkan Kamaludin, Ketua Umum IVENDO, asosiasi yang menaungi sekitar 400 penyelenggara event, mengakui bahwa penanganan sampah di dalam berbagai acara, termasuk konser, masih jadi pekerjaan rumah yang belum terselesaikan. "Banyak yang menganggap hal-hal tersebut adalah biaya, bukan sebuah investasi," ucapnya dalam kesempatan berbeda.
Ia menyadari agar sampah bisa ditanggulangi dengan baik, perlu upaya lebih yang harus dilakukan, mulai dari penyediaan tempat sampah memadai, penempatan staf yang bertanggung jawab untuk itu, hingga penempatan panduan. Tapi jika diteliti lebih lanjut, modal yang dikeluarkan akan impas bahkan mungkin surplus lewat manfaat yang didapatkan.
"Sebenarnya bisa penghematan. Jika terjadi satu accident, penularan penyakit, dampak kerugiannya lebih besar. Belum lagi image, citra pelaku usaha industri event Indonesia di mata masyarakat lokal maupun luar negeri, di mana kita mau nge-push supaya kunjungan wisatawan meningkat," tutur Mulkan.
"Kalau masyarakat internasional menganggap kalau event di Indonesia itu tidak aman, tidak nyaman, promosi yang dilakukan pemerintah jadi mubazir," sambung dia.
Ia menyebut tata cara melaksanakan kebersihan dan keberlanjutan lingkungan sebenarnya sudah jelas diatur dalam panduan CHSE untuk sektor event. Hanya saja, masih banyak penyelenggara event yang kurang tepat memahaminya. "Kalau kita ngobrol sama orang-orang (event), CHSE itu dianggap hanya terkait protokol Covid, padahal tidak. Covid hanya sebagian saja dari CHSE yang meliputi kebersihan, kesehatan, keselamatan, dan kelestarian lingkungan," ia menambahkan.
Itu diamini pula oleh Frans Teguh, staf ahli bidang Pengembangan Berkelanjutan dan Konservasi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf). Dari sekian banyak banyak event yang berlangsung di Indonesia, ia menyebut baru sekitar 30--40 persen yang sudah menerapkan prinsip berkelanjutan.
Rendahnya kesadaran akan pengelolaan sampah itu juga tercermin dari posisi Indonesia di Indeks Kinerja Lingkungan (Environment Performance Index/EPI) yang disusuh Yale University. Hasilnya, Indonesia berada di urutan ke-164 dari 180 negara yang diriset dengan skor total 28,20 poin. Padahal, Menparekraf Sandiaga Uno menegaskan bahwa penyelenggaraan event adalah penting dalam upaya memulihkan pariwisata di Indonesia.
Advertisement
Edukasi Penyelenggara
Temuan itu pula yang melatari asosiasinya untuk melakukan sosialisasi dan pembinaan lebih masif, terutama di daerah. "Tingkat serapan dan pemahaman teman-teman beragam. Untuk teman-teman di Jakarta, Jogja, dan Bali, rata-rata sudah baik," kata dia.
Pelatihan bersertifikat juga diintensifkan. Hal ini untuk meningkatkan kepercayaan diri peserta pelatihan sekaligus menambah keyakinan dari pengguna jasa mereka bahwa mereka sudah menguasai pengetahuan tentang penyelenggaraan event berdasarkan standar CHSE.
"Sertifikat kita mau diakui atau tidak itu nomor ke sekian, yang penting anggota sudah dapat pelatihan sebagai bukti sudah mengikuti dan lulus pelatihan," ucapnya.
Faktanya, sambung dia, sertifikat yang dikeluarkan IVENDO diakui pihak penyelenggara event besar. Mereka di antaranya dilibatkan dalam penyelenggaraan kegiatan G20, MotoGP Mandalika, World Superbike Mandalika, dan PON Papua. Mengacu pada pelatihan itu, setiap penyelenggara event diminta untuk menyiapkan tim CHSE khusus mulai dari level manajer, supervisor, dan petugas lapangan.
Manajer, sahut dia, bertugas membuat perencanaan potensi risiko dari CHSE yang kemungkinan timbul sekaligus menyiapkan langkah mitigasinya. Supervisor bertugas mengawasi berdasarkan instruksi kerja yang dibuat manajer. Terakhir, petugas langsung bertugas mengeksekusi arahan sesuai rencana yang disusun.
"Kita masih on going lakukan sosialisasi dan pembinaan... Untuk daerah lain, kita mau selenggarakan tadinya di Desember, tapi ditunda Januari karena pelatihan officer dan supervisor sebaiknya hybrid. Sebagian materi bisa online, tapi sebagian materi perlu dilatih. Lumayan bisa nyerap kalau praktik langsung," Mulkan menjelaskan.
Sanksi Tegas
Di sisi lain, Mulkan berpendapat bahwa panduan CHSE tersebut memiliki kelemahan dalam hal penegakan hukumnya. Panduan tidak disertai sanksi nyata sehingga banyak yang menganggapnya sebagai pilihan, bukan kewajiban. Padahal, bila ingin industri event dalam negeri naik kelas, seluruh panduan CHSE yang dijabarkan wajib diikuti.
"Sistem sudah dibikin, tapi karena tidak ada punishment, jadi kayak macan ompong," ujarnya.
Ia mengaku IVENDO sudah mengusulkan agar selain upaya edukasi untuk meningkatkan kesadara para pelaku industri event, juga diterapkan hukuman bagi pelanggar aturan CHSE. Caranya dengan sistem skoring. Perusahaan yang melanggar dicatat pelanggarannya secara digital oleh pihak berwenang. "Bisa pemda atau kepolisian yang tidak puas, bisa kasih catatan," ucapnya.
Dari catatan itu, "Kalau penyelenggaraannya sangat baik, ada catatan positif, proses berikutnya akan lebih mudah dapat izin, misalnya. Sebaliknya kalau buruk, bisa diminta persyaratan lebih banyak, bahkan bisa denda atau bahkan pidana. Kalau ada itu, takut itu," ucap Mulkan yakin.
Sementara, Frans Teguh lebih mengedepankan soal edukasi publik terkait CHSE, khususnya aspek kebersihan dan keberlanjutan lingkungan, dalam mengatasi masalah itu. Edukasi publik itu, sambung dia, tidak mudah dilakukan tapi harus.
"Kerja itu dilakukan, dampingi masyarakat, komunitas EO, supaya hal-hal ini diperhatikan. Sanksi-sanksi sudah ada, perda sudah ada. Jangan buang sampah sembarangan, penanganan limbah B3, jadi tidak perlu buat regulasi baru. Cukup aturannya ditegakkan sesuai fungsi masing-masing," ia menanggapi.
Advertisement
Edukasi Penonton
Di sisi lain, peran para penonton atau pengunjung acara tak bisa diabaikan. Mereka ikut bertanggung jawab memastikan lokasi sekitar mereka tetap bersih dan rapi meski sudah membayar.
"Seharusnya kan sebagai penonton sudah sadar akan kebersihan. Kalau diingetin lagi, perlu biar makin sadar. Tapi menurutku, harus seimbang juga dengan ketersediaan tempat sampah yang memadai dan mudah dijangkau," ucap Esther.
Atas dasar itu pula, Danone Aqua sengaja mengadakan sosialisasi soal sampah di acara konser Playfest 2022, beberapa waktu lalu. Tujuannya adalah mendekati kaum muda untuk membangkitkan kesadaran untuk tidak nyampah.
"Sebenarnya tren anak muda terkait hidup yang lebih ramah lingkungan sudah sangat meningkat. Tapi, dibutuhkan kolaborasi seluruh pihak untuk membiasakan hal tersebut, termasuk pihak industri di berbagai kesempatan," jelas Flora Tobing, Senior Brand Manager Danone-AQUA kepada Liputan6.com.
Mengutip jajak pendapat yang dilakukan penyelenggara Playfest, 89,7 persen responden dari kalangan milenial dan Gen Z menyatakan ramah lingkungan sebagai kriteria penting dalam memilih suatu produk atau layanan. Sebanyak 98,9 persen partisipan menyatakan bahwa mereka mulai menyadari pentingnya untuk memilih, membeli, dan mengkonsumsi produk-produk yang diolah secara berkelanjutan.
Sementara, 96,7 persen dari mereka juga mempertimbangkan untuk memilih membeli produk dari produsen yang telah melakukan berbagai inisiatif keberlanjutan dibandingkan perusahaan yang belum memperhatikan faktor keberlanjutan dalam operasional bisnisnya dan 91,6 Persen bahkan melakukan riset terlebih dulu sebelum membeli suatu produk.
"Tak hanya itu, 89,4 persen dari partisipan juga mengaku bahwa mereka sudah menerapkan gaya hidup Bijak Berplastik," sambung Flora.
Pihaknya mengaku sangat terbuka dengan berbagai bentuk kolaborasi, termasuk untuk terus mengedukasi konsumen agar lebih bijak dalam menggunakan dan mengelola plastik. Pada akhirnya, kerja sama semua pihak sangat diperlukan untuk mendukung target pemerintah mengurangi 70 persen sampah plastik di lautan pada 2025, dan menggeliatkan sektor pariwisata dalam negeri yang terpuruk akibat pandemi lewat event-event berkualitas tinggi.