Menkes Budi Selidiki Anak Penyintas Ginjal Akut yang Alami Gangguan Organ

Muncul laporan anak penyintas gagal ginjal akut mengalami gangguan pada organ lain.

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 26 Des 2022, 07:42 WIB
Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin saat memberikan keterangan pers soal Kasus Gagal Ginjal Akut Misterius pada Anak di Gedung Kementerian Kesehatan RI Jakaarta pada 21 Oktober 2022. (Dok Kementerian Kesehatan RI)

Liputan6.com, Jakarta - Baru-baru ini, muncul laporan anak yang sudah sembuh dari gagal ginjal akut atau Gangguan Ginjal Akut Atipikal Progresif (GgGAPA) berujung mengalami gangguan pada organ lain. Dikatakan, ada yang dinyatakan sembuh tapi mengalami kerusakan organ saat menjalani rawat jalan.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia Budi Gunadi Sadikin sedang menyelidiki soal laporan adanya gangguan organ pada anak-anak yang telah dinyatakan sembuh dari gagal ginjal akut. Pelacakan kondisi dilakukan Kementerian Kesehatan (Kemenkes).

"Kami sekarang sedang melacak kondisi anak-anak yang sembuh dari gagal ginjal akut," terangnya usai 'Penandatanganan MoU Penanganan Stunting antara Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI' di Gedung PBNU Jakarta beberapa hari lalu.

Lebih lanjut Budi Gunadi mengatakan, pihaknya mendengar bahwa anak-anak yang telah dinyatakan sembuh secara klinis itu mengalami gangguan pada organ lain. 

"Secara klinis, mereka sudah sembuh ginjalnya, sekarang kita mendengar juga ada pengaruh (gangguan) ke organ lain."

Penyelidikan Kemenkes mengenai kondisi anak penyintas gagal ginjal akut ini untuk mendapatkan penjelasan lebih lanjut, apakah gangguan organ lain disebabkan dampak lanjutan dari kondisi ginjal akut yang sebelumnya dialami atau penyakit lain. Hingga kini, penyelidikan masih berlangsung untuk memeroleh kelengkapan data.

"Sekarang kami lagi cek, apakah itu memang disebabkan oleh gagal ginjal akut atau terkena penyakit lainnya," jelas Budi Gunadi.


Alami Gangguan Saraf

Ilustrasi otak (dok.Unsplash/Fakurian Design)

Laporan efek jangka panjang dari anak yang mengalami gagal ginjal mulai santer terdengar dari puluhan keluarga pasien. Meski ginjal anak kembali normal, kerusakan organ lain dilaporkan seperti salah satunya gangguan saraf.

Puluhan keluarga pasien gagal ginjal akut mengajukan gugatan perwakilan kelompok (class action) ke Pengadilan Jakarta Pusat. Tergugat di antaranya, termasuk Kementerian Kesehatan RI hingga Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM RI).

"Hampir 50 korban yang menjalin komunikasi intens dengan kami. Dari mana saja? Terutama Jabodetabek, Jawa Barat, ada juga dari Jawa Timur bahkan dari Bali," kata Perwakilan Tim Advokasi untuk Kemanusiaan Awan Puryadi di Jakarta, Rabu (30/11/2022).

Awan menyebut, banyak anak yang mengalami kerusakan organ tubuh lain akibat obat sirup tercemar yang mengandung Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG) terkait dengan kasus gagal ginjal akut.

Tim menemukan fakta bahwa dampak dari keracunan obat sirup EG dan DEG mengakibatkan kerusakan organ tubuh lain dari para korban, termasuk organ-organ dalam seperti hati, jantung, paru, malfungsi panca indera, serta kerusakan saraf permanen," ungkapnya.

Tim Advokasi untuk Kemanusiaan pun mendesak Pemerintah terus mengawal kasus gagal ginjal akut hingga seluruh pasien dinyatakan sembuh total. Salah satu pasien korban gagal ginjal akut, bahkan berakhir hilang ingatan dan membutuhkan alat bantu pernapasan seperti trakeostomi.


Badan Kaku dan Sulit Bergerak

Ilustrasi seorang anak . (Sumber foto: Pexels.com)

Awan Puryadi mengungkapkan keprihatinannya terhadap kondisi anak-anak gagal ginjal akut yang dirawat. Ada salah satu pasien dengan kondisi berat, anak berusia 4 tahun 11 bulan yang dirawat selama 3 bulan lamanya. Kini, kondisinya kaku dan sulit bergerak, kecuali jari-jari dan matanya.

"Anaknya, kondisinya betul-betul kaku semua. Enggak bisa gerak, hanya jari dan matanya. Dan kita enggak tahu apa yang dirasakan anak ini secara pribadi," ucap Awan.

Ada juga pasien anak dengan kondisi berat lainnya, bahkan tidak bisa berkomunikasi meskipun matanya bisa melihat sekeliling. Menurut Awan, keluarga-keluarga pasien gagal ginjal akut ini bingung harus melakukan langkah-langkah seperti apa.

"Mereka awalnya keracunan terjadi AKI (Acute Kidney Injury/AKI), yang kemudian akibatnya ke organ lain. Mungkin saraf, paru, dan otak, yang akibatnya permanen. Jadi tim dokter sudah menyatakan permanen," ucap beber Awan.

"Jadi di satu sisi mereka dampingi anaknya, di satu sisi ada gambaran gelap ke depan mau ngapain."

Awan mengatakan pihaknya mendampingi keluarga korban gagal ginjal yang melakukan gugatan class action ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus). Sejauh ini, keluarga korban gagal ginjal akut sudah menggugat 9 pihak yang dianggap bertanggung jawab atas kasus gagal ginjal tersebut.

"Mestinya jangan kemudian dibilang zero case, (kasusnya) ditutup. Zero case itu karena tidak beredar obat beracun atau dilakukan upaya pencegahan lain. Tapi yang sedang dirawat baik di RS atau dirawat jalan, itu kasusnya belum selesai," tegasnya.


Kelalaian Pengawasan Bahan Baku Obat

Obat sirup pexels.com/cottonbro)

Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) telah mendapatkan sejumlah fakta terbaru mengenai kasus gagal ginjal akut, termasuk adanya ketidakharmonisan koordinasi antar lembaga di pemerintah.

Hal ini diungkap bersasar temuan dari Tim Pencari Fakta yang dibentuk oleh BPKN dan beberapa pemangku kepentingan lainnya. Ketua TPF Mufti Mubarok menyampaikan pihaknya telah melakukan sejumlah investigasi untuk mendalami fakta.

"Sebagian besar korban tidak memiliki komorbid, berdasarkan data Kemenkes, ada 74 persen dari 324 korban adalah balita. Hampir semuanya dari kalangan menengah bawah atau skala ekonomi dibawah," kata Mufti dalam konferensi pers di Gedung BPKN, Rabu (13/12/2022).

Mufti menuturkan, ada temuan yang jadi konsentrasi. Di antaranya, pertama, ketidakharmonisan komunikasi dan koordinasi antar instansi di sektor kesehatan dan kefarmasian dalam penanganan lonjakan kasus GGAPA.

Kedua, adanya kelalaian instansi atau otoritas sektor kefarmasian dalam pengawasan bahan baku obat dan peredaran produk jadi obat. Ketiga, ketidaktransparanan terkait penindakan oleh penegak hukum yang dilakukan kepada industri farmasi.

Keempat, tidak adanya protokol khusus penanganan krisis terkait persoalan darurat di sektor kesehatan seperti lonjakan kasus GGAPA. Kelima, belum adanya kompensasi yang diberikan kepada keluarga korban GGAPA dari pihak pemerintah.

Infografis Keracunan Obat Biang Kerok Kasus Gagal Ginjal Akut Anak (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya