Liputan6.com, Jakarta - Sebentar lagi umat Nasrani merayakan Natal 2022. Semarak Natal sudah tampak di sejumlah daerah.
Indonesia dikenal dengan keragaman dan sikap toleransinya yang tinggi. Meski umat Nasrani minoritas, secara umum suasana perayaan keagamaan berjalan kondusif dari tahun-ke tahun.
Namun begitu, tiap tahun pembahasan mengenai hukum mengucapkan Natal, memakai atribut Natal, dan pernak-pernik lainnya selalu menjadi bumbu.
Memang, sebagai umat Islam kita dianjurkan untuk bersikap tenggang rasa atau toleransi yang tinggi. Akan tetapi, toleransi pun ada batasannya.
Perihal hukum mengucapkan selamat hari Natal sudah dibahas. Kini, pembahasan tinggal pada bagaimana hukum memakai atribut Natal.
Menarik dicermati ulasan (Ustadz Ali Zainal Abidin) di NU Online, dengan judul 'Hukum Memakai Atribut Natal'.
Sebelum memasuki bahasan, ada beberapa pertanyaan yang perlu dibahas terlebih dahulu. Apakah memakai atribut Natal termasuk dalam kategori toleransi yang masih dibenarkan oleh syara’, atau justru merupakan wujud toleransi yang berlebihan?
Baca Juga
Advertisement
Seorang Muslim ketika memakai atribut Natal dapat dipastikan ia menyerupai orang non-Muslim dalam hal busana yang menjadi identitas mereka. Meski hal ini di atasnamakan toleransi atau simpati terhadap hari raya mereka, namun jika diekspresikan dengan cara demikian maka hal tersebut tidak diperbolehkan dalam syara’.
Sebab berbusana dengan memakai atribut Natal sudah berada di luar ranah toleransi, sebab hal ini menjadi bagian dari larangan tasyabbuh bi al-kuffar (menyerupai non-Muslim) yang diharamkan oleh syara’.
Bahkan dalam memakai atribut Natal dapat berpotensi menjadi kufur jika seandainya terdapat niatan condong terhadap agama yang merayakan hari raya-nya dengan menggunakan atribut yang ia pakai. Penjelasan di atas seperti yang dijelaskan dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin:
“Kesimpulan yang telah dijelaskan oleh para ulama dalam permasalahan berbusana dengan busana orang-orang kafir, bahwa seseorang adakalanya memakai busana mereka karena condong kepada agama mereka dan bertujuan menyerupai mereka dalam syiar kekufurannya atau berangkat bersama mereka pada tempat ibadah mereka maka ia menjadi kafir dengan melakukan hal ini. Adakalanya ia tidak bertujuan seperti itu namun ia bertujuan menyerupai mereka dalam syiar hari raya atau sebagai media agar dapat berkomunikasi dengan baik dengan mereka, maka ia berdosa dengan melakukan hal demikian. Adakalanya pula ia memakai pakaian yang sama dengan orang non-Muslim tanpa adanya tujuan menyerupai mereka maka hal ini dimakruhkan, seperti mengikat selendang dalam shalat.” (Abdurrahman bin Muhammad Ba’lawy, Bughyah al-Mustarsyidin, Hal. 529).
Saksikan Video Pilihan Ini:
Menggunakan Atribut Natal
Berdasarkan referensi di atas dapat dipahami bahwa rasanya tidak perlu bagi seorang Muslim–khususnya orang awam—untuk ikut-ikut saudara sebangsa kita yang non-Muslim untuk merayakan hari raya mereka dengan cara memakai atribut-atribut yang menjadi ciri khas mereka, karena hal ini justru akan menggerus terhadap identitas umat Islam yang adaptif terhadap umat lain tapi tetap menjaga prinsip dalam segala sikapnya.
Namun permasalahan lain terjadi ketika memakai atribut Natal ini menjadi keharusan bagi setiap karyawan yang bekerja di pasar swalayan tertentu, dan telah menjadi kebijakan dari pengelola swalayan agar karyawan mengenakan atribut Natal guna menarik perhatian pelanggan yang non-Muslim. Jika perintah demikian tidak dilaksanakan maka karyawan akan dipotong gajinya bahkan dipecat.
Dapatkah ketentuan ini melegalkan pemakaian atribut Natal bagi para karyawan yang Muslim, mengingat ancaman dari perusahaan yang akan memotong gaji atau bahkan memecatnya?
Dalam kasus di atas, karyawan tetap tidak diperkenankan untuk mematuhi kebijakan dari pengelola swalayan, sebab ancaman yang disebutkan tidak sampai menjadikan pemakaian atribut Natal menjadi hal yang dilegalkan oleh syara’.
Mengingat tasyabbuh bil kuffar (menyerupai non-Muslim) hanya dapat dilakukan dalam keadaan darurat atau ikrah, sedangkan ancaman yang disebutkan di atas masih belum mencapai tahapan ini.
Kecuali memang ketika dia dipecat, ia sudah tidak dapat mencari pekerjaan di tempat lain, yang akan menyebabkan dirinya menjadi kelaparan dan kebutuhan pokoknya tidak terpenuhi, maka dalam hal ini diperbolehkan. Meskipun kasus demikian sangatlah sedikit ditemukan.
Dengan demikian, bagi karyawan muslim tetap wajib untuk menolak memakai atribut Natal, dengan segala risiko yang ditanggungnya. Sebab hal ini sudah bukan dalam ranah toleransi yang dibenarkan oleh syara’. Dan insyaAllah nantinya ia akan mendapatkan pengganti yang lebih baik atas ketaatannya dalam menjauhi larangan syara’. Wallahu a’lam.
Advertisement
Fatwa MUI tentang Hukum Menggunakan Atribut Keagamaan Nonmuslim
Komisi Fatwa MUI pada 14 Rabi’ul Awwal 1437 H14 Desember 2016 M. Fatwa MUI tentang Hukum Menggunakan Atribut Keagamaan Nonmuslim:
Pertama: Ketentuan Umum
dalam Fatwa ini yang dimaksud dengan Atribut keagamaan adalah sesuatu yang dipakai dan digunakan sebagai identitas, ciri khas atau tanda tertentu dari suatu agama dan/atau umat beragama tertentu, baik terkait dengan keyakinan, ritual ibadah, maupun tradisi dari agama tertentu.
Kedua: Ketentuan Hukum
1. Menggunakan atribut keagamaan non-muslim adalah haram.
2. Mengajak dan/atau memerintahkan penggunaan atribut keagamaan non-muslim adalah haram.
Ketiga : Rekomendasi
1. Umat Islam agar tetap menjaga kerukunan hidup antara umatberagama dan memelihara harmonis kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tanpa menodai ajaran agama, serta tidak mencampuradukkan antara akidah dan ibadah Islam dengan keyakinan agama lain.
2. Umat Islam agar saling menghormati keyakinan dan kepercayaan setiap agama. Salah satu wujud toleransi adalah menghargai kebebasan non-muslim dalam menjalankan ibadahnya, bukan dengan saling mengakui kebenaran teologis.
3. Umat Islam agar memilih jenis usaha yang baik dan halal, serta tidak memproduksi, memberikan, dan/atau memperjualbelikan atribut keagamaan non-muslim.
4. Pimpinan perusahaan agar menjamin hak umat Islam dalam menjalankan agama sesuai keyakinannya, menghormati keyakinan keagamaannya, dan tidak memaksakan kehendak untuk menggunakan atribut keagamaan non-muslim kepada karyawan muslim.
5. Pemerintah wajib memberikan perlindungan kepada umat Islamsebagai warga negara untuk dapat menjalankan keyakinan dan syari’at agamanya secara murni dan benar serta menjaga toleransi beragama.
6. Pemerintah wajib mencegah, mengawasi, dan menindak pihak-pihak yang membuat peraturan (termasuk ikatan/kontrak kerja) dan/atau melakukan ajakan, pemaksaan, dan tekanan kepada pegawai atau karyawan muslim untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama seperti aturan dan pemaksaan penggunaan atribut keagamaan non-muslim kepada umat Islam.
Ketiga: Ketentuan Penutup
1. Fatwa ini berlaku pada tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata dibutuhkan perbaikan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
2. Agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya, menghimbau semua pihak untukmenyebarluaskan fatwa ini.
Ditetapkan di JakartaPada tanggal : 14 Rabi’ul Awwal 1437 H14 Desember 2016 M
Tim Rembulan