Temukan Dugaan Kecurangan, KPU Diminta Audit Sipol

Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih menuntut Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengaudit Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) usai mengklaim telah menemukan kecurangan KPU pusat dalam proses verifikasi faktual partai politik (parpol).

oleh Winda Nelfira diperbarui 19 Des 2022, 13:50 WIB
Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan tampilan Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) Pemilu 2024 di Jakarta, Jumat (24/6/2022). KPU meluncurkan Sipol Pemilu 2024 dan telah membuka aksesnya untuk memperlancar proses pendaftaran dan verifikasi partai politik. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih menuntut Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengaudit Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) usai mengklaim telah menemukan kecurangan KPU pusat dalam proses verifikasi faktual partai politik (parpol).

Perwakilan koalisi dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan audit Sipol ini menjadi salah satu dari tiga tuntutan koalisi menyikapi sejumlah indikasi kecurangan hingga dugaan intimidasi yang dilakukan KPU pusat.

"Maka Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih menuntut beberapa poin, yang pertama terhadap Komisi Pemilihan Umum, ini sangat penting sekali untuk dilakukan karena sampai detik ini kami belum pernah mendengar hal ini berani diutarakan oleh anggota KPU pusat, apa itu? Mengaudit besar-besaran Sipol dan menyampaikannya secara terbuka, transparan kepada masyarakat," kata Kurnia secara daring melalui akun Youtube Sahabat ICW, dikutip Senin (19/12/2022).

Kurnia menjelaskan perlunya hasil audit Sipol disampaikan secara transparan oleh KPU kepada masyarakat. Pasalnya, kata dia berdasarkan kesaksian yang diterima koalisi, isu kecurangan berupa manipulasi data dalam tahapan verifikasi faktual parpol peserta Pemilu bersumber dari dugaan adanya perubahan data di dalam Sipol.

"Maka, jawabannya adalah audit Sipol-nya, biar nanti terlihat ada perbedaan-perbedaan pada tanggal-tanggal tertentu karena sistem ini didasarkan pada digital, elektronik, pasti setiap perubahan data pasti ada historinya kelihatan di sana, kami akan adu data," jelas dia.

Sementara itu, Sekretariat Kolaborasi Indonesia (SKI), dugaan kecurangan dalam proses verifikasi faktual parpol itu selain berpotensi merusak tatanan hukum juga berpotensi mengkhianati suara rakyat.

”Jika penentuan partai yang berhak ikut pemilu dan yang tidak berhak ikut pemilu dilakukan dengan penuh manipulasi, maka Indonesia berada dalam darurat demokrasi,” kata Sekjen SKI Raharja Waluya Jati.

Menurut dia, penyelenggara Pemilu seharusnya melihat aspirasi sekelompok masyarakat untuk mendirikan partai baru dan perkembangan penerimaan publik atas partai lama sebagai dinamika hubungan partai politik dan rakyat.

Hadirnya partai baru, kata Jati, dapat mencerminkan adanya potensi aspirasi baru di kalangan masyarakat yang mungkin tidak terakamodasi oleh partai yang telah ada. Sebaliknya, dukungan untuk partai lama pun tidak ajeg dan secara alamiah mengalami pasang surut.

"Penyelenggara Pemilu harus menghormati setiap suara rakyat dengan cara bersikap netral, jujur serta adil," kata dia.

 

 


Minta DPR dan Pemerintah Turun Tangan

Sebelumnya, koalisi juga menuntut Komisi II DPR RI memanggil KPU RI sebagai bentuk menjalankan mandat pengawasan untuk mengklarifikasi temuan Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih.

Jika kemudian ditemukan adanya pelanggaran atau kecurangan dalam proses verifikasi faktual partai politik oleh KPU, maka koalisi merekomendasikan kepada Komisi II DPR RI untuk memberhentikan anggota KPU yang curang.

"Kami juga mendesak Komisi II DPR RI memanfaatkan wewenangnya berdasarkan Pasal 38 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum untuk merekomendasikan pemberhentian anggota KPU RI yang terbukti berbuat curang," kata Perwakilan koalisi dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana.

Terakhir, koalisi juga menuntutPresiden Joko Widodo (Jokowi) memastikan penyelenggaraan Pemilu 2024 tidak dicemari dengan praktik intimidasi, kecurangan, koruptif, dan manipulatif.

"Ini penting sebagai bukti konkret komitmen Presiden sebelum nanti menanggalkan jabatannya pada tahun 2024 mendatang," kata Kurnia.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya