Kapal Pengungsi Rohingya Hanyut Tanpa Perbekalan di Laut Andaman, PBB Desak Bantuan dari Negara Sekitar

PBB mendesak negara-negara Asia Tenggara untuk membantu kapal pengungsi Rohingya yang hanyut tanpa listrik selama dua minggu dI dekat Kepulauan Andaman.

oleh Liputan6.com diperbarui 19 Des 2022, 17:01 WIB
Grafik Agence France-Presse pada September 2020 menunjukkan bahwa rute migrasi Muslim Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar dan Bangladesh melalui Laut Andaman menuju Malaysia dan Indonesia. (Dok. AFP News Agency via Twitter)

Liputan6.com, Jakarta - Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendesak negara-negara di sekitar Laut Andaman di Asia Tenggara untuk membantu kapal yang membawa sekitar 150 pengungsi Rohingya dan telah hanyut tanpa listrik selama dua minggu, dilansir dari BBC News, Senin (19/12/2022).

Orang-orang di atas kapal yang dihubungi melalui telepon satelit mengatakan bahwa sejumlah penumpang, termasuk anak-anak, telah meninggal dunia.

Mereka mengatakan, persediaan makanan dan air telah habis.

PBB mengajukan seruannya Jumat lalu (16/12), tetapi sejauh ini belum ada tanggapan.

Kapal nelayan kecil itu meninggalkan Bangladesh selatan bulan lalu dan kini telah berada di laut selama lebih dari tiga minggu. Mereka yang berada di kapal diyakini telah berusaha mencapai Malaysia.

Kapalnya terbuka, dengan sedikit tempat berlindung dan mesin yang tampaknya rusak beberapa hari setelah berangkat.

Sekarang, kapal telah berlayar ratusan kilometer ke perairan India, dekat Kepulauan Nicobar.

Seorang aktivis yang membantu Rohingya di Bangladesh melakukan kontak dengan seseorang di atas kapal pada hari Minggu.

"Kami sekarat di sini," kata pengungsi itu, seraya menambahkan bahwa mereka yang berada di kapal tidak makan apapun selama lebih dari seminggu.

Rohingya adalah etnis minoritas di Myanmar yang sebagian besar anggotanya melarikan diri ke Bangladesh pada 2017 untuk menghindari kampanye genosida yang diluncurkan oleh militer Burma.

 


Jumlah Pengungsi Rohingya yang Mencari Suaka Kian Bertambah

Grafik AFP menunjukkan bahwa pada 2017, minoritas Rohingya kian 'menghilang' dari Myanmar. (Dok. Agence France-Presse)

Banyak Rohingya mencoba melarikan diri dari kamp-kamp pengungsi yang penuh sesak di Bangladesh selatan dengan melakukan perjalanan laut berisiko tinggi pada saat ini, setelah musim hujan di wilayah tersebut berlalu.

Jumlah mereka bertambah karena kondisi yang memburuk di kamp-kamp, sementara lebih banyak orang Rohingya yang masih berada di Myanmar juga mencoba untuk pergi menyusul kudeta militer di sana tahun lalu.

Setidaknya lima kapal diketahui telah pergi dalam dua bulan terakhir.

Salah satu dari mereka dengan lebih dari 100 orang Rohingya diselamatkan oleh angkatan laut Sri Lanka di lepas pantai utara pulau itu pada Minggu malam, kata angkatan laut Sri Lanka.

Kelompok itu termasuk wanita dan anak-anak. Empat orang dibawa ke rumah sakit karena sakit ringan, kata seorang juru bicara angkatan laut.

Tidak jelas dari mana kelompok itu memulai perjalanan mereka atau ke mana mereka mencoba untuk pergi.


110 Muslim Rohingya Melarikan Diri dari Myanmar Pakai Perahu, Berlabuh di Aceh Indonesia

Pengungsi etnis Rohingya berada di atas kapal milik nelayan Indonesia di pesisir Pantai Seunuddon, Aceh Utara (24/6/2020). Para pengungsi Rohingya diselamatkan nelayan Aceh setelah kapal yang ditumpangi puluhan pengungsi itu rusak. (AP Photo/Zik Maulana)

Bulan lalu, seratusan muslim Rohingya yang bepergian dengan perahu selama lebih dari sebulan berlabuh di sepanjang pantai Provinsi Aceh, Indonesia pada 15 November 2022. Kelompok pengungsi itu diyakini melakukan perjalanan laut yang berbahaya dari Myanmar.

Mengutip dari AP News, Selasa (15/11/2022), nelayan lokal melihat 110 Rohingya pagi-pagi sekali di sebuah pantai di Desa Meunasah Baro, Aceh Utara. Mereka termasuk 65 pria, 27 wanita dan 18 anak-anak, menurut Herman Saputra, Kapolsek Muara Batu.

Menurut laporan dari otoritas setempat, mereka ditemukan dalam keadaan lemah dan lapar.

Usai berlabu, mereka segera dipindahkan ke balai masyarakat di desa untuk pemeriksaan kesehatan sampai pihak berwenang memutuskan di mana akan menampung mereka. 

Muhammad Amin, salah satu pengungsi, menuturkan, sebelum terdampar di perairan Aceh, mereka mengincar Malaysia sebagai tujuan akhir.

Pada bulan Maret, 114 pengungsi Rohingya juga ditemukan di sebuah pantai di Kabupaten Bireuen di Provinsi Aceh.


Sekelompok Orang Bunuh 2 Pemimpin Rohingya di Bangladesh

Pandangan umum dari Kamp Pengungsi Kutupalong di Cox's Bazar, Bangladesh, Senin (22/7/2019). Lebih dari satu juta etnis Rohingya melarikan diri dari Myanmar dan menetap di Kutupalong yang merupakan salah satu kamp pengungsi terbesar di dunia. (MUNIR UZ ZAMAN/AFP)

Sementara itu, pada Oktober, kondisi kamp-kamp pengungsi di Bangladesh juga dikabarkan memburuk.

Sekelompok orang melakukan aksi pembunuhan terhadap dua pemimpin komunitas Rohingya di Bangladesh, ketika kondisi keamanan memburuk di kamp-kamp yang menampung hampir satu juta pengungsi.

Dilansir Al Jazeera, Senin (17/10/2022), juru bicara polisi Faruk Ahmed mengatakan para pemimpin Rohingya tewas Sabtu malam di Camp 13. Ia menyebutnya sebagai salah satu serangan terburuk dalam beberapa bulan terakhir.

"Lebih dari selusin penjahat Rohingya menyerang Maulvi Mohammad Yunus (38) yang merupakan ketua majhi Camp 13. Mereka juga membunuh Mohammad Anwar (38), majhi lainnya. Yunus meninggal di tempat dan Anwar meninggal di rumah sakit,” kata Ahmed.

“Majhi” adalah istilah untuk pemimpin kamp Rohingya.

Seorang perwira senior dari unit polisi elit yang bertugas menjaga keamanan di kamp-kamp itu menyalahkan pembunuhan itu pada Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA), sebuah kelompok bersenjata yang memerangi militer di Myanmar.

"Ini adalah pembunuhan yang ditargetkan oleh ARSA. Bentrokan internal di Myanmar berdampak pada situasi keamanan di kamp-kamp," katanya, yang berbicara tanpa menyebut nama.

Permukiman kumuh tersebut telah mengalami peningkatan kekerasan dalam beberapa bulan terakhir, dengan kelompok-kelompok mencoba untuk menegaskan kontrol atas perdagangan narkoba dan mengintimidasi kepemimpinan sipil pengungsi melalui pembunuhan dan penculikan.

 

Penulis: Safinatun Nikmah.

Kondisi HAM di negara Asia Tenggara

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya