Liputan6.com, Jakarta Sejak Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menginstruksikan kepada seluruh jajaran Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri untuk tidak lagi menggelar operasi penindakan tilang terhadap pengendara secara manual pada Oktober 2022, praktis tilang manual perlahan-lahan dihentikan.
Namun, kelonggaran ini dimanfaatkan sejumlah pengendara kendaraan bermotor untuk tak mematuhi peraturan yang ada.
Misalnya, masih dijumpai mereka yang tak pakai helm, berbonceng tiga bagi sepeda motor, bahkan ada yang tak menggenakan sabuk pengamanan saat naik mobil.
Baca Juga
Advertisement
Polisi pun mencari cara, salah satunya bagaimana menerapkan teknologi Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE) Mobile atau kamera tilang yang dipasangkan pada mobil patroli Polantas.
Misalnya ini diterapkan oleh Polda Metro Jaya. Diharapkan, dengan diluncurkannya teknologi tersebut dapat menjadi kepastian hukum bagi masyarakat terlebih dalam lalu lintas.
"11 mobil E-TLE salah wujud dari tranparansi yang berkeadilan Polri kepada masyarakat," ungkap Kapolda Metro Jaya, Irjen Fadil Imran dalam peluncuran ETLE Mobile di lapangan presisi Polda Metro, Selasa (13/12/2022).
Bahkan, disebutkan, peluncuran ETLE merupakan jawaban atas perintah dari Kapolri Listyo Sigit Prabowo yang meminta agar jajaran kepolisian tidak lagi menindak pelanggar lalu lintas secara manual. Sebagaimana kerap kali ditemukan pungli oleh oknum yang memanfaatkan momentum itu.
"ini adalah bagian dari perintah Bapak Kapolri untuk terus melakukan transformasi pelayanan, transformasi operasional, tansformasi sumber daya manusia guna mencapai Polri yang dipercaya oleh publik, meraih kembali kepercayaan masyarakat," imbuh dia.
Meski demikian, Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri mengungkap adanya fenomena ketidakpercayaan anggotanya dalam bekerja di lapangan. Demikian diakui Dirgakkum Korlantas Polri Brigjen Pol Aan Suhanan.
Menurutnya, ketidakpercayaan anggota polisi lalu lintas (polantas) dalam penindakan di lapangan. Karena kebijakan larangan tilang manual.
“Banyak fenomena yang terlihat, di internal Polri ada yang kurang percaya diri, ada yang tidak berani turun ke lapangan," kata Aan saat rapat evaluasi dikutip melalui website situs NTMC Polri, Senin (17/12/2022).
Padahal, kata Aan, dari hasil evaluasi yang dilakukan munculnya ketidakpercayaan anggota, karena kurangnya pemahaman tindakan penegakan hukum yang sesungguhnya tidak hanya tilang.
Meski begitu Polantas telah melakukan penyesuaian kondisi di lapangan dengan tetap memberlakukan tilang manual untuk pelanggaran yakni memalsukan dan melepas nomor polisi, balap liar, dan knalpot brong.
"Ini karena kurangnya memahami, sesungguhnya penegakan hukum tidak hanya tilang, ada patroli dan gatur,” tambah dia.
Selain temuan itu, Aan juga menyebutkan ada 3 kriteria sikap kepatuhan masyarakat yang turut mempengaruhi. Yakni pertama paling rendah ketika ada petugas tetap masih melanggar. Kelompok kedua, ada petugas atau ada etle dia patuh.
“Kelompok ketiga, tidak ada petugas tetap mematuhi, karena kesadarannya yang tinggi. Ini perlu kita treatment, kelompok ketiga secara kasat mata lebih dari 50 persen. Dilihat dari yang melanggar bahu jalan saat tol macet, tidak menggunakan helm dan sebagainya,” ujarnya.
Perlu Tilang Manual
Ketua Indonesia Police Watch Sugeng Teguh Santoso menanggapi kabar adanya rasa khawatir dan kurang percaya diri Polisi Lalu Lintas (Polantas) untuk kembali menegakkan aturan berkendara secara manual, seperti tilang plat bodong, balap liar, hingga knalpot brong.
"Kunci dari suksesnya pelaksanaan tupoksi anggota Polri termasuk lantas adalah soal profesionalisme dlm bidangnya. Polantas yang sudah dididik dan mendapatkan pelatihan khusus lantas tidak perlu ragu untuk melaksanakan tilang manual pada 4 jenis pelanggaran yang sudah digariskan pimpinan Polri," tutur Sugeng kepada wartawan, Selasa (20/12/2022).
Adapun empat jenis pelanggaran yang dimaksud adalah memalsukan nomor polisi, melepas plat nomor, balap liar, dan knalpot brong.
"Laksanakan dengan tegas tapi sopan. Kekhawatiran adanya komplain masyarakat, fitnah dengan memviralkan pakai video yang mengakibatkan tidak percaya diri dan ragu-ragu polantas karena kalau viral akan dikenakan sanksi tidak perlu terjadi bila petugas benar," jelas dia.
Menurut Sugeng, minimal petugas Polantas bekerja dua orang dalam satu tim. Hal tersebut dimaksudkan agar ada anggota lain yang juga mengambil dokumentasi sebagai bukti apabila ada penyesatan informasi melalui medsos dengan tuduhan penyalahgunaan wewenang.
"Handphone petugas Polantas saat ini menjadi alat kerja yang penting merekam pelanggaran. Kalau memang pelanggar lantas yang mau ditilang melawan petugas tidak perlu diladeni. Divideokan plat nomor dan wajahnya. Setelahnya dilakukan penindakan tilang elektronik seperti ETLE," Sugeng menandaskan.
Sementara itu pakar transportasi dari Universitas Indonesia, Prof. Tri Tjahjono mengatakan keberadaan ETLE sebuah keniscayaan karena lingkupnya masih kecil dan terbatas. Tidak dapat menangkap pelanggaran secara luas
“Karena saya mengkritisi ETLE maka tilang manual masih diperlukan. Tilang manual masih efektif, maka ekosistemnya harus dibentuk. Dimana bila ekosistemnya belum dibentuk dan belum berskala nasional, maka tilang manual masih tetap diberlakukan,” kata Prof. Tri Tjahjono.
Senada dengan itu, Ketua Institute for Transportation Studies (INSTRAN) Ki Darmaningtyas mengungkapkan pentingnya tilang manual, publik mengetahui langsung apabila polisi bertindak terhadap pelanggar lalin. Disamping itu dapat menimbulkan shock therapy bagi pengguna jalan yang lain.
“Tilang manual juga menjaga kewibawaan aparat kepolisian sendiri karena pelanggar ditindak. Pelanggar dikenai langsung hari itu juga sehingga dapat mencegah perbuatan salah lebih lanjut. Bukan berarti menolak perintah Kapolri tapi dijalankan sesuai dengan kesiapannya. ETLE tetap terus dijalankan, namun tilang manual tetap diperlukan,” ungkap Ki Darmaningtyas.
Advertisement
Survei Polri Naik
Sebelumnya,Lembaga Kajian Strategis Kepolisian Indonesia (Lemkapi) merilis hasil surveinya pada 2 sampai 14 Desember 2022, terkait tingkat kepercayaan Polri.
Direktur Eksekutif Lemkapi Edi Hasibuan mengatakan, kepercayaan publik terhadap Polri Naik 71,4 persen. Adapun hal ini lantaran, dianggap berhasil menangani kasus pembunuhan berencana Brigadi J alias Nofriansyah Yoshua Hutabat.
"Angka ini terus menguat bila dibanding hasil survei sebelumnya pada bulan Agustus 2022 yang hanya 56,3 persen," kata Edi melalui keterangan tertulisnya, Minggu, (18/12/2022).
Tak hanya berhasil membawa mantan Kadiv Propram Polri Ferdy Sambo ke meja hijau, kasus pengungkapan kasus peredaran narkoba yang menyeret nama mantan Kapolda Sumatera Barat (Sumbar) Irjen Teddy Minahasa yang katanya banyak diapresiasi publik.
"Instruksi Kapolri dalam pengoperasian tilang elektronik dan penghentian tilang manual di seluruh Indonesia juga ikut andil meningkatkan kepercayaan publik," kata Edy.
Selain itu, sinergi Polri dan TNI dalam pengamanan kegiatan internasional G20 di Bali ikut menyumbang kenaikan kepercayaan masyarakat hingga mencapai 71,4 persen.
Reporter: Bachtiarudin Alam/Merdeka.com