Liputan6.com, Jakarta Imbas kasus cemaran Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG), Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GPFI) mengakui proses produksi pembuatan obat sirup kini semakin ketat.
Pengetatan dilakukan utamanya dua kali skrining, yakni pengecekan bahan pelarut dan pengecekan kadar cemaran saat sirup sudah menjadi produk jadi.
Advertisement
Direktur Eksekutif GP Farmasi Indonesia Elfiano Rizaldi menegaskan, aturan yang mulai berlaku sekarang bahwa setiap industri farmasi dalam memproduksi obat sirup harus mengecek dan identifikasi secara cermat kandungan bahan pelarut yang dipesan dari supplier.
Dalam hal ini, walau sudah tertulis jelas dari supplier jenis bahan pelarut yang dikirimkan seperti Propilen Glikol dan Polietilen Glikol (PEG) industri farmasi perlu melakukan pengecekan atau identifikasi, apakah benar kandungan bahan pelarut itu adalah PEG.
Hal ini sebagai pembelajaran lantaran sejumlah industri farmasi tidak mengecek kembali kandungan bahan pelarut, yang dapat berimbas adanya cemaran tinggi EG dan DEG.
"Aturan Farmakope Indonesia -- standar obat yang dikeluarkan oleh badan resmi pemerintah yang menguraikan bahan obat-obatan, bahan kimia dalam obat dan sifatnya, khasiat obat dan dosis yang dilazimkan -- juga termasuk Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) dikuatkan lagi dalam pengujian di awal sebelum produk jadi -- pengecekan bahan pelarut," tegas Elfiano saat bincang-bincang 'Kembalinya Obat Sirup yang Hilang, Jangan ada EG/DEG di Antara Kita' di Century Park Hotel Jakarta, Selasa (20/12/2022).
"Misalnya, saya pesan hari ini Propilen Glikol dari supplier. Supplier saya sudah kualifikasi, sudah audit, bagus bener. Barangnya masuk, saya pesan yang Propilen Glikol yang pharmaceutical grade (standar untuk farmasi), segelnya Propilen Glikol, tetapi saya tidak buka, seharusnya itu dilakukan identifikasi."
Identifikasi Bahan Pelarut dan Produk Jadi
Elfiano Rizaldi menekankan identifikasi bahan pelarut untuk proses pembuatan obat sirup penting dilakukan. Upaya ini sebagai antisipasi bilamana kandungan bahan pelarut ternyata ditemukan tidak sesuai yang dipesan sehingga industri farmasi dapat mengembalikan bahan ke supplier-nya.
"Tetap harus dilakukan identifikasi, benar atau tidak ini bahan pelarutnya. Kalau tidak benar -- tidak sesuai kandungan yang ditetapkan -- maka dikembalikan ke supplier-nya," bebernya.
Selanjutnya, pengecekan yang diperketat adalah tatkala obat sirup sudah menjadi produk jadi. Kandungan pada obat sirup, termasuk standar cemaran yang dihasilkan harus dicek lagi, apakah dalam batas aman atau tidak.
"Sebelum sebelum (obat sirup) diproduksi kan sudah dicek nih (bahan pelarutnya). Sekarang dengan kejadian Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG), ada peraturan lagi setelah diproduksi jadi obatnya, sebelum diedarkan ke masyarakat harus dicek lagi (kadar cemaran)," pungkas Elfiano.
"Kalau tidak memenuhi syarat ya tidak boleh beredar. Semakin berat, tapi kami berharap memang tujuannya adalah supaya tidak terulang lagi (kasus EG dan DEG)."
Advertisement
Revisi Regulasi
Pengetatan pengecekan bahan pelarut dan kandungan cemaran dalam produk jadi obat sirup, menurut Elfiano Rizaldi, harus seiring dengan pembaruan regulasi yang ada. Utamanya, aturan Farmakope dan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI.
"Dari kejadian ini, kemudian dapat direvisi aturan yang ditetapkan oleh regulator. Ya soal Farmakope dan CPOB tadi yang seharusnya direvisi. Dan kami, industri farmasi harus mengikuti aturan regulator," terangnya.
Farmakope adalah buku standar obat yang dikeluarkan oleh badan resmi pemerintah yang menguraikan bahan obat-obatan, bahan kimia dalam obat dan sifatnya, khasiat obat dan dosis yang dilazimkan.
Saat ini, Farmakope yang masih berlaku adalah Farmakope Indonesia Edisi VI tahun 2020 pada 8 Oktober 2020 yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI.
Sementara itu, Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) BPOM bertujuan untuk menjamin obat dibuat secara konsisten, memenuhi persyaratan yang ditetapkan dan sesuai dengan tujuan penggunaannya. CPOB mencakup seluruh aspek produksi dan pengendalian mutu.
Upayakan Proses CPOB
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GP Farmasi) Tirto Koesnadi mengatakan, kasus cemaran obat sirup merupakan kejadian yang belum pernah terjadi dalam industri farmasi Indonesia.
Industri yang sudah berdiri sejak 40 tahun lalu itu selama ini selalu memproduksi obat-obatan dengan aman. Bahkan industri farmasi nasional memproduksi 90 persen total volume obat nasional seperti tablet, sirup, injeksi, kapsul, inhalasi, dan berbagai obat lainnya.
Pengawasan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pun termasuk yang sangat ketat di Asia. Sebab, BPOM tergabung dalam Pharmaceutical Inspection Co-operation Scheme (PIC/S) dan telah menerapkan aturan yang mengacu pada standar internasional.
Di sisi lain, industri farmasi nasional juga sudah melakukan produksi sesuai dengan CPOB. Tirto berharap permasalahan cemaran obat sirop tidak terulang kembali di masa mendatang.
“Jangan sampai karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Sangat disayangkan sekali, karena perjuangan para perusahaan farmasi sangat mematuhi ketentuan dan peraturan yang ada,” ujarnya.
Advertisement