Hari Ibu 22 Desember, Ini 3 Puisi tentang Ibu Menyentuh dan Penuh Makna Karya Gus Mus

Untuk mengingat, mengenang, dan merenungkan jasa-jasa ibu dapat menyimak puisi-puisi karya penyair muslim KH A Mustofa Bisri (Gus Mus).

oleh Muhamad Husni Tamami diperbarui 21 Des 2022, 19:34 WIB
Ilustrasi puisi tentang ibu. (Photo by Yannick Pulver on Unsplash)

Liputan6.com, Jakarta - Ibu adalah sosok yang mulia. Ia adalah wanita hebat. Ibu mengandung sekitar 9 bulan lamanya. Kemudian melahirkan dengan penuh jerih payah. 

Belum sampai di situ, ibu ikut membesarkan anaknya bersama ayah. Harapannya, ketika tumbuh dewasa anaknya menjadi orang yang saleh atau salehah. 

Sebab, doa anak saleh atau salehah menjadi salah satu amalan yang tidak akan pernah terputus, meski ibu atau ayah sudah meninggal. Ini adalah suatu harapan besar bagi ibu, termasuk ayah juga.

Di Indonesia ada peringatan khusus untuk ibu, namanya adalah Hari Ibu. Hari Ibu diperingati secara nasional setiap tanggal 22 Desember.

Hari Ibu adalah momentum anak mengingat jasa-jasa ibu. Mari terus berbakti pada ibu dan jangan disia-siakan. Sebab, kesempatan tidak akan datang dua kali, jangan sampai menyesal.

Bagi ibunya yang telah tiada, mari kirim doa. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa doa anak saleh atau salehah akan menjadi amalan yang tidak akan pernah terputus meski ibu sudah meninggal.

Untuk mengingat, mengenang, dan merenungkan jasa-jasa ibu dapat menyimak puisi-puisi karya penyair muslim KH A Mustofa Bisri (Gus Mus). Mengutip Gusmus.net, berikut ini adalah tiga puisi tentang ibu karya Gus Mus.

 

Saksikan Video Pilihan Ini:


Ibu

Ilustrasi Puisi, Pantun, Menulis, Membaca (Photo by Suzy Hazelwood from Pexels)

Ibu

Kaulah gua teduh 

tempatku bertapa bersamamu

Sekian lama

Kaulah kawah

dari mana aku meluncur dengan perkasa

Kaulah bumi

yang tergelar lembut bagiku

melepas lelah dan nestapa

gunung yang menjaga mimpiku

siang dan malam

mata air yang tak brenti mengalir

membasahi dahagaku

telaga tempatku bermain

berenang dan menyelam

 

Kaulah, ibu, laut dan langit

yang menjaga lurus horisonku

Kaulah, ibu, mentari dan rembulan

yang mengawal perjalananku

mencari jejak sorga

di telapak kakimu

 

(Tuhan,

aku bersaksi

ibuku telah melaksanakan amantMu

menyampaikan kasihsayangMu

maka kasihilah ibuku

seperti Kau mengasihi

kekasih-kekasihMu

Amin).

1414


Nazar Ibu di Karbala

Ilustrasi menulis, pantun, puisi. (Photo by Álvaro Serrano on Unsplash)

pantulan mentari

senja dari kubah keemasan

mesjid dan makam sang cucu nabi

makin melembut

pada genangan

airmata ibu tua

bergulir-gulir

berkilat-kilat

seolah dijaga pelupuk

agar tak jatuh

indah warnanya

menghibur bocah berkaki satu

dalam gendongannya

tapi jatuh juga akhirnya

manik-manik bening berkilauan

menitik pecah

pada pipi manis kemerahan

puteranya

 

"ibu menangis ya, kenapa?"

meski kehilangan satu kaki

bukankah ananda selamat kini

seperti yang ibu pinta?"

"airmata bahagia, anakku

kerna permohonan kita dikabulkan

kita ziarah kemari hari ini

memenuhi nazar ibumu."

cahaya lembut masih memantul-mantul

dari kedua matanya

ketika sang ibu tiba-tiba brenti

berdiri tegak di pintu makam

menggumamkan salam:

"assalamu 'alaika ya sibtha rasulillah

 

salam bagimu, wahai cucu rasul

salam bagimu, wahai permata zahra."

lalu dengan permatanya sendiri

dalam gendongannya

hati-hati maju selangkah-selangkah

menyibak para peziarah

yang begitu meriah

 

disentuhnya dinding makam seperti tak sengaja

dan pelan-pelan dihadapkannya wajahnya ke kiblat

membisik munajat:

"terimakasih, tuhanku

dalam galau perang yang tak menentu

engkau hanya mengujiku

sebatas ketahananku

engkau hanya mengambil suami

gubuk kami

dan sebelah kaki

anakku

tak seberapa

dibanding cobamu

terhadap cucu rasulmu ini

engkau masih menjaga

kejernihan pikiran

dan kebeningan hati

tuhan,

kalau aku boleh meminta ganti

gantilah suami, gubuk, dan kaki anakku

dengan kepasrahan yang utuh

dan semangat yang penuh

untuk terus melangkah

pada jalan lurusmu

dan sadarkanlah manusia

agar tak terus menumpahkan darah

mereka sendiri sia-sia

tuhan,

inilah nazarku

terimalah."

 

Karbala, 1409


Cinta Ibu

Ilustrasi pantun, puisi. (Photo by freestocks on Unsplash)

Seorang ibu mendekap anaknya yang

durhaka saat sekarat

air matanya menetes-netes di wajah yang

gelap dan pucat

anaknya yang sejak di rahim diharap-

harapkan menjadi cahaya

setidaknya dalam dirinya

dan berkata anakku jangan risaukan dosa-

dosamu kepadaku

sebutlah namaNya, sebutlah namaNya.

Dari mulut si anak yang gelepotan lumpur

dan darah

terdengar desis mirip upaya sia-sia

sebelum semuanya terpaku

kaku.

2000

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya