Izin Edar Obat Sirup 6 Industri Farmasi Ditarik, GPFI: Jangan Terulang Lagi

Kejadian penarikan izin edar obat sirup dari 6 industri farmasi agar jangan terulang kembali.

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 22 Des 2022, 09:01 WIB
Pedagang melayani calon pembeli di salah satu toko di Pasar Pramuka, Jakarta Timur, Minggu (23/10/2022). Untuk diketahui, saat ini para pedagang farmasi di Pasar Pramuka sudah tidak lagi menjual lima obat sirup yang dirilis oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) akibat diduga melebihi ambang batas kandungan etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG). (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta Sudah ada enam industri farmasi yang ditarik izin edar produksi obat sirup oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia beberapa waktu lalu. Hal ini lantaran obat sirup yang tercemar bahan berbahaya Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG) terkait kasus gagal ginjal akut.

Direktur Eksekutif Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GPFI) Elfiano Rizaldi menyayangkan kejadian penarikan izin edar dan mengimbau kepada seluruh industri farmasi agar kejadian tersebut tidak sampai terulang kembali.

Pada Rabu (7/12/2022), BPOM menarik izin edar dari enam perusahaan farmasi yang ditarik izin edar obat sirup oleh BPOM. Keenam perusahaan tersebut, antara lain PT. Yarindo Farmatama, PT. Universal Pharmaceutical Industries, PT. Afi Farma, PT. Samco Farma, PT. Ciubros Farma, dan PT. Rama Emerald Multi Sukses (REMS).

Dari hasil tindaklanjut PT REMS, BPOM juga telah menarik 32 obat sirup. Penarikan dilakukan berdasarkan hasil investigasi dan intensifikasi melalui perluasan sampling.

Dari pengujian sampel produk sirup obat menunjukan kadar cemaran EG dan DEG yang melebihi ambang batas aman asupan harian (Tolerable Daily Intake/TDI) 0,5 mg/kg berat badan/hari.

"Terhadap enam industri farmasi tersebut ya memang ada pelanggaran dalam menjalankan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) dan aturan Farmakope. Tentunya ada sanksi," ujar Elfiano saat bincang-bincang 'Kembalinya Obat Sirup yang Hilang, Jangan ada EG/DEG di Antara Kita' di Century Park Hotel Jakarta, Selasa (20/12/2022).

"Sanksinya ini sudah diberikan, dikeluarkan regulasi BPOM kepada enam industri itu. Kembali lagi, ini adalah pelajaran mahal dan berharga. Jangan sampai terjadi lagi di kemudian hari."


6 Industri Farmasi Dinilai Lalai

Pedagang melayani calon pembeli di salah satu toko di Pasar Pramuka, Jakarta Timur, Minggu (23/10/2022). Ketua Harian Himpunan Pedagang Farmasi Pasar Pramuka, Yoyon mengungkapkan penjualan obat sirup bagi pedagang di Pasar Pramuka sudah anjlok hingga 95 persen. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Menurut Elfiano Rizaldi, kejadian penarikan izin edar enam industri farmasi oleh BPOM disebabkan adanya kelalaian dari industri farmasi yang bersangkutan.

Hal ini lantaran tidak melakukan pengecekan kembali bahan pelarut obat sirup dari supplier yang berujung temuan produk jadi obat mengandung cemaran Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG).

"Seperti yang saya sampaikan terhadap industri farmasi yang sudah dilakukan pengecekan produk oleh BPOM dan memang konsekuensi menurut saya bahwa enam industri ini lalai dan kurang disiplin," katanya.

"Dan kurang konsisten terhadap implementasi pelaksanaan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) dan Farmakope. Ini suatu pelajaran berharga dan mahal, terlebih masyarakat jadi korban."

Pembelajaran dari kasus EG dan DEG, diharapkan Elfiano, industri farmasi dapat meningkatkan kedisiplinan dan konsisten menaati aturan CPOB, termasuk mengecek kembali bahan pelarut obat sirup yang akan digunakan.

"Kami harapkan industri farmasi lainnya, kami mengimbau selalu Asosasi GP Farmasi terus menerus meningkatkan kapabilitas dan konsisten, disiplin menjalankan aturan terkait CPOB dan Farmakope maupun aturan standar internasional apabila industri farmasi tersebut mengirim produknya ke mancanegara," imbuhnya.


Sulitnya Bangun Reputasi

Suasan Pasar Pramuka, Jakarta Timur, Minggu (23/10/2022). Penurunan penjualan obat sirup bagi pedagang di Pasar Pramuka terjadi sejak ada kabar maraknya anak kecil terkena penyakit gagal ginjal akut yang diduga akibat obat sirup. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Dampak penarikan izin edar obat sirup enam industri farmasi juga berpengaruh terhadap reputasi industri tersebut. Bahwa membangun reputasi dari awal saja sudah sulit, terlebih dengan kasus penarikan izin edar.

"Mahal sekali (yang harus 'dibayar') dari kejadian ini dan reputasi yang dibangun kan butuh waktu lama, buat mendapatkan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) dan produknya mendapatkan Nomor Izin Edar (NIE)," Elfiano Rizaldi membeberkan.

"Lalu karena kejadian ini CPOB dan NIE sudah dicabut. Mahal sekali juga karena investasi buat bangun industri kan besar."

Ditegaskan kembali oleh Elfiano, terjadi kelalaian yang mengakibatkan penarikan izin edar obat sirup enam industri farmasi, yang mana mereka tidak mengecek lagi kandungan bahan pelarut.

"Ini adalah akibat kelalaian dan ketidakdisiplinan, dan tidak konsisten pelaksanaan CPOB, Farmakope. Padahal, itu harus tetap dijalankan dengan tertib dan disiplin sehingga enam industri farmasi tadi dicabut izin produksi mereka, izin edar dan NIE-nya," pungkasnya.


Pencabutan Izin Edar

Pedagang menunggu calon pembeli di salah satu toko di Pasar Pramuka, Jakarta Timur, Minggu (23/10/2022). Penurunan penjualan obat sirup bagi pedagang di Pasar Pramuka terjadi sejak ada kabar maraknya anak kecil terkena penyakit gagal ginjal akut yang diduga akibat obat sirup. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Sebagai salah satu contoh, menurut hasil investigasi dan intensifikasi pengawasan BPOM melalui perluasan sampling, pengujian sampel produk sirup obat dan bahan tambahan yang digunakan, serta pemeriksaan lebih lanjut terhadap sarana produksi, BPOM kembali menemukan produk obat yang menunjukan kadar cemaran EG dan/atau DEG yang melebihi ambang batas aman asupan harian/Tolerable Daily Intake (TDI) 0,5 mg/kg berat badan/hari.

Produk sirup obat yang dimaksud diproduksi oleh PT Rama Emerald Multi Sukses (PT REMS) yang berlokasi di Gresik, Jawa Timur.

Hasil uji bahan baku Propilen Glikol yang digunakan dalam sirup obat Industri Farmasi (IF) tersebut menunjukan kadar EG 33,46 persen dan DEG 5,94 persen yang melebihi ambang batas persyaratan cemaran EG/DEG (tidak lebih dari 0,1 persen) serta kadar EG dan/atau DEG dalam sirup obat 1,28-443,66 mg/ml yang melebihi ambang batas aman.

Berdasarkan pemeriksaan lebih lanjut ke sarana produksi PT REMS, ditemukan ketidaksesuaian dalam penerapan CPOB. Untuk itu, BPOM menetapkan sanksi administratif dengan mencabut sertifikat Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) cairan oral non-betalaktam serta diikuti dengan pencabutan seluruh izin edar produk sirup obat (32 produk) produksi PT REMS.

Selain sanksi administratif di atas, BPOM dalam rilis tanggal 7 Desember 2022 juga memerintahkan kepada PT REMS untuk:

  • menghentikan kegiatan produksi dan distribusi seluruh sirup obat
  • menarik dan memastikan semua sirup obat telah dilakukan penarikan dari peredaran, yang meliputi pedagang besar farmasi, apotek, toko obat, dan fasilitas pelayanan kefarmasian lainnya
  • memusnahkan semua persediaan (stock) sirup obat dengan disaksikan oleh petugas Unit Pelaksana Teknis (UPT) BPOM dengan membuat Berita Acara Pemusnahan
  • melaporkan pelaksanaan perintah penghentian produksi, penarikan, dan pemusnahan sirup obat kepada BPOM
Infografis Jangan Lengah terhadap Covid-19, Ayo Skrining Pribadi Sebelum Keluar Rumah. (Liputan6.com/Niman)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya