Tigor M Siahaan: Bank Fama Memiliki Shareholders dan Ekosistem yang Tangguh

Guna mewujudkan transformasi, rencananya Bank Fama akan mulai melakukan rebranding pada awal tahun depan.

oleh Rinaldo diperbarui 11 Jan 2023, 21:37 WIB
Direktur Utama Bank Fama, Tigor M. Siahaan. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta Lama malang melintang di dunia perbankan, karier Tigor M. Siahaan sebagai bankir dimulai di Citi Indonesia pada 1995. Selama 20 tahun berkarier di bank asing tersebut, pria kelahiran Jakarta pada 26 Oktober 1971 ini menempati sejumlah posisi.

Memulai karier perbankannya di Citi Indonesia sebagai Management Associate, lulusan Finance dan Accounting dari University of Virginia, Charlottesville, Amerika Serikat (AS) ini kemudian menjabat Vice President-Institutional Remedial Management Group di kantor pusat Citi New York pada 2000-2003.

Lalu, pada 2003-2004, dia menjabat Country Risk Manager di Citi Indonesia. Selanjutnya Tigor menempati posisi Head of Corporate and Investment Banking di Citi Indonesia pada 2004 hingga 2008. Setelah itu, dia menjabat sebagai Country Head-Institutional Clients Group di Citi Indonesia pada 2008-2011.

Jabatan terakhirnya di Citi Indonesia adalah Chief Country Officer sejak 2011 hingga 2015. Setelah 20 tahun berkarier di Citi Indonesia, Tigor pindah ke CIMB Niaga.

Tigor diangkat pertama kali menjadi Presiden Direktur CIMB Niaga berdasarkan Keputusan RUPST 10 April 2015 dan efektif tanggal 1 Juni 2015. Pengangkatan terakhir sebagai Presiden Direktur CIMB Niaga berdasarkan Keputusan RUPST 15 April 2019, dengan periode jabatan 2019-2023.

Tigor kemudian mengajukan pengunduran diri sebagai Presiden Direktur dan CEO CIMB Niaga pada 21 Oktober 2021. Setelah ramai menjadi rumor, awal 2022 akhirnya Tigor berlabuh di Bank Fama sebagai Direktur Utama.

Jelang pergantian tahun 2022-2023, Tigor mengakui pihaknya tengah fokus melakukan transformasi secara internal, mulai dari sisi teknologi hingga sumber daya manusia. Jika tidak ada aral melintang, rencananya Bank Fama akan mulai melakukan rebranding pada awal tahun depan.

Lantas, apa saja yang akan dilakukan Tigor di tahun depan guna mewujudkan transformasi Bank Fama dari bank konvensional menjadi bank digital?

Berikut petikan wawancara Tigor M Siahaan dalam program Bincang Liputan6 dengan Ratu Annisaa:


Transformasi Menuju Bank Digital

Direktur Utama Bank Fama, Tigor M. Siahaan. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Apa tantangan terbesar di Bank Fama saat ini?

Kalau kita lihat dari segi industrinya, secara keseluruhan industri perbankan ini sudah mengalami beberapa transformasi dalam beberapa dekade terakhir. Tapi sekarang transformasinya saya rasa jauh lebih masif karena mengarah ke digital.

Jadi bagaimana industri perbankan ini benar-benar bisa menyambut seluruh industri-industri lainnya, entah itu e-commerce atau ride hailing, atau pun banyak aktivitas-aktivitas lainnya yang sudah merambah ke digital secara hampir masif, secara total.

Dan bagaimana industri perbankan itu bisa ikut mengikuti dan malah improve dari productivity dari industri-industri lain tersebut mengarah ke digital. Jadi saya rasa itu adalah tantangan perbankan secara keseluruhannya.

Artinya akan berubah dari bank konvensional menjadi digital?

Saya rasa konvensional bisnis ini memang masih besar. Terus terang itu merupakan salah satu tulang punggung perbankan sekarang ini. Tapi trend-nya tersebut mau tidak mau mengarah ke digital. Jadi itulah yang kita lakukan di Bank Fama ini. Bagaimana kita mengarahkan transformasi total sehingga pelayanan dari banking itu menjadi digital nantinya.

Lantas, bagaimana Bapak melihat kompetisi dalam industri perbankan nasional di era digital seperti sekarang?

Jadi kalau kita lihat perbankan nasional memang keseluruhannya ya kita ketarik balik. Credit to GDP di Indonesia itu mungkin sekitar 35 persen, mungkin merambah ke 38-40 persen. Kalau household debt to GDP, household debt itu adalah debt dari salah satu household atau rumah yang mungkin ada empat atau lima orang di dalam satu rumah itu, household tersebut. Itu sekitar 17 persen dari GDP.

Nah, kalau kita bandingkan negara-negara maju ini sudah ada yang 80, 100 atau even 200 persen. Artinya apa? Artinya bahwa access to financing yang mempunyai akses terhadap kredit di Indonesia ini masih terbatas.

Jadi menurut kami, perbankan sudah sangat maju dalam beberapa dekade terakhir, sudah sangat mapan, sudah sangat baik dari segi infrastrukturnya. Akan tetapi masih banyak yang harus bisa dilayani. Jadi dari seluruh penduduk Indonesia tersebut masih banyak underbanked dan unbanked segmen yang menurut kami bisa membantu pertumbuhan produktivitas Indonesia kedepannya.

Nah, ini adalah tantangan terbesar untuk perbankan, bagaimana bisa turun dari segi mass market tersebut, sehingga market-market yang underbanked, market-market yang unbanked itu bisa terpenuhi kebutuhannya.

 


Data Nasabah Sangat Penting

Direktur Utama Bank Fama, Tigor M. Siahaan. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Dengan semua tantangan itu, bagaimana rencana Bank Fama ke depan?

Nah, ini yang menarik. Saya rasa ini adalah salah satu ketertarikan dari Bank Fama sendiri, karena kami mempunyai shareholders yang cukup tangguh dan mempunyai ekosistem yang sangat handal. Jadi shareholders kami yang besar adalah Emtek, Grab dan Singtel. Apa sih keistimewaan dari shareholders tersebut? Ekosistem.

Jadi ekosistem mereka mempunyai lingkup yang sangat luas, lingkup yang sangat dalam sehingga sesuatu yang tadinya tidak dapat terakses terhadap financing menjadi sangat terbuka.

Saya beri contoh, misalnya seorang pedagang martabak dan sekarang dia jualan di GrabFood ya. Tadinya dia hanya bisa jualan di sekitarnya sajalah, orang yang lewat, orang yang kebetulan mampir, pulang ke rumah, dan sebagainya.

Akan tetapi dengan GrabFood dia bisa mengantar ke seluruh pelosok dari kota tersebut atau even kadang-kadang di luar kota kan? Kadang-kadang mungkin Anda juga pesen duren dari Medan, misalnya langsung. Nah, itu bisa terjadi karena digital.

Runtunannya adalah bahwa data-data mengenai penjual martabak tersebut ada di Grab. Misalnya, berapa sih penjualannya? Apakah konsisten? Martabak apa sih yang paling laku? Yang wijen apa yang cokelat apa yang keju, misalnya? Dan apakah weekend itu selaku dengan weekday? Dan ratingnya bagaimana? Yang beli itu suka apa enggak dan sebagainya.

Artinya data memegang peran penting?

Ya. Semua data tersebut bisa terkumpul dan bisa menjadikan alternatif credit scoring untuk kami. Jadi untuk mendeterminasi apakah nasabah ini nasabah baik, nasabah tidak baik atau potensi baik itu berdasarkan data. Semuanya berdasarkan data, database.

Nah, kalau kita tidak mempunyai data tersebut, akan sangat sulit untuk kita menentukan apakah nasabah ini menjadi baik atau nasabah ini menjadi buruk. Dengan data-data tersebut kita bisa berani nih untuk memberikan financing terhadap UMKM, micro SME yang mau, misalnya dia mengembangkan toko martabaknya, dia membuka cabang di tempat lain. Dia mau hire pegawai-pegawai baru untuk memperbesar tokonya atau kiosnya atau warungnya, itu jadi bisa.

Kalau enggak ya mereka terus terang kalau misalnya ke bank ditanyain financial statements nggak ada, udah diaudit belum ya belum. Apakah ada collateral-nya ya enggak ada gitu loh. Tapi apa yang kita lakukan adalah berdasarkan data itu dari ekosistem yang kami miliki.

Dan data itu langsung ter-update secara otomatis?

Real time, karena kita mengetahui secara real time apakah terus dia mendapatkan order, apakah konsisten, apakah ratingnya menurun ataukah naik. It's real time. Dan ini terjadi di seluruh merchant-merchant, kios-kios, warung-warung yang ada di ekosistem kami.

Nasabah seperti apa yang akan disasar Bank Fama?

Nasabah-nasabah yang akan kita sasar itu adalah nasabah yang ritel dan micro SME. Jadi di UMKM seperti saya katakan tadi yang mempunyai kios-kios, merchants atau warung-warung.

Saya beri contoh, misalnya salah satu ekosistem yang kami akan kerja sama juga adalah Bukalapak, di mana mereka mempunyai yang namanya Mitra Bukalapak ya, 10 juta atau 12 juta warung tersebar di seluruh Indonesia.

Jadi, itu sama lagi bahwa data-data terhadap warung-warung tersebut, transaksinya, flow-nya itu ada dan bagaimana kita bisa memberikan financial services, access to financing terhadap mereka itu menjadi terbuka lebar.

 


Ekosistem dan Teknologi Bank Fama

Direktur Utama Bank Fama, Tigor M. Siahaan. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Adakah kebiasaan pada bank konvensional yang tetap bisa diterapkan di bank digital?

Yang masih berlaku itu, biar bagaimanapun dulu kalau kita mengenal di banking itu namanya 5C's, right. First one is character. Karakter itu masih sangat penting, mau di dunia digital, konvensional, dunia abu-abu, dunia gelap, dunia terang, character is number one.

Karakter itu merupakan profil dari sponsor, dari pemilik usaha, peminjam, dan sebagainya. Cashflow penting, bagaimana cashflow-nya suatu perusahaan atau suatu bisnis atau suatu UMKM itu bisa menghasilkan repayment capabilities. Jadi memang kalau di banking itu ada dua fokus adalah willingness and ability.

Jadi ada willingness to payback, itu biasanya dari karakter ya, dan ability itu biasanya dari cashflow yang lain lain, dari capacity, collateral dan sebagainya, mungkin itu yang priority keduanya, tapi willingness and ability to pay menurut saya itu tetap sama di konvensional business atau digital business.

Dengan begitu banyaknya bank digital bermunculan, bagaimana strategi Bank Fama untuk memenangkan persaingan?

Kalau kita lihat di Indonesia, seperti saya katakan tadi, opportunity-nya itu sangat luas. Jadi household debt to GDP sekitar 17-18 persen. The whole credit to GDP sekitar 35-40 persen.

Dan kalau kita melihat dari bank-bank digital yang sudah merambah di Indonesia tersebut, mungkin market share mereka secara total belum seperti yang diharapkan dari semua di dunia digital, market share mereka secara total itu paling sekitar 1 persenan.

Jadi 99 persen dari market share masih dikuasai oleh bisnis atau bank yang dari konvensional. Jadi, apakah market share-nya yang akan tumbuh? Tentu saja pie-nya itu akan tumbuh secara besar.

Jadi kita bukan hanya mengambil market share dari existing pie, tapi the pie is gonna get so much bigger dan bagaimana kita bisa mengambil market share bank-bank digital ini bisa mengambil market share yang lebih besar dari pie yang akan menjadi lebih besar tersebut.

Kalau kita melihat pesatnya dunia digital, apakah 1 persen market share itu akan menjadi 5 persen? 10% 20% 30%? Saya enggak tahu. Tapi it's gonna be multiples of that one percent number.

Di masa depan, adakah kemungkinan bank digital menggeser bank konvensional?

Kalau saya rasa marketnya untuk di medium term, saya rasa marketnya itu ada market yang masing-masing ya. Teknologinya akan menjadi lebih digital, approach-nya semuanya akan lebih menjadi digital. Tapi yang kami coba tekankan adalah bagaimana kita bisa masuk ke underbanked dan unbanked segment.

Underbanked dan unbanked segment ini memang belum terlalu difokuskan oleh existing banks. Jadi kita benar-benar mau membesarkan pie-nya dengan segmen yang underbanked dan unbanked.

Apa yang akan menjadi pembeda Bank Fama dengan bank digital lainnya?

Satu, ekosistem kita sangat kuat, sangat handal dan sangat dalam dengan data yang dimiliki oleh ekosistem kita. Dengan flow dan capability yang dimiliki oleh ekosistem kita merupakan salah satu dorongan terkuat untuk bank kita.

Kedua, dari tech capabilities, teknologi capabilities. Biar bagaimanapun semuanya berbasis teknologi. Nah, kebetulan Grab itu adalah perusahaan tech, perusahaan teknologi. Basisnya memang itu, DNA-nya dia memang itu.

Jadi kedepannya kita akan mencoba untuk leverage that sinergy, teknologi yang dari Grab yang sudah sangat canggih ini dan tentu saja akan berkembang terus. Ini akan kita leverage to make sure bank kita dengan teknologi yang sangat advanced.

So, the best in class platform, the best in class automated processes, it's a cloud native approach. Dan kami berharap dengan teknologi yang lebih canggih ini, kita bisa serve our customers to the best that we can.

 


Tahun Depan Belum Tentu Suram

Direktur Utama Bank Fama, Tigor M. Siahaan. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Bagaimana menurut Bapak peran ideal yang harus dilakukan OJK dan BI agar perbankan Indonesia kondusif dan bisa bermain di tingkat global?

Saya merasa selama ini OJK dan BI sudah sangat suportif ya, dari segi sebenarnya bank di Indonesia ini kan ada 100, hampir 110 bank di Indonesia ini. Sebelum krismon sebenarnya ada 220-230 bank, sekarang sudah terpotong setengah.

Dan kemarin OJK mengeluarkan peraturan bagaimana keharusan minimum capital itu ditingkatkan menjadi Rp 3 triliun. Saya rasa itu baik karena bagaimana supaya bank-bank ini menjadi jauh lebih kokoh, lebih solid dan fondasinya menjadi lebih kuat.

Jadi kalau saya merasa kebijakan itu untuk to make sure perbankan, industri perbankan secara nasional ini sangat-sangat kokoh ya.

Kedua, dari BI sendiri sangat mendorong digitalisasi. Kita lihat sendiri seperti QRIS, di mana QR kode yang sudah di didorong oleh BI. Mungkin sudah 20 juta merchant di seluruh Indonesia dan ini juga baru diluncurkan berapa tahun yang lalu.

Jadi saya rasa rapid growth di sini sangat-sangat cepat untuk mendorong digitalisasi dari masyarakat Indonesia. Jadi kebijakan-kebijakan seperti inilah yang kita terus dorong supaya inovasi-inovasi yang ada akan terus bertambah.

Jadi kami berharap BI dan OJK terus mendorong inovasi-inovasi tersebut. Sehingga Indonesia itu mudah-mudahan bukan hanya sebagai follower dari tech innovation tersebut, kenapa kita enggak menjadi leader dari inovasi-inovasi tersebut.

Kemudian, seperti apa Bapak melihat ekonomi 2023 yang diprediksi akan muram? Apa dampaknya ke dunia perbankan nanti?

Banyak prediksi ekonomi yang akan sulit, muram. Kalau saya sih masih kosisten, optimistik ya. Saya cautious, tapi saya masih semi optimistik. Kenapa? Saya melihat Indonesia ini masih menjadi satu titik terang di dalam banyak gejolak yang terjadi di seluruh dunia.

Kita tahu dari geopolitical situation di Rusia, di Ukraine yang mengakibatkan supply shock ke seluruh dunia. Dari krisis pangan, krisis energi dan sebagainya. Inflasi juga hampir seperti are off control ya di beberapa negara-negara maju.

Tapi kalau kita lihat di Indonesia, gross kita masih cukup baik, terkotor gross-nya malah melampaui beberapa projection di 5,7 persen. Rupiah kita memang melemah, tapi not to bad ya di sekitar 15.500- 15.600. Inflasi kita masih cukup terjaga.

Jadi kalau saya melihat, tentu saja kita tidak insulated terhadap what's going on di seluruh dunia. Tapi dengan harga yang komoditas yang cukup baik, itu it's a blessing juga untuk Indonesia. Ekspor kita cukup meningkat karena kan kita surplus.

Jadi dari segi kredit gross juga naik cukup baik. Jadi saya merasa mungkin akan ada tekanan-tekanan. Tapi saya rasa tahun depan tidak sesuram yang dibayangkan kalau menurut saya.

Kalau menurut saya mungkin apakah akan sebaik tahun 2022? Ya itu debatable, tapi dari segi ekonominya saya rasa akan terjadi gross yang cukup baik, minimal 4 persen dan kalau kita beruntung mungkin bisa sekitar 5 persen lagi. Jadi saya rasa situasi ini sangat perlu disyukuri untuk Indonesia.

Di sisi lain, beberapa negara malah mengalami over capital seperti Cina. Adakah dampaknya buat Indonesia?

Indonesia masih sangat beruntung karena harga komoditasnya sangat terjaga, ekspornya cukup meningkat dan jangan lupa, Indonesia itu local domestic demand-nya sangat besar ya, lebih dari setengah dari ekonomi kita adalah dari domestic demand. Jadi kalau domestic demand ini sangat kokoh, ini tumbuh terus, saya rasa ekonomi kita masih cukup oke.

 


Tentang Gaya Kepemimpinan

Direktur Utama Bank Fama, Tigor M. Siahaan. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Sangat berpengalaman di dunia perbankan, Apa yang membuat Bapak akhirnya memutuskan bergabung dengan Bank Fama?

Wah, saya merasa sangat bersyukur atas kesempatan ini, karena yang seperti saya katakan tadi, satu, dari tren digitalisasi itu adalah suatu keniscayaan. Memang arahnya ke sana.

Kedua, ekosistem yang kita miliki adalah ekosistem yang sangat handal, dalam dan sangat kuat, sehingga benar-benar kita bisa melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan dari underbanked dan unbanked segment tersebut ya.

Dan yang ketiga, menurut saya this is an opportunity to make a difference, ya. It's an opportunity to make difference. Karena kita bayangkan di underbanked dan unbanked segment tersebut, kita bayangkan kita bicara bukan bisnis yang besar nih, kita bicara bisnis-bisnis yang benar-benar mikro ya.

Bisnis mikro seperti apa, misalnya?

Dia jualan siomay, di warung, dia jualan voucher dan sebagainya. Bayangkan kalau mereka bisa mendapatkan kesempatan untuk memperbesar usahanya, untuk mendapatkan pinjaman supaya dia bisa mendapatkan cabang di tempat lain ataukah bisa mengekspansi dari warungnya. Pendapatan dia berlipat.

Dan itu dia bisa sekolahin anaknya. Dia bisa berobat kalau diperlukan, dia bisa coba cicil rumah. Produktivitas seperti itu kalau misalnya kita multiply itu by 1 juta, 2 juta, 5 juta orang yang bisa kita karyakan seperti tersebut, dampak terhadap ekonomi Indonesia itu sangat besar.

Jadi kalau dari middle class kita berikan atau middle dan upper class kita berikan produktivitas itu tentu saja pertambahan ekonominya besar.

Tapi kalau yang di bawah ini kita berikan kesempatan yang seperti saya katakan tadi, anaknya sekolah, anaknya bisa kerja, dianya bisa cicil rumah, cicil kendaraan, itu impact-nya multiplier effect-nya so big. Jadi menurut saya that kind of difference is available in this platform.

Apakah Bapak akan mengubah gaya kepemimpinan karena bank ini akan menjadi bank digital?

Aduh, kalau gaya kepemimpinan sih saya rasa enggak ya. Saya rasa sama-sama aja. Mungkin saya enggak pakai dasi lagi, mungkin lebih santai sedikit. Tapi saya rasa sama saja. Karena itu berdasarkan values, values keterbukaan, values untuk constant learning, values on spreading positive energy, values on making a difference, saya rasa semua dari those values are the same.


Alasan Mencintai Dunia Perbankan

Direktur Utama Bank Fama, Tigor M. Siahaan. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Bapak ingin Bank Fama nantinya dikenal sebagai bank seperti apa?

Mungkin simpelnya bank yang bisa membantu hidup dari masyarakat di Indonesia. Simpelnya seperti itu ya, yang enggak ribet, enggak njelimet.

Apa nilai-nilai yang ingin Bapak tanamkan di Bank Fama?

We have to make a differencea ya. Dan ini terus terang filosofi hidup saya. Saya merasa cocok dengan keadaan Bank Fama sekarang ini. Bagaimana kita make difference?

Jadi selama hidup saya juga, saya terus coba belajar. Saya coba terus menggali pengetahuan untuk bagaimana kita bisa make a difference, make an impact. Dan saya rasa cocok sekali dengan misinya Bank Fama ini, bagaimana kita bisa make a difference to the segment.

Terakhir, apa yang membuat Bapak mencintai dunia perbankan?

Saya rasa ada beberapa hal. Satu, adalah bagaimana dunia perbankan itu sangat bersentuhan dengan-dunia dunia industri lainnya. Jadi entah itu dunia perkebunan, tambang, konstruksi, real estate, pasti berhubungan dengan dunia perbankan. Hampir enggak ada industri yang tidak bersentuhan dengan dunia perbankan.

Jadi saya banyak belajar mengenai industri, real estate, perkebunan, tambang, konstruksi, FMCG. Karena dari dunia perbankan, jadi bener-bener belajar banyak sekali industri. Kedua, seperti saya katakan tadi, bagaimana kita bisa make a difference?

Jadi di beberapa bank saya sebelumnya itu sangat senang sekali kalau kita bisa melihat nasabah-nasabah yang tadinya kecil sudah dibina dengan bank ini selama 20, 30, 40 tahun menjadi sangat besar, itu itu rasanya bener-bener apa namanya? Rewarding sekali gitu lho.

Dan growing together with the clients is such a rewarding experience. Jadi saya rasa, saya rasa itu yang enggak bisa dibeli gitu loh.

That sense of reward that you get from helping those people?

Yes.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya