Liputan6.com, Jakarta Water specialist sekaligus Lektor Fakultas Teknik Lingkungan dan Sipil (FTSL) Institut Teknologi Bandung (ITB) Dr. Ir. Rofiq Iqbal, ST., M.Eng., mengatakan bahwa jarak ideal antara sumur atau sumber air dengan septic tank adalah 10 meter.
Namun, di perkotaan, jarak satu rumah dengan rumah lainnya sangat berdekatan sehingga septic tank pun dekat dengan sumber air yang digunakan sehari-hari. Padahal, limbah dari septic tank berpotensi mencemari sumber air jika jaraknya terlalu dekat.
Advertisement
Hal ini yang menyebabkan air di kawasan padat penduduk berpotensi mengandung bakteri E coli. Bakteri E coli sendiri merupakan bakteri yang sudah pasti berasal dari tinja atau kotoran manusia.
“Jadi kalau ada sumber air yang tercemar E coli berarti cemarannya berasal dari kotoran masyarakat,” ujar Iqbal dalam media gathering bersama Coway, Rabu (21/12/2022) di Jakarta.
Guna menghindari hal tersebut, maka ada teknologi yang lain selain septic tank yakni biofilter.
“Septic tank itu artinya tangki atau bak yang tidak berhubungan dengan udara untuk menampung limbah (kotoran) dan diharapkan bakteri dapat mengolah limbah tersebut.”
Sedangkan, biofilter adalah tank yang diberi penyekat dan alat sebagai media tumbuh bakteri sehingga bakteri yang dihasilkan lebih banyak. Hal ini berkaitan dengan sumber air yang lebih baik. Meskipun jarak antara biofilter dengan sumber air hanya 1,5 meter maka tidak banyak memengaruhi air.
Kualitas Air di Indonesia
Iqbal juga menyatakan bahwa sejauh ini pihaknya belum melakukan penelitian di setiap daerah di Indonesia. Namun, ia dan timnya melakukan pelatihan pada perusahaan air minum.
“Kami memang terus terang sekarang ini masih bekerja sama dengan PDAM. Kami memang lebih ke arah meng-improve kualitas air yang dihasilkan dari perusahaan-perusahaan air minum. Jadi kami memberikan pelatihan dan konsultasi supaya produk airnya bagus.”
“Tapi, untuk satu per satu kualitas air di daerah, bahasa jeleknya ‘enggak usah diteliti udah tahu deh’.”
Penelitian kualitas air tidak dilakukan langsung oleh pihak ITB melainkan ada kerja sama dengan pemerintah kota. Misalnya, sekarang sudah ada program Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas).
“Itu kita bekerja sama dengan mereka bagaimana supaya kita melakukan kegiatan yang lebih terorganisasi supaya limbah bisa diolah dengan bagus. Menjadikan pengolahan air minum yang bagus,” katanya.
Advertisement
Air yang Dimasak
Iqbal turut menerangkan soal air yang dimasak sebelum dikonsumsi. Menurutnya, air yang dimasak bisa dikonsumsi dengan aman tapi tetap ada beberapa catatan.
“Nah kalau air dimasak, kalau sudah mendidih itu sudah aman. Kecuali kalau mengandung logam-logam berat.”
“Jadi, kalau air-air yang tercemar limbah domestik seperti bakteri, kalau sudah dimasak, kalau sudah mendidih insyaAllah sudah aman. Namun, kalau dia tercemar yang lain, seperti limbah industri, itu enggak cukup hanya dimasak karena ada kemungkinan ada logam berat yang tidak tersisihkan.”
Tempat yang berisiko memiliki air tercemar oleh limbah industri adalah pemukiman-pemukiman padat yang jaraknya memang dekat dengan industri.
Kesadahan
Ada pula kejadian timbulnya zat-zat mengapung di permukaan air setelah dipanaskan. Hal ini bisa terjadi karena beberapa kemungkinan. Salah satunya ‘kesadahan’ artinya air tersebut mengandung magnesium dan kalsium.
“Itu ada beberapa kemungkinan sih memang, yang paling mungkin itu ada yang namanya kesadahan. Kesadahan itu air yang mengandung magnesium dan kalsium. Sebenarnya kalau sudah dimasak dan disisihkan yang mengapungnya, sebenarnya relatif aman.”
“Memasak itu artinya kita memberi energi yang besar pada air. Energi yang besar itu digunakan untuk mengoksidasi parameter pencemar. Nah parameter pencemar ketika dioksidasi kemungkinannya ada dua, yaitu mengendap dan mengapung.”
Pengendapan inilah yang kemudian acap kali menjadi kerak di panci atau tempat memasak air.
Advertisement