Liputan6.com, Jakarta - Empat tahun silam, tsunami yang tak terduga menyapu wilayah Selat Sunda dan sekitarnya. Bencana ini terjadi saat liburan akhir pekan yang sibuk pada Sabtu, 22 Desember 2018.
Hingga dua hari berikutnya, puluhan orang masih hilang. Data yang ada menyebutkan bahwa lebih dari 370 orang tewas dengan sedikitnya 1.400 terluka dan ribuan lainnya mengungsi.
Advertisement
Mengutip dari laman NBC, Rabu (21/12/2022), para ilmuwan memastikan bahwa tsunami dipicu oleh tanah longsor bawah laut menyusul keruntuhan sebagian gunung berapi Anak Krakatau yang meletus.
Sementara itu, tim militer dan penyelamat menyebar di sepanjang garis pantai pulau Jawa dan Sumatra, menggunakan alat berat dan tangan kosong untuk menarik korban dari puing-puing.
Anak Krakatau telah memuntahkan abu dan lahar selama berbulan-bulan sebelum bagian seluas 64 hektar di sisi barat dayanya tenggelam ke laut, kata para pejabat.
"Ini menyebabkan tanah longsor bawah laut dan akhirnya menyebabkan tsunami," kata Dwikorita Karnawati, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Dia menambahkan, gelombang menghantam garis pantai 24 menit setelah guncangan, yang setara dengan gempa berkekuatan 3,4 magnitudo.
Karnawati menyerukan sistem peringatan yang lebih baik untuk menghindari hilangnya nyawa seperti itu di masa depan.
Di 90 persen wilayah tersebut, ada sistem peringatan untuk tsunami yang dipicu oleh gempa bumi, kata Karnawati. Gunung berapi juga dipantau, ia meyakinkan masyarakat untuk tidak panik.
Kendati demikian, juru bicara Federasi Internasional Palang Merah mengatakan bahwa keadaan yang menyebabkan tsunami ini cukup unik, sehingga sistem peringatan kemungkinan tidak akan menangkap peristiwa serupa.
"Seperti yang dikatakan para ahli, itu mungkin disebabkan oleh tanah longsor, tidak akan ada peringatan," kata Jan Gelfand. "Tidak ada yang bisa memprediksi ini."
Tsunami yang Sulit Dideteksi
Juru bicara Badan Nasional Penanggulangan Bencana saat itu, Sutopo Purwo Nugroho mengatakan tidak ada sistem peringatan tsunami yang disebabkan oleh tanah longsor atau letusan gunung berapi.
Selain itu, rantai pelampung tsunami di perairan Indonesia tidak berfungsi sejak 2012, kata Nugroho dalam serangkaian tweet. Dia menghubungkan disfungsi pelampung itu dengan vandalisme, kurangnya dana, dan kerusakan teknis.
Ini adalah tsunami besar kedua yang melanda Indonesia pada 2018. Di tahun yang sama pada bulan September, lebih dari 2.500 orang meninggal akibat gempa bumi dan tsunami yang melanda pulau Sulawesi.
Meski jumlah korban tewas dalam tsunami Anak Krakatau tidak terlalu tinggi, Gelfand mengatakan kehancurannya masih signifikan. Tim medis, air minum, dan sumber daya lainnya dikerahkan untuk mendukung para korban.
Ratusan rumah dan infrastruktur hancur, termasuk lokasi wisata seperti warung makan dan hotel telah "hilang," katanya.
Presiden Joko Widodo mengunjungi daerah-daerah yang terkena dampak tsunami di Selat Sunda itu, pada 24 Desember 2022. Ia menekankan agar tim penyelamat memprioritaskan pencarian korban dan perawatan korban.
Advertisement
Gunung Anak Krakatau Kembali Erupsi, Status Siaga
Gunung Anak Krakatau terbilang cukup aktif. Jelang akhir tahun ini, Gunung Anak Krakatau (GAK) meletus lagi sebanyak dua kali pada Kamis, 15 Desember 2022. Ketinggian erupsi mulai dari 100 meter hingga 700 meter dari atas puncak.
Letusan pertama berketinggian 700 meter dari puncak gunung. Sedangkan yang kedua, ketinggiannya mencapai 157 meter. Kolom abu teramati berwarna kelabu, mengarah ke Timur Laut.
Erupsi itu terekam di seismogram dengan amplitudo maksimum 37 mm dan berdurasi 4 menit 46 detik, serta tidak terdengar suara dentuman.
Letusan kedua terjadi pukul 10.35 wib dengan ketinggian 100 meter di atas puncak. Kolom abu berwarna putih mengarah ke Timur Laut.
Erupsi terekam di seismogram dengan amplitudo maksimum 7 mm, berdurasi 1 menit 9 detik, dan tidak terdengar suara dentuman.
Kedua laporan itu disusun oleh Jumono, petugas pos pantau GAK di Pasauran, Kabupaten Serang, Banten, kemudian diunggah ke Magma Indonesia, aplikasi resmi milik Kementrian ESDM.
Masyarakat, nelayan, dan wisatawan dihimbau tidak beraktifitas dalam radius 5 kilometer dari gunung. Saat ini, Gunung berapi yang berlokasi di perairan Selat Sunda itu berstatus Siaga atau Level III.
Erupsi Anak Krakatau pada April 2022
Beberapa bulan sebelumnya, Anak Krakatau juga erupsi. Pada Minggu, 24 April 2022, pos pantau Anak Krakatau melaporkan ketinggian letusan mencapai 3.000 meter.
Abu vulkanik Anak Krakatau bahkan sampai ke Kecamatan Labuan, Kecamatan Carita, Kecamatan Panimbang, Kecamatan Cigeulis, dan Pesisir Sumur, Kabupaten Pandeglang, dan Banten.
Ini menjadi kesekian kalinya gunung ini terus mengalami erupsi pada April 2022. Menurut catatan Liputan6.com, 17 April lalu, erupsi Anak Krakatau mengeluarkan kolom abu dengan ketinggian 800 meter dari atas puncak.
Abu dengan intensitas mengarah ke barat daya dengan amplitudo maksimum 55 mm dan durasi 40 detilk. Kala itu pihak PVMBG mengimbau masyarakat menjauhi kawah Gunung Anak Krakatau dalam radius 2 Km.
Keesokan harinya, Senin, 18 April, erupsi kembali. Tercatat ada tiga kali erupsi yang terjadi. Erupsi Gunung Anak Krakatau pertama terjadi pada pukul 07.14 WIB, dengan ketinggian abu mencapai 700 meter.
Siang harinya, Gunung Anak Krakatau erupsi dua kali. Masing-masing dengan ketinggian abu mencapai 700 meter dari puncak.
Lima hari kemudian, Anak Krakatau meletus kembali. Semburan abu vulkaniknya mencapai 1.500 meter di atas puncak, pada Jumat dini hari, 22 April 2022.
Dilaporkan pada hari itu, ada tiga kali letusan yang terjadi. Ketinggian kolom abu yang ketiga kalinya bahkan mencapai 1.500 meter di atas puncak.
Penulis: Safinatun Nikmah.
Advertisement