Pengusaha Cium Permainan di Laporan Bank Dunia Soal Harga Beras Indonesia Termahal di ASEAN

Sebetulnya Indonesia tak perlu impor beras lagi dan menjadi kiblat pangan dunia. Asalkan membereskan tiga poin penting yang jadi sorotan.

oleh Arief Rahman H diperbarui 21 Des 2022, 19:44 WIB
Buruh membawa karung beras di pasar induk beras Cipinang, Jakarta, Sabtu (16/5/2020). Mengantisipasi penyebaran Covid-19 sejumlah kuli dan buruh di Pasar Induk beras Cipinang diberi obat herbal mentah untuk meredakan panas. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta - Laporan Bank Dunia mencatat jika harga beras di Indonesia jauh lebih mahal dari negara-negara ASEAN. Laporan ini muncul pasca masuknya beras impor yang dilakukan oleh pemerintah.

CEO DaunAgro sekaligus Founder TaniMillenial M Hadi Nainggolan menduga, laporan ini sengaja dimainkan oleh oknum. Menurutnya, laporan ini dikeluarkan untuk menjustifikasi kebijakan impor beras yang diambil pemerintah.

"Kita sangat menyayangkan ini terjadi. Seharusnya konsen pemerintah saat ini adalah membangun kolaborasi dengan berbagai pihak untuk meningkatkan hasil produksi panen padi petani," ujar Hadi dalam keterangan yang diterima Liputan6.com, Rabu (21/12/2022).

Hadi mengatakan, sebetulnya Indonesia tak perlu impor beras lagi dan menjadi kiblat pangan dunia. Asalkan membereskan tiga poin penting yang jadi sorotan.

Pertama, dwngan menurunkan biaya produksi budidaya. Hadi memandang ini jadi masalah utama kenapa Harga Pokok Produksi (HPP) beras dalam negeri tinggi dan trendnya terus semakin tinggi. Modal petani untuk membeli benih, pupuk, pestisida, fungisida dan perawatan lainnya masih tinggi dan terus naik.

 

CEO DaunAgro sekaligus Founder TaniMillenial M Hadi Nainggolan mengatakan bahwa ada permainan terkait mahalnya harga beras di Indonesia.

"Harusnya ini yang menjadi konsen pemerintah, ada intervensi besar di wilayah ini. Bagaimana negara bisa membuat solusi kongkrit agar biaya sarana produksi tanaman (saprotan) bisa lebih murah dibandingkan negara lainnya," tuturnya.

Kedua, dengan transformasi teknologi. Hadi melihat Indonesia masih ketinggalan jauh di bidang teknologi jika dibandingkan negara ASEAN penghasil beras, apalagi level dunia.

Menurutnya, Indonesia tidak pernah tuntas melakukan transformasi teknologi pertanian ini. Mengnai desain atau teorinya sudah banyak bertebaran di perguruan tinggi, balai kajian teknologi dan berbagai regulasi pemerintah.

"Tapi tidak pernah konsisten dalam implementasinya. Padahal dengan penerapan teknologi pertanian, Indonesia bisa mereduksi biaya budidaya padi hingga 40 persen bila dibandingkan kerja manual yang selama ini masih terjadi di berbagai daerah sentra pertanian padi," kata dia.

 


Serap Hasil Petani

Seorang kuli angkut menurunkan beras dari atas truk di Pasar Induk Cipinang, Jakarta, Senin (25/9). Pedagang beras Cipinang sudah menerapkan dan menyediakan beras medium dan beras premium sesuai harga eceran tertinggi (HET). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Ketiga, yang tak kalah penting adalah penyerapan hasil panen. Ini disebut terus menjadi isu setiap tahunnya menjelang masa panen. Saat panen raya, bisa dipastikan harga gabah menjadi turun.

Hadi memandang, hal ini jadi bentuk ketidaksiapan Indonesia sebagai negara agraris dalam mengelola hasil panen petani. Dia meminta seharusnya infrastruktur serapan hasil panen ini menjadi Proyek Strategis Nasional agar menjadi solusi sepanjang tahun Indonesia punya stok beras yang stabil, karena mampu mengelola hasil panen petani dalam negeri dengan baik.

Dalam hal ini, Holding BUMN Pangan dan Bulog turut diminta ambil peran ini. Selain itu, juga membangun kolaborasi dengan pihak swasta.

"Sebaiknya bangsa besar ini jangan salah kaprah dalam mengelola sektor pangan dalam negeri. Sudah 77 tahun Indonesia merdeka, tapi kita masih terus terjebak dalam kebijakan impor beras dan komoditi pangan lainnya, tapi abai dan pura-pura tidak tahu apa yang semestinya harus kita benahi bersama. Sebaiknya Pak Presiden Jokowi segera evaluasi kebijakan impor besar ini," bebernya.

 


Laporan Bank Dunia

Warga saat membeli beras di Pasar Induk Cipinang, Jakarta Timur, Kamis (8/9/2022). Kenaikan harga BBM bersubsidi berdampak pada melonjaknya harga beras di Pasar Induk Cipinang hingga Rp 2.000 - Rp 3.000 per kilogram akibat bertambahnya biaya transportasi. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Laporan terbaru Bank Dunia menyoroti harga beras di Indonesia menjadi salah satu yang tertinggi di kawasan Asia Tenggara dalam satu dekade terakhir. Lembaga keuangan internasional itu menjelaskan, penyebab tingginya harga beras di Indonesia disebabkan masalah dalam harga pasar bagi produsen pertanian.

"Harga eceran beras Indonesia secara konsisten menjadi yang tertinggi di ASEAN selama (satu) dekade terakhir," ungkap Bank Dunia dalam laporan Indonesia Economic Prospect (IEP) edisi December 2022', dikutip Selasa (21/12/2022).

"Hal ini disebabkan adanya dukungan harga pasar bagi produsen di bidang pertanian yang terdiri dari kebijakan yang menaikkan harga domestik untuk produk pertanian," tulisnya.

Kebijakan-kebijakan ini termasuk langkah-langkah perdagangan yang membatasi (misalnya, tarif impor, pembatasan kuantitatif, monopoli impor BUMN untuk komoditas utama, dan tindakan nontarif lainnya), juga harga pembelian minimum di tingkat petani (misalnya, untuk beras).

Lebih Mahal dari Filipina-Vietnam

Adapun "kurangnya investasi jangka panjang dalam penelitian dan pembangunan pertanian, layanan penyuluhan, dan pengembangan sumber daya menahan peningkatan produktivitas yang dapat menurunkan harga pangan dalam jangka panjang".

Disebutkan, harga beras di Indonesia 28 persen lebih tinggi dibanding harga di Filipina, juga dua kali lipat lebih mahal dari negara tetangga lainnya yaitu Vietnam, Kamboja, Myanmar dan Thailand.

Meskipun demikian, Bank Dunia melihat harga beras Indonesia telah stabil hampir sepanjang tahun 2022 hingga beberapa bulan terakhir. Sementara cabai, bawang merah, dan minyak goreng telah menjadi pendorong utama inflasi pangan di Indonesia tahun ini.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya