Liputan6.com, Jakarta Pemerintah Belanda tercatat sudah tiga kali meminta maaf kepada Indonesia terkait kejadian di masa penjajahan dahulu. Bonny Triana, sejarawan sekaligus kurator museum berkebangsaan Indonesia menyebut awal pertama kali Belanda meminta maaf yakni pada 10 Maret 2020.
"Pertama 10 Maret 2020, Raja Belanda Willem Alexander menyampaikan permohonan maaf ke Indonesia atas kekerasan di masa kolonial dalam kurun waktu kurang lebih 300 tahun. Apakah kita merespons, belum," ujar Bonny dalam diskusi virtual Kolonialisme, Perbudakan, dan Kapitalisme Setelah Permintaan Maaf Belanda ke Indonesia oleh Megawati Institute, Rabu (21/12/2022).
Advertisement
Permintaan maaf kedua menurut Bonny dilakukan pada 17 Februari 2022 melalui Perdana Menteri Belanda Mark Rute. Saat itu Mark Rute menyampaikan permohonan maaf kepada Indonesia atas apa yang dilakukan serdadu Belanda saat agresi militer periode 1945 hingga 1949.
Teranyar, Mark Rute kembali meminta maaf pada 19 Desember 2022 kemarin.
"Terakhir permintaan maaf soal perbudakan yang terjadi kurang lebih 250 tahun," kata dia.
Menurut Bonny, dengan adanya permintaan maaf dari pemerintah Belanda membuktikan bahwa perbudakan yang mereka lakukan terhadap bangsa Indonesia nyata adanya. Hal itu dibuktikan dari adanya daerah-daerah seperti Kampung Bali hingga Kampung Makassar.
"Mereka didatangkan dari daerah-daerah oleh kompeni untuk jadi budak dalam membangun Batavia," kata dia.
Dengan adanya permintaan maaf dari Belanda, menurut Bonny sejatinya pemerintah bersikap. Setidaknya pemerintah Indonesia bisa meminta pengakuan kepada Belanda bahwa Indonesia merdeka sejak 17 Agustus 1945.
"Menurut saya soal hubungan dengan Belanda ini harus klir, karena sebelum tahun 1949 Belanda tak mengakui eksistensi Indonesia, sementara kita 17 Agustus 1945 menyatakan telah merdeka. Menurut saya pemerintah mungkin harus klir mengirim pesan ke Belanda, apa yang kita mau," kata dia.
Bukan Khusus untuk Indonesia?
Menurut anggota DPR Fraksi PDIP TB Hasanuddin, pihaknya sudah berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri RI (Kemlu RI) terkait permintaan maaf Belanda kali ini. Menurutnya, Kemlu tak melihat permintaan tersebut disampaikan secara khusus untuk Indonesia.
"Saya sudah berbicata dengan Staf Kemenlu, bahwa pernyataan Perdana Menteri Belanda tidak secara khusus menyebut Indonesia dalam tulisan yang berbahasa Inggris maupun Belanda, ternyata untuk negara Karibia, sehingga Kemenlu dan Komisi I sepakat itu untuk kepentingan politik dalam negeri Mark Rute itu," kata dia.
Menurut Hasanuddin, pemerintah Indonesia tak bisa sembarangan merespons pernyataan dari pemerintah Belanda. Dia menyebut pemerintah akan merespons jika permintaan maaf dilakukan secara langsung dan khusus.
"Kita boleh merespons kalau memang Belanda mengirimkan secara resmi surat pernyataan tersebut," kata dia.
Advertisement
Kaitannya dengan Kapitalisme
Diskusi terkait ini ditutup oleh Direktur Megawati Institute Arif Budimanta. Menurut dia, memang tidak ada yang menyangkal pemerintah Belanda pernah berada di Indonesia. Motifnya yakni ekonomi.
"Kapitalisme kan mencari keuntungan terus menerus, jadi kalau mencari keuntungan yang diperlukan adalah ekspansi terus menerus, baik pasar maupun sumberdaya," kata dia.
Dia menyebut, kapitalisme digerakkan untuk mencari keuntungan atau laba. Menurut dia, keberadaan Belanda di Indonesia yang bermotif ekonomi ini sempat dipaparkan oleh Sukarno alias Bung Karno dalam pleidoinya yang berjudul Indonesia Menggugat.
"Tidak ada yg menyangkal namanya kerajaan Belanda pernah ada di bumi Indonesia, motif utama, ya ekonomi, ini kemudian yang dikritik Bung Karno dalam pleidoinya yang disampaikan di Bandung," kata Arif.
Menurut Arif, pleidoi yang disampaikan Bung Karno jelas memperlihatkan keadaan Bangsa Indonesia saat itu.
"Pidato Bung Karno yang khususnya menggambarkan keadaan Rakyat Indonesia di dalam pleidoi Indonesia Menggugat. Yang menggambarkan bahwa kemerdekaan didapatkan dengan merebut, kemerdekaan dibangun atas dasar keasadaran adanya kesengsaraan sistem kapitalisme yang hanya mengejar laba semata," kata dia.