Liputan6.com, Jakarta - Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) mengelurkan resolusi pertama mengenai situasi di Myanmar yang diadopsi sejak kudeta terjadi pada Februari 2021. Resolusi itu mendesak junta militer untuk membebaskan mantan pemimpin Myanmar, Aung San Suu Kyi.
Resolusi tersebut menyatakan, "keprihatinan yang mendalam atas keadaan darurat yang sedang berlangsung yang diberlakukan oleh kelompok militer di Myanmar."
Advertisement
Resolusi itu diadopsi dengan dukungan 12 dari 15 anggota Dewan Keamanan PBB, di mana Rusia, China dan India abstain dalam pemungutan suara. Resolusi itu juga menuntut "segera diakhiri segala bentuk kekerasan" di seluruh Myanmar.
Dewan Keamanan PBB dalam resolusinya pun meminta junta "untuk segera membebaskan semua tahanan yang ditahan secara sewenang-wenang," termasuk Suu Kyi, yang sebelumnya menjabat sebagai penasihat negara dan menteri luar negeri Myanmar.
Peraih Nobel Perdamaian berusia 77 tahun itu telah dijatuhi hukuman penjara selama 26 tahun atas tuduhan korupsi dan tuduhan lainnya. Dia dipenjara di Naypyitaw.
Kyaw Moe Tun, yang ditunjuk sebagai Duta Besar Myanmar untuk PBB sebelum kudeta dan tetap menjadi wakil yang diakui meskipun junta berusaha memecatnya, menyambut baik adopsi resolusi Dewan Keamanan tersebut. Berbicara setelah pemungutan suara, dia juga meminta Dewan Keamanan untuk mengambil "tindakan yang lebih kuat untuk memastikan junta militer dan kejahatannya segera berakhir".
Inggris memimpin upaya penyusunan Resolusi Dewan Keamanan PBB mengenai Myanmar itu. Duta Besar Inggris untuk PBB Barbara Woodward mengatakan dalam sebuah pernyataan, "Kami mendukung rakyat Myanmar. Sudah waktunya junta mengembalikan negara kepada rakyat."
PBB Blokir Junta Militer
Komite utama PBB kembali memblokir posisi junta militer Myanmar untuk mengambil kursi negara tersebut di PBB, kata dua diplomat PBB. Komite kredensial Majelis Umum bertemu Senin kemarin dan menunda permintaan junta, kata para diplomat, yang berbicara dengan syarat anonim sebelum pengumuman resmi kemungkinan akhir pekan ini.
Keputusan itu berarti Kyaw Moe Tun, yang merupakan duta besar Myanmar di PBB ketika militer menggulingkan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi pada 1 Februari 2021, akan tetap menjabat.
Desember lalu, penguasa militer Myanmar juga gagal menggantikan Tun, yang tetap menjadi pendukung pemerintah sebelumnya dan oposisi Pemerintah Persatuan Nasional, yang menentang junta, dikutip dari laman AP, Jumat 16 Desember.
Chris Gunness, direktur Proyek Akuntabilitas Myanmar yang berbasis di London, menyambut baik langkah komite kredensial, dengan mengatakan bahwa langkah itu memiliki "makna diplomatik dan simbolis yang besar, pada saat para pemimpin kudeta ilegal berusaha untuk mendapatkan pengakuan internasional."
"Jenderal Min Aung Hlaing menyebabkan kekerasan dan kerusuhan di Myanmar dalam skala besar sejak ," kata Gunness dalam sebuah pernyataan.
Advertisement
26 Tahun Penjara
Damian Lilly, seorang pejabat Proyek Akuntabilitas, mendesak Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memastikan bahwa Tun diberikan semua hak dan hak istimewa PBB dan bahwa Pemerintah Persatuan Nasional.
“Saat ini, ada ketidakkonsistenan yang mencolok,” katanya, dengan Tun duduk di Majelis Umum beranggotakan 193 orang sementara kursi Myanmar di Dewan Hak Asasi Manusia PBB kosong.
Lilly mengatakan, tindakan komite kredensial “harus membuka jalan untuk menyelesaikan anomali ini yang merampas kesempatan 55 juta orang di Myanmar untuk diwakili di PBB.”
Suu Kyi, yang ditangkap saat militer merebut kekuasaan dari pemerintahan terpilihnya, telah dijatuhi hukuman 26 tahun penjara dan menghadapi dakwaan tambahan.
Kelompok hak asasi dan pendukung Suu Kyi mengatakan tuduhan terhadapnya bermotivasi politik dan upaya untuk mendiskreditkannya dan melegitimasi perebutan kekuasaan oleh militer sambil mencegahnya kembali ke politik.
Infografis Penangkapan Aung San Suu Kyi dan Kudeta Militer Myanmar
Advertisement