Kala Kasus COVID-19 di China Melonjak Picu Kekhawatiran Global

China baru-baru ini telah memutuskan beralih dari lockdown dan pengujian massal, setelah protes terhadap kebijakan nol-COVID yang ketat, meluas di negara itu. Namun infeksi baru dilaporkan melonjak.

Oleh DW.com diperbarui 22 Des 2022, 15:34 WIB
Seorang pria yang sedang melakukan disinfeksi melewati mal sepi di Beijing, China, Kamis (15/12/2022). Seminggu setelah China melonggarkan beberapa tindakan pengendalian COVID-19 yang paling ketat di dunia, ketidakpastian masih ada mengenai arah pandemi di negara dengan jumlah penduduk terpadat di dunia tersebut. (AP Photo/Ng Han Guan)

, Beijing - China baru-baru ini telah memutuskan beralih dari lockdown dan pengujian massal, setelah protes terhadap kebijakan nol-COVID yang ketat, meluas di negara itu. Beberapa pemerintah daerah bahkan telah mendorong warga dengan infeksi Virus Corona ringan untuk pergi bekerja.

Kasus COVID-19 bertambah. Komisi Kesehatan Nasional China pada Selasa 20 Desember 2022 melaporkan sebanyak 2.722 kasus baru. Sehari sebelumnya dilaporkan pula sebanyak 1.995 kasus. Meski begitu, angka kematian hanya menunjukkan sedikit peningkatan, bertambah lima sehingga total kematian akibat COVID-19 yang dilaporkan di China menjadi 5.242.

Angka-angka itu memang relatif rendah menurut standar global, tapi angka sebenarnya diperkirakan jauh lebih tinggi.

Otoritas China hanya menghitung mereka yang meninggal secara langsung akibat SARS-CoV-2, tidak menghitung kematian yang disebabkan oleh kondisi mendasar yang meningkatkan risiko penyakit serius.

Selain itu, laporan tidak resmi dari keluarga korban dan orang-orang yang bekerja di bisnis pemakaman juga menunjukkan adanya gelombang luas kematian akibat Virus Corona baru, dengan laporan bahwa krematorium di seluruh negeri sudah mencapai kapasitasnya.

Beberapa ahli memperkirakan sekitar 60% dari 1,4 miliar populasi China – sekitar 10% populasi global – dapat terinfeksi COVID-19 dalam beberapa bulan mendatang, terutama ketika liburan Tahun Baru Imlek di mana banyak orang bepergian.

Sebagian besar populasi China juga tidak divaksinasi COVID-19. Ada sekitar delapan juta warga China yang tidak divaksinasi berusia lebih dari 80 tahun dan lebih dari 160 juta lainnya menderita diabetes.

 

 

 


Perluasan Kapasitas Tempat Tidur di Rumah Sakit dan Perawatan

Petugas mendisinfeksi jalan di Urumqi, Daerah Otonomi Xinjiang, China barat laut, Rabu (4/3/2020). Urumqi mengampanyekan sanitasi di seluruh kota guna mencegah penyebaran virus corona (COVID-19). (Xinhua/Wang Fei)

Di tengah kekhawatiran akan infeksi virus yang merajalela, kota-kota di China pada Selasa 20 Desember 2022 melanjutkan rencana untuk memperluas kapasitas tempat tidur di rumah sakit dan membangun klinik-klinik baru.

Kota-kota termasuk Beijing, Shanghai, Chengdu, dan Wenzhou bahkan telah melaporkan penambahan ratusan klinik pemeriksaan demam dalam seminggu terakhir, yang beberapa di antaranya diubah dari fasilitas olahraga.

 


Amerika Serikat Suarakan Kekhawatiran

Juru bicara Departemen Luar Negeri, Ned Price (wikimedia commons)

Juru bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price mengatakan pada Senin 19 Desember bahwa setiap kali virus menyebar, ia berpotensi bermutasi dan dapat "menimbulkan ancaman bagi orang di mana pun.”

"Kita telah melihat banyak permutasi yang berbeda dari virus ini dan tentu ini menjadi alasan lain mengapa kita fokus membantu negara-negara di dunia untuk mengatasi COVID,” katanya.

Price juga mencatat bahwa ada dampak ekonomi dari penyebaran COVID-19 yang merajalela tidak hanya untuk China, tapi untuk dunia yang lebih luas.

"Kenaikan infeksi virus ini menjadi perhatian seluruh dunia mengingat ukuran PDB China, mengingat ukuran ekonomi China,” kata Price dalam pengarahan harian di Departemen Luar Negeri.

Investor memang menyambut baik peralihan China dari kebijakan nol-COVID sebagai kabar baik bagi ekonomi dunia dalam jangka panjang. Namun, ada lebih banyak kekhawatiran akan dampak jangka pendek dari lonjakan kasus itu terhadap perdagangan dan industri. 


Jenazah Pasien COVID-19 Disebut Antre di Krematorium, Begini Penjelasan Dubes China

Duta Besar China untuk Indonesia, Lu Kang dalam press briefing di Kediaman Dubes Tiongkok pada Rabu (21/12/2022). (Liputan6/Benedikta Miranti)

Sejumlah media telah memberitakan soal lonjakan kasus COVID-19, sehingga mengakibatkan banyaknya jenazah yang antre di krematorium China. 

Sementara itu, rumah sakit di China juga dikabarkan sedang berjuang dan rak apotek banyak yang kosong usai pemerintah mencabut aturan lockdown, karantina, dan pengujian massal.

Mengenai hal ini, Duta Besar China untuk Indonesia Lu Kang pun menegaskan sejumlah hal salah satunya adalah proses yang diperlukan usai suatu kebijakan diambil.

"Kebijakan umum apapun setelah diambil, pasti akan ada satu proses. Dan sesuai dengan perubahan kebijakan, kalau menurut standar dulu, kalau positif yang dikarantina akan ada antrean di rumah sakit. Dan dengan kematian juga ada antrean," ujarnya dalam press briefing di Kediaman Dubes Tiongkok, Rabu (21/12/2022). 

Ia pun meminta masyarakat untuk merujuk pada laporan resmi yang dirilis oleh pemerintah Tiongkok. 

Belakangan, beberapa media memang melaporkan lonjakan antrean di rumah sakit maupun krematorium. 

Di Chongqing, kota berpenduduk 30 juta di mana pihak berwenang minggu ini mendesak orang-orang dengan gejala COVID ringan untuk tetap bekerja, satu lokasi krematorium mengatakan kepada AFP bahwa mereka kehabisan ruang untuk menyimpan jenazah.

Jumlah jenazah yang datang dalam beberapa hari terakhir ini berkali-kali lebih banyak dari sebelumnya, kata seorang staf yang tidak menyebutkan namanya.

Infografis Kejahatan Vaksin Covid-19 Palsu di China (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya