Vladimir Putin Harap Perang di Ukraina Berakhir, Pertanda Rusia Kalah?

Presiden Rusia Vladimir Putin ingin akhiri perang di Ukraina.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 23 Des 2022, 11:47 WIB
Presiden AS Joe Biden menyambut kunjungan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky. Dok: Twitter @POTUS

Liputan6.com, Moskow - Sejak Februari 2022, Rusia masih belum kunjung berhasil mengalahkan Ukraina. Presiden Rusia Vladimir Putin kini membuka kemungkinan perdamaian. 

"Kita akan mencari cara agar semua ini berakhir, dan tentunya lebih cepat lebih baik," ujar Presiden Vladimir Putin, dikutip media pemerintah Rusia TASS, Jumat (23/12/2022).

Komentar Presiden Putin itu dibuat saat Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky sedang mengunjungi Amerika Serikat. Ukraina akan dikirimkan misil Patriot oleh AS. 

Presiden Putin lantas mengatakan bahwa jika ketegangan semakin intens, maka akan ada kerugian yang tak diinginkan. 

Pemerintah Rusia belakangan ini juga menyebut Ukraina telah dibantu oleh NATO, dan Rusia memakai istilah adanya perang proxy. Duta Besar Rusia di Jakarta, Lyudmila Vorobieva, juga mengatakan bahwa Ukraina bisa bertahan karena dibantu peralatan oleh negara-negara NATO. 

Keadaan ekonomi Rusia tahun ini juga tidak menunjukkan tanda-tanda positif, meski Presiden Putin menampilkan sikap optimis. Putin menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Rusia pada 2022 menyusut hingga 2,5 persen saja. 

Vladimir Putin bersyukur karena jatuhnya tidak sampai 20 persen. 

"Keruntuhan ekonomi yang diprediksi tidak terjadi. Ya, kita ada penurunan," ujar Putin. "GDP berkurang tetapi 2,5 persen dan tidak 20 persen atau 25 persen," ujarnya.

Presiden Rusia juga terus mengkritik kebijakan price cap harga minyak yang dipromosikan oleh negara-negara G7. Namun, ia berkata itu tidak akan berpengaruh pada Rusia. Sementara, Dubes Lyudmila menyebut negaranya tak mau menjual minyak dengan price cap.


Rusia Butuh Tentara, Usia Wajib Militer Naik Jadi 30 Tahun

Presiden Rusia Vladimir Putin memegang teropong saat menonton latihan militer Center-2019 di lapangan tembak Donguz dekat Orenburg, Rusia, 20 September 2019. Presiden Rusia Vladimir Putin memperingatkan bahwa dia tidak akan ragu menggunakan senjata nuklir untuk menangkal upaya Ukraina merebut kembali kendali atas wilayah yang didudukinya yang akan diserap Moskow. (Alexei Nikolsky, Sputnik, Kremlin Pool Photo via AP, File)

Rusia kini sedang berusaha meningkatkan kapasitas militernya di tengah invasi ke Ukraina yang belum kunjung usai. Wajib militer lantas kembali menjadi solusi.

Berdasarkan laporan media pemerintah Rusia, TASS, Kamis (22/12), Menteri Pertahanan Sergey Shoigu ingin menaikkan batas usia wamil dari 27 tahun menjadi 30 tahun. Hal itu ia ungkap dalam pertemuan akkhir tahun Kementerian Pertahanan.

Shoigu ingin menambah kekuatan personel sebanyak 30 persen dan mendirikan 20 divisi baru. Wacananya, ia ingin tentara Rusia mencapai 1,5 juta orang. Pada awal 2022, Rusia memiliki sekitar 1 juta tentara.

Program ini mencakup personel kontrak. Targetnya, ada 521 ribu personel kontrak di akhir 2023.

Beberapa bulan lalu, Rusia juga gencar merekrut prajurit baru. Akibatnya, puluhan ribu warganya memilih kabur ke luar negeri.

Rusia juga mulai khawatir dengan Swedia dan Finlandia yang sedang dalam proses bergabung ke NATO. Rusia pun ingin membangun kekuatan militer di daerah barat laut. Pasukan juga akan ditempatkan di Republik Karelia, wilayah Rusia yang berbatasan dengan Finlandia.

Presiden Rusia Vladimir Putin mendukung proposal dari Shoigu. Putin juga menyindir negara-negara Barat yang menolak Rusia. Ia menyebut negara-negara NATO sedang melawan Rusia. Terkait nuklir, Putin berkata hal itu penting untuk menjamin kedaulatan wilayah Rusia.

Di tengah invasi ke wilayah berdaulat Ukraina, Presiden Putin menegaskan bahwa Rusia tidak mengalami kesulitan finansial untuk menyokong militer negaranya. 

"Kita tidak memiliki kesulitan pendanaan, dan negara, dan pemerintah memberikan semua yang dibutuhkan Tentara. Saya harap responsnya akan diformulasikan dengan sesuai, dan hasil-hasil yang diinginkan akan diraih," ujar Vladimir Putin.


Dubes Rusia: Ini Perang Proxy

Presiden Rusia Vladimir Putin saat menghadiri pertemuan dengan para pemenang dan finalis kontes nasional School Teacher of the Year melalui konferensi video pada Rabu, 5 Oktober 2022. (Gavriil Grigorov, Sputnik, Kremlin Pool Photo/AP Photo)

Invasi Rusia masih terus berlanjut hingga penghujung 2022. Rusia masih belum bisa menaklukkan Ukraina, meski situs Global Firepower menyebut Rusia memiliki militer terkuat di Benua Eropa. 

Namun, Ukraina masih terus melakukan resistensi. Wilayah-wilayah yang dianeksasi Rusia juga masih ditarget Ukraina untuk direbut.  

Duta Besar Rusia untuk Indonesia, Lyudmila Vorobieva, berkata bahwa Ukraina mendapat bantuan NATO sehingga bisa bertahan. Dubes Rusia berkata ada perang proxy. 

"Tentu tak mudah karena sekarang kita bertarung tidak melawan Ukraina tapi melawan NATO," ujar Dubes Rusia Lyudmila Vorobieva di rumah dinasnya, Rabu (21/12). 

Dubes Rusia bahkan berkata operasi militer negaranya bisa berakhir pada April 2022 jika Ukraina tidak dibantu NATO. Rusia lantas menyalahkan NATO yang melakukan perang proxy di tengah invasi.

"Jadi ini adalah perang proxy," ujar Dubes Rusia. "Bagi kami makna perang di Ukraina adalah perang proxy oleh barat dengan menggunakan Ukraina."

Meski pemerintah Inggris menyebut Rusia sedang mengalami kesulitan persenjataan, Dubes Vorobieva menyebut tentara Rusia masih terus bergerak maju. 

"Kami bisa melihat bahwa tentara kami bergerak maju. Pertempurannya saya bilang sangat berat," ucapnya. 

Lebih lanjut, Dubes Rusia juga berkata situasi ekonomi di negaranya tidak mengalami krisis, meski terkena sanksi. Sektor perbankan Rusia menjadi sasaran sanksi internasional. Dubes Rusia berkata sanksi-sanksi internasional bersifat ilegal, sehingga ia pun sampai harus membawa uang tunai terus.


Menteri Pertahanan Inggris: Iran Jadi Beking Militer Rusia

Asap hitam mengepul dari bandara militer di Chuguyev, dekat Kharkiv, 24 Februari 2022. Presiden Rusia Vladimir Putin mengumumkan operasi militer di Ukraina. (Aris Messinis/AFP)

Menteri Pertahanan Inggris Ben Wallace mengungkap bahwa ada rencana antara Rusia dan Iran untuk saling menyediakan senjata. Rusia menginginkan ratusan drone dari Iran.

Informasi tersebut diungkap oleh Wallace di Parlemen Inggris.

"Iran telah menjadi beking teratas bagi militer Rusia," ujar Menteri Pertahanan Inggris Ben Wallace dalam videonya di Gedung Parlemen Inggris, dikutip Rabu (21/12).

Ia menyebut Rusia memesan ratusan drone dari Iran untuk tujuan kamikaze. Drone kamikaze ini menjadi sorotan karena digunakan untuk menyerang Ukraina. Drone yang dipakai untuk kamikaze tersebut adalah drone murah.

Rusia juga menyediakan Iran komponen militer canggih.

"Sebagai timbal balik karena diberi pasokan lebih dari 300 drone kamikaze, Rusia kini berniat menyediakan Iran dengan komponen-komponen militer yang maju," ucap Menteri Pertahanan Inggris Ben Wallace.

Menteri Pertahanan Inggris berkata tindakan Rusia itu bisa melemahkan keamanan di Timur Tengah dan internasional, sehingga ia mengekspos hal tersebut di hadapan parlemen.

Lebih lanjut, Ben Wallace berkata relasi Rusia-Iran mengungkapkan masalah di dalam militer Rusia, pasalnya Rusia disebut mulai kekurangan amunisi. Sanksi-sanksi dari dunia internasional juga disebut Ben Wallace telah melemahkan kapasitas militer Rusia.

"Di balik layar, sanksi-sanksi internasional, termasuk sanksi yang diterapkan secara independen oleh Kerajaan Bersatu, telah melemahkan industri pertahanan Kremlin," ujar Ben Wallace. "Mereka kini ingin membongkar pesawat untuk mencari spare-parts."

Infografis 4 Tips Jaga Kesehatan Mental Saat Pandemi Covid-19. (Liputan6.com/Trieyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya