Makin Banyak Perusahaan Singapura Bangkrut

3.380 orang di Singapura mengajukan perlindungan kebangkrutan sepanjang tahun 2022, jumlah ini lebih banyak dari dua tahun terakhir selama pandemi.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 23 Des 2022, 15:17 WIB
Kota Singapura. Dok: Tommy Kurnia/Liputan6.com 

Liputan6.com, Jakarta - Kabar mengejutkan datang dari negara tetangga, Singapura

Dilaporkan terjadi kenaikan pada pengajuan perlindungan kebangkrutan di negara itu, dengan jumlah permohonan hingga bulan November 2022 sudah melebihi total tahun lalu.

Dilansir dari Channel News Asia (CNA), Jumat (23/12/2022) total ada 3.380 orang di Singapura yang telah mengajukan perlindungan kebangkrutan sepanjang tahun 2022 ini, lebih banyak dari dua tahun terakhir selama pandemi.

Namun, jumlah pengajuan tersebut masih di bawah tingkat yang diamati pada tahun 2019, sebelum datangnya pandemi, menurut laporan CNA.

Analis menyebut, meningkatnya jumlah kebangkrutan di Singapura disebabkan oleh sejumlah faktor, salah satunya ketidakpastian ekonomi global ketika memasuki pemulihan dari Covid-19.

Direktur Center for Governance & Sustainability di National University of Singapore Business School, Profesor Lawrence Loh mengatakan bahwa dunia baru saja keluar dari pandemi Covid-19, jadi ada "efek kumulatif dari perlambatan dan banyak langkah dukungan yang berakhir".

"Pada saat yang sama, masalah yang lebih besar sebenarnya ada di global, di mana ada beberapa indikasi perlambatan, bahkan inflasi yang mengarah pada kenaikan suku bunga, sehingga semua ini secara kolektif menambah tantangan," sambungnya.

Menurut mitra di firma hukum Singapura IRB Law, yakni Anand George, sebagian besar pengajuan perlindungan kebangkrutan terdiri dari pemilik usaha kecil dan menengah.

Firma hukumnya bahkan telah menangani sekitar 50 kasus kebangkrutan.

Dikatakan bahwa, bisnis tertentu, seperti yang ada di industri makanan dan minuman sangat terpengaruh oleh pandemi.

"Saya pikir beberapa bisnis mencoba membiayai kembali pinjaman, atau mereka akan berusaha mencegah kebangkrutan selama periode itu," kata George.

"Tapi mereka sudah memiliki model bisnis yang tidak berkelanjutan. Maka yang terjadi adalah setelah moratorium dicabut, terjadi peningkatan permohonan pailit," bebernya.


Pelunasan Utang Kian Sulit

Kasus COVID-19 di Singapura naik gegara subvarian Omicron XBB. (Foto: ilustrasi Freepik/mrsiraphol)

Laporan CNA melanjutkan, Data Kementerian Hukum Singapura juga menunjukkan bahwa masyarakat kini semakin sulit melunasi utang mereka.

Data itu mengungkapkan, kurang dari 1.000 orang di Singapura telah dibebaskan dari kebangkrutan sepanjang tahun ini, yang berarti utang telah dilunasi atau kreditor telah menerima tawaran penyelesaian.

George menjelaskan bahwa faktor-faktor yang menentukan apakah seorang pailit bisa dibebaskan atau tidak tergantung pada status pekerjaan individu dan keadaan keuangan pribadinya.

"Saya pikir yang juga sama relevannya, adalah besarnya utang yang kita bicarakan pada saat individu tersebut dibuat bangkrut," ujarnya

"Tentu saja jika utangnya lebih besar, butuh waktu lebih lama sebelum perintah pelepasan pailit diberikan," tambah George.


Jokowi: Saya Tidak Menakut-nakuti, Ekonomi ke Depan Tidak Makin Mudah

Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan arahan ketika memimpin Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, Jakarta, Kamis (3/10/2019). Topik Sidang Kabinet Paripurna tersebut yakni Evaluasi Pelaksanaan RPJMN 2014-2019 dan Persiapan Implementasi APBN 2020. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali mengingatkan Indonesia untuk waspada menghadapi ancaman resesi global pada 2023 mendatang.

"Saya tidak menakut-nakuti, hanya mengingatkan bahwa tantangan ekonomi yang kita hadapi ke depan itu tidak semakin mudah," kata Jokowi dalam acara Penyerahan KUR Klaster di Istana Negara, dikutip dari YouTube Sekretariat Presiden Senin (19/12/2022).

"Tahun depan, ini tinggal 2 minggu, dunia masih dihantui oleh pandemi Covid-19, masih dihantui oleh ketidakpastian ekonomi global," sambungnya.

Jokowi mengingatkan, situasi geopolitik yang tidak menentu bisa memicu krisis keuangan, energi, pangan, dan berujung pada resesi global. 

Presiden pun mengajak masyarakat untuk bersyukur karena ekonomi Indonesia masih bisa tumbuh 5,72 persen pada kuartal III 2022.

"inflasi masih bisa dikendalikan di 5,4 persen," tambahnya. Jokowi juga melihat masih ada peluang bagi Indonesia, meskipun dunia sedang dalam situasi sulit.

 


Daya Beli Stabil

Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) saat memberikan Penyerahan DIPA dan Buku daftar Alokasi Transfer ke Daerah Tahun Anggaran 2023 di Istana Negara Jakarta pada Kamis 1 Desember 2022. (Dok Humas Sekretariat Kabinet RI)

"Indonesia masih memiliki peluang untuk tumbuh dan yang paling penting pertumbuhan itu bisa menjaga daya beli masyarakat, membuka lapangan kerja yang seluas-luasnya, sektor riil, utamanya UMKM juga masih bergerak dengan cepat," pungkasnya.

Selain itu, Jokowi juga melihat masih adanya daya beli masyarakat Indonesia. Hal itu terlihat dari antrean di warung-warung makan.

Presiden mengungkapkan, dirinya kerap melihat warung, restoran dan pedagang kaki lima (PKL) di malam hari yang dipenuhi antrean.

"Artinya, daya beli itu ada. Sekali lagi ekonomi tetap tumbuh positif dan salah satu caranya adalah ingin terus memperkuat usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang telah terbukti menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi negara kita Indonesia," katanya.

Infografis Harapan & Langkah Nyata G20 Jadi Katalis Pemulihan Ekonomi (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya