Indonesia Dinyatakan Masuk Endemi COVID-19, Begini Tanggapan Epidemiolog

Belum lama ini, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Airlangga Hartarto menyebut Indonesia sebenarnya sudah masuk endemi COVID-19.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 23 Des 2022, 19:00 WIB
Calon penumpang berjalan di terminal Kalideres Jakarta, Kamis (22/12/2022). Kepala Dinas Perhubungan (Kadishub) DKI Jakarta, Syafrin Liputo menyebutkan, Jelang Natal dan Tahun Baru penumpang bus antarkota antarprovinsi (AKAP) di Terminal Kalideres mengalami lonjakan hingga 100 persen. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta Belum lama ini, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Airlangga Hartarto menyebut Indonesia sebenarnya sudah masuk endemi COVID-19.

Menurutnya, hal ini terlihat dari kasus COVID-19 yang melandai selama setahun terakhir meski ada varian baru seperti XBB, XBB.1, BQ.1, dan BN.1.

"Sudah hampir setahun Indonesia landai (kasus COVID-19). Artinya, berdasarkan kriteria dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di Level 1. Itu sudah 12 bulan, artinya secara negara, sebetulnya kita sudah masuk, berubah menjadi endemi," tutur Airlangga saat konferensi pers di Istana Merdeka Jakarta pada Rabu, 21 Desember 2022.

Pernyataan ini pun ditanggapi oleh epidemiolog Dicky Budiman. Menurutnya, sebagai negara, Indonesia memiliki otoritas untuk mendeklarasikan bahwa situasinya terkendali, endemi, atau kondisi lainnya. Namun, seakan-akan endemi dan benar-benar endemi adalah dua hal berbeda.

“Mau dikatakan endemi kek atau apapun, tapi harus dipahami, memperlakukan endemi, memperlakukan seakan terkendali dengan fakta bahwa ini memang terkendali itu dua hal yang berbeda,” kata Dicky kepada Health Liputan6.com melalui pesan suara, Kamis (22/12/2022).

Faktanya, secara sains dan dari aspek epidemiologi terutama secara global, belum ada satu pun epidemiolog dunia yang sudah menyatakan bahwa COVID-19 ini sudah dalam status endemi.

“Bahkan pelajaran 100 tahun lalu, virus H1N1 yang menyebabkan pandemi itu butuh 20 tahun untuk jadi endemi. Tapi bukan berarti kita harus pandemi selama 20 tahun, tidak, tapi setidaknya kita tahu kewenangan mencabut pandemi ini jelas ada di WHO.”


Endemi Bukan Berarti Baik

Epidemiolog Dicky Budiman soal pencabutan PPKM. Foto: Dokumen pribadi.

Mengingat wewenang pencabutan pandemi ada di World Health Organization, maka negara dan masyarakat yang ada di dalamnya memiliki tanggung jawab sendiri. Yakni mengarahkan pengendalian pandemi ini ke arah yang semakin terkendali.

Dicky juga menjelaskan bahwa endemi tidak berarti baik. Sehingga siapapun harus hati-hati dalam menyimpulkan soal endemi.

“Saya sarankan hati-hati lah dalam konteks masalah endemi ini. Karena bagaimana pun endemi itu bukan berarti baik. Ingat, monkeypox itu endemi, HIV/AIDS itu endemi, apa itu bagus? Ya tidak.”

“Jadi sekali lagi, arah tujuan pengendalian kita adalah ke arah terkendali (bukan endemi). Dan setidaknya upaya yang kita lakukan adalah tetap memperkuat modal imunitas,” tambah Dicky.


Soal Wacana Pencabutan PPKM

Dicky juga mengomentari soal wacana pencabutan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Menurut epidemiolog dari Griffith University, Australia ini, PPKM masih diperlukan. Pasalnya, RI sebentar lagi menghadapi perayaan Natal dan tahun baru (Nataru) 2023.

PPKM masih dibutuhkan untuk pencegahan penularan COVID-19 di momen yang akan memicu peningkatan mobilisasi masyarakat tersebut.

“Jadi pencabutannya menurut saya jangan sekarang, tapi nanti setelah Nataru karena di Nataru ini 16 persen penduduk Indonesia mobilitas,” ujarnya.

Dicky tak memungkiri bahwa kasus COVID-19 di Indonesia memang sudah membaik. Namun, pandemi belum mencapai garis finish.

“Situasi Indonesia sudah baik, ya kita syukuri itu, tapi belum sampai finish. Ibarat lari maraton ini sudah dekat, sedikit lagi, jadi sabar. Toh PPKM-nya tidak harus level 3 atau 4. Level 1 saja enggak terlalu terlihat mencolok.”


Prediksi Varian Baru 2023

PPKM ini sebetulnya masih dibutuhkan untuk memberi dampak psikologis kepada masyarakat dan pemangku kepentingan agar tetap waspada. Penerapan di lapangan pun sebetulnya tidak mengganggu aktivitas masyarakat sehari-hari.

“Yang saya khawatirkan adalah ketika PPKM dicabut akhirnya banyak yang lebih abai lagi.”

Ia menambahkan, jika PPKM benar-benar dicabut usai Nataru masyarakat tetap harus waspada. Mengingat, subvarian yang masih ada saat ini atau yang kemungkinan ada di masa mendatang bisa menembus barikade antibodi.

Termasuk pula bagi masyarakat yang sudah divaksinasi hingga dosis penguat atau booster sekalipun.

“Meskipun modal imunitas lebih baik harus diingat bahwa subvarian yang ada saat ini dan prediksi saya 2023 akan ada subvarian baru, ini bisa menembus barikade atau pertahanan dari vaksinasi.”

Dicky pun mengatakan bahwa dirinya sempat terkena COVID-19 walaupun sudah mendapat suntikan vaksin 5 dosis.

“Ini harusnya menyadarkan pada kita bahwa modal imunitas itu jangan jadi sesuatu yang diagungkan. Karena tetap, kewaspadaan, kombinasi dengan perilaku hidup bersih sehat, serta upaya mitigasi lain juga tetap harus dilakukan,” katanya.

Infografis Benarkah Vaksin Covid-19 Bikin Kekebalan Tubuh 100 Persen?

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya