Liputan6.com, Jakarta - Ketika merasa bosan saat bekerja, Ryana Aryadita biasanya membuka akun-akun media sosial miliknya. Siang itu, dia ingin mendapatkan informasi yang sedang hangat diperbincangkan oleh warganet di Twitter. Tak disangka, aktris idolanya sedang menjadi pembahasan.
Berbagai utas atau rangkaian tweet membahas mengenai keburukan yang dilakukan artis peran tersebut. Sebagai fans, Ryana berusaha mencari informasi lainnya sebagai pembanding. Dia berusaha tidak menelan mentah-mentah hanya berdasarkan satu informasi saja.
Advertisement
Ryana menyebut aktris tersebut terkenal dengan beberapa prestasi mengenai profesi yang digelutinya. Bahkan beberapa film yang dibintangi aktris idolanya tersebut selalu ditontonnya.
"Aku suka karya-karya dia, aktris muda yang harus disupport terus aktingnya bagus. Udah gitu dia juga fokus pada hak-hak perempuan," kata Ryana kepada Liputan6.com.
Awalnya Ryana masih merasa biasa aja, karena setiap manusia mempunyai sisi buruk. Namun, ada hal yang membuatnya untuk melakukan cancel culture pada si aktris tersebut. Pertama yakni sikap sang aktris yang biasa saja tanpa memberikan klarifikasi.
Kemudian, sikap agensi yang menaungi aktris juga tidak memberikan penjelasan jelas dan tepat. Bahkan menurut perempuan berusia 27 tahun itu sikap pihak agensi malah semakin memperkeruh keadaan dan sentimen negatif semakin tinggi.
Karena hal itu dia setuju dengan ajakan para warganet lainnya untuk melakukan cancel culture untuk si aktris tersebut. "Soalnya enggak ada perbuatan yang dibenarkan dari si artis ini. Jadi milih enggak akan menonton atau menikmati karya-karya dia lagi. Kemarin temen ada yang ngajakin nonton Like&Share, aku ngomong enggak akan nonton karena udah nge-cancel dia (si artis)," paparnya.
Sanksi Sosial
Menurut Ryana, dengan memberikan cancel culture itu sebagai bentuk tidak memberikan panggung kepada tokoh publik yang sikap yang kurang etis atau bahkan problematik. Seharusnya lanjut dia, masyarakat dapat diberikan contoh oleh para tokoh publik yang berprestasi.
Hal yang sama juga disampaikan oleh seorang mahasiswa, Chyntia. Dia mengaku sangat setuju adanya gerakan atau aktivitas cancel culture kepada tokoh publik ataupun brand yang tidak sesuai dengan norma yang ada. Bahkan perempuan berusia 21 tahun ini beberapa kali ikut serta dalam memberikan dukungan cancel culture di media sosial.
Sebagai penggemar industri hiburan Korea Selatan, Chyntia mengaku sudah tidak asing lagi dengan tindakan cancel culture. Menurut dia, tindakan tersebut sebagai bentuk sanksi sosial para tokoh publik dapat berhati-hati ketika bersikap.
"Karena itu bagus juga sih agar para selebritis itu memberikan contoh yang baik dan berhati-hati dalam bersikap. Apalagi kalau si selebriti itu sudah bertentangan dengan norma, dan harapannya mereka sadar atas sikap mereka," kata Chyntia kepada Liputan6.com.
Cancel Culture Aksi Pemboikotan di Media Sosial
Media sosial memang sering kali diramaikan dengan istilah cancel culture. Gerakan masif tersebut dilakukan terhadap sejumlah publik figur hingga brand sustu produk.
Mulai dari meminta untuk melakukan unfollow akun media sosial hingga tidak mendengarkan ataupun menonton karya-karya tokoh publik tersebut. Contohnya yaitu penyanyi Pamungkas. Hal tersebut dikarenakan adanya aksi tidak senonoh yang dilakukan oleh penyanyi tersebut saat di atas panggung dan sempat viral.
Kemudian ada juga ajakan untuk tidak menonton film Like & Share di media sosial. Warganet beralasan dalam film tersebut salah satu pemainnya yaitu Arawinda Kirana dituding menjadi perusak rumah tangga orang.
Sedangkan contoh lain dari luar negeri yaitu aktor Johnny Depp. Saat itu masyarakat meyakini bahwa dia telah melakukan kekerasan terhadap mantan istrinya, Amber Heard. Karier Johnny Depp pun jadi terancam hingga kehilangan proyek film yang dikerjakannya.
Sebenarnya apa itu cancel culture?
Mengutip dari laman The Whit Online budaya cancel culture berada merupakan cara yang dianggap adil untuk menghukum pesohor atas tindakan yang mereka lakukan dan dianggap dapat menyebabkan lebih banyak keburukan daripada kebaikan di media.
Budaya ini dapat menyebabkan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki pada karier seseorang. Banyak orang dengan cepat melupakan setiap hal baik yang telah dilakukan seorang selebritas karena satu insiden buruk yang mereka lakukan.
Tindakan yang dimaksud misalnya kriminal seperti narkoba, pelecehan seksual, dan kekerasan. Karena tindakan tersebut diyakini para pesohor tidak akan diberikan tempat untuk muncul di publik kembali. Sebab para public figure dianggap sebagai seseorang yang mampu memberikan pengaruh pada orang banyak.
Sedangkan pengamat sosial Universitas Indonesia, Devie Rahmawati menyebut istilah cancel culture bukanlah hal yang baru di masyarakat. Cancel culture menurut Devie yaitu sebuah gerakan atau aktivitas untuk melakukan aksi pemboikotan. Istilah ini akhirnya berkembang saat era digitalisasi.
Kata Devie, dulunya gerakan cancel culture atau pola pemboikotan dilakukan atas dasar untuk memperjuangkan kebenaran. Misalnya perilaku institusi yang sewenang-wenang atau adanya sebuah produk yang tidak memperhitungkan kesehatan. Kemudian juga gerakan untuk tidak menggunakan sebuah brand atau produk.
"Pemboikotan atau cancel culture ini dulu diinisiasi untuk memperjuangkan kebenaran misalnya perilaku institusi yang sewenang-wenang, mislanya produk yang tidak memperhatikan kesehatan. Maka masyarakat melakukan aksi protes dengan melakukan boikot," kata Devie kepada Liputan6.com.
Advertisement
Cancel Culture Dapat Hancurkan Karier Seseorang
Era sekarang, kata Devie ada beberapa negara yang menggunakan cancel culture untuk memastikan tokoh publik, perusahaan ataupun instusi dapat berjalan sesuai dengan norma yang tepat. Untuk media sosial, pemboikotan dilakukan dengan melakukan aksi unfollow milik tokoh publik hingga perusahaan yang dianggap bermasalah.
Kendati begitu, Devie menilai aksi pemboikotan saat ini kadangkala berbasis praduga tanpa data. Sebab beberapa diantaranya seseorang sampai kehilangan pekerjaannya karena cancel culture yang belakangan diketahui tidak bersalah.
"Sehingga menjadi cancel culture menjadi cancer culture. Karena pada akhirnya aksi pemboikotan cancel culture ini berubah menjadi cancer bisa membunuh orang yang menjadi korban atau institusi yang menjadi korban pemboikotan karena sering kali hanya berbasis praduga bukan berbasis kebenaran," papar dia.
Hal tersebut menurut Devie sangat berbahaya. Sebab orang yang belum dinyatakan bersalah dan terkena cancel culture dapat kehilangan mata pencaharian hingga nama baiknya yang hancur. Bahkan seringkali aktivitas cancel culture di media sosial disertai dengan adanya kekerasan verbal atau cyber bullying.
"Sebetulnya cancel culture tidak harus dengan aksi kekerasan. Padahal misalnya unfollow itu bagian dari boikot kalau produk kita enggak mau lagi pakai produk tanpa harus harus mencaci maki. Kalau aci maki itu praktik yang mengerikan," ucap dia.
Devie pun mencotohkan salah satu negara yang kompak mengerakkan cancel culture untuk tokoh publik, pemerintahan agar tetap sesuai dengan nilai-nilai di masyarakat. Salah satunya yaitu Korea Selatan. Hal tersebut sebagai bentuk hukuman atau sanksi dengan tidak menggunakan jasa hingga produk yang ada.
"Mereka memang punya gerakan masif untuk melindungi nilai-nilai negara mereka ketika nilai nilai itu dilanggar maka akan dilakukan pemboikotan dalam konteks ini namanya cancel culture," ujar Devie.
Masyarakat Diminta Untuk Tidak Percaya
Devie juga memberikan tips kepada masyarakat mengenai adanya ajakan cancel culture. Pertama dia meminta agar masyarakat dapat langsung percaya mengenai munculnya tudingan yang dilayangkan kepada individu ataupun perusahaan.
Dia berasalan pada era digitalisasi masyarakat dengan sangat mudah membuat dan menyebarkan informasi yang tidak benar dengan tujuan menjatuhkan pihak lain. Kemudian jika berkaitan dengan urusan pidana, masyarakat diminta untuk menunggu hasil keputusannya.
"Kalau udah benar misalnya berkaitan dengan kejahatan pidana benar terbukti di pengadilan, silahkan. Kalau memang ini kita lihat ini menjadi penting sebagai pelajaran seluruh bangsa misalnya bahwa orang ini harus diboikot bersama-sama itu hal yang benar," Devie menandaskan.
Individu hingga Perusahaan Dilarang Membuat Kesalahan
Kemudian, pengamat media sosial Abang Edwin Syarif menyatakan cancel culture merupakan sebuah tindakan yang dilakukan oleh masyarakat ketika perilaku atau tindakan seorang tokoh publik atau perusahaan tidak sesuai dengan norma yang ada. Kata dia, setiap orang yang dianggap sebagai tokoh publik akan dihadapkan dengan standar norma yang ada.
Atau para tokoh tersebut dituntut untuk tidak memiliki celah keburukan yang melanggar norma ideal di masyarakat. Ketika hal tersebut terjadi warganet akan menarik dukungannya dengan berbagai tindakan sebagai bentuk pemboikotan.
"Cancel culture tadinya tidak sebesar seperti di media sosial. Tapi begitu ada media sosial itu jadi kaya explosion. Jadi makin besar," kata Edwin kepada Liputan6.com.
Karena adanya gerakan tersebut, Edwin mengibaratkan jika para pesohor ataupun perusahaan dilarang untuk melakukan kesalahan yang fatal atau bertentangan. Kata Edwin, tekanan yang diterima para korban cancel culture juga sangat besar di media sosial.
Dia mengistilahkan cancel culture seperti halnya pengadilan umum yang diterima oleh para tokoh yang dianggap menyalahi aturan. Beberapa masyarakat juga menganggap gerakan cancel culture sebagai bentuk sanksi sosial.
"Ada juga yang menyebut sebagai bentuk sabotase. Itu memang bagaimana sudut pandang kita melihatnya," ucapnya.
Sangat Sederhana dan Cepat
Menurut Edwin, tindakan cancel culture di media sosial terjadi sangat sederhana dan cepat. Yakni berpatokan pada kesalahan tokoh atau perusahaan tersebut. Sehingga perubahan sentimen pada masyarakat langsung berubah dari yang positif menjadi negatif.
Lanjutnya, kebanyakan tujuan dari cancel untuk menjatuhkan seseorang. Bahkan masyarakat seringkali membungkusnya dengan fakta yang perlu diketahui oleh semua pihak.
"Jadi kelihatannya itu pengungkapan sesuatu kadang-kadang itu bisa diatur. Kalau kita enggak seneng kita buat sebuah cerita dan jadilah cancel culture. Untuk men-drive cancel culture itu terjadi kepada orang orang tertentu, jadi itu by design. Kalau di media sosial itu yang bahaya sebetulnya," papar dia.
Edwin menyatakan jika dampak dari cancel culture sangatlah besar. Mulai dari kehancuran karier yang dibangun seseorang hingga pihak-pihak yang terlibat. "Misalnya si public figure ini bekerja di sebuah instansi atau brand, brandnya bisa ikut kena. Berdampak dalam jadi ya makanya saya bilang itu tidak bisa dianggap sepele," sambung Edwin.
Advertisement
Menarik Diri Sejenak dari Media Sosial
Karena hal itu, dia meminta agar para pengguna media sosial lebih menyadari mengenai sejumlah informasi yang diterimanya. Atau lebih berhati-hati untuk mempercayai dan ikut meramaikan informasi yang diterimanya. Sebab kebenaran dan kesalahan sangat mudah sekali untuk terlihat jelas di media sosial.
"Jadi kita memang harus lebih mature kalau di media sosial, kalau dengar suatu kabar, benar enggak, cek-ricek, persis kayak jurnalis. Apalagi kita ada di fase di mana kita mendapatkan informasi itu terlalu banyak. Semua orang, siapa pun bisa membuat informasi, dibikin sedemikian rupa, begitu meyakinkan," lanjut dia.
Edwin juga memberikan tips untuk para pengguna sosial yang mengalami cancel culture. Yakni seseorang diminta untuk tidak menanggapi komentar negatif dan memilih mundur sejenak dari media sosialnya.
"Beberapa bulan enggak usah main dulu, itu biasanya beberapa bulan sentimennya turun lagi. Hype-nya tinggi, turunnya juga cepat. Kecuali kalau kitanya enggak terima ikutan emosi, itu memperpanjang umur cancel culturenya," Edwin menandaskan.