Ternyata Ini Alasan Mengapa Monarki Masih Tetap Bertahan di Eropa

Berikut rahasia kesuksesan monarki di Eropa hingga kini.

oleh Anissa Rizky Alfiyyah diperbarui 27 Des 2022, 17:15 WIB
Potret Pangeran Philip bersama Ratu Elizabeth II, Pangeran William, Kate Middleton, Pangeran George dan Putri Charlotte. (dok. Instagram @kensingtonroyal/https://www.instagram.com/p/CNp2qSBFXn3/)

Liputan6.com, Jakarta- Beberapa abad ke belakang, hampir setiap negara di Eropa adalah bentuk negara dengan sistem monarki. Tapi, kini hanya 12 kerajaan yang tersisa. 

Kini, orang-orang Eropa mondern menganggap negara modern adalah negara yang demokratis dengan nilai-nilai liberal. 

Tapi, kira-kira apa yang membuat 12 negara Eropa sisanya masih menggunakan sistem monarki? 

Mengutip Euro News, berikut rahasia kesuksesan monarki di Eropa hingga kini.

1. Paradoks Demokrasi

Raja Charles III menyambut Rishi Sunak selama audiensi di Istana Buckingham, London, di mana ia mengundang pemimpin Partai Konservatif yang baru terpilih untuk menjadi Perdana Menteri dan membentuk pemerintahan baru, Selasa, 25 Oktober 2022. (Aaron Chown/Pool photo via AP)

Semua keluarga kerajaan yang tersisa di Eropa hidup berdampingan dengan demokrasi dan melakukannya dengan cukup baik.

Economist Intelligence Unit pada 2021 menempatkan Norwegia, Swedia, Denmark, Belanda, Luksemburg, dan Inggris di peringkat 20 besar Indeks Demokrasi bersama Spanyol dan Belgia di bawahnya.

"Saya pikir ada pemikiran yang agak dangkal di Eropa terutama di negara-negara seperti Prancis bahwa bentuk demokrasi tertinggi adalah menjadi republik," kata Professor Robert Hazell dari Unit Konstitusi di University College London.

"Ini adalah asumsi teologis bahwa semua demokrasi yang baik akhirnya menjadi republik," lanut Hazell.

Pada awal abad ke-20, hanya Prancis, Swiss, dan negara kecil San Marino yang merupakan republik. Teetapi kekalahan beberapa negara dalam Perang Dunia I menjadi akhir bagi Romanov di Rusia dan Hapsburg di Austria-Hongaria.

Setelah Perang Dunia II, banyak monarki Eropa Timur yang tersisa dibuang oleh Soviet dengan berbagai cara yang menyebabkan monarki semakin berkurang. Tapi, bukan berarti hal ini menyebabkan republik demokratis yang berkembang pesat


2. Dukungan Rakyat

Pangeran Henrik dan Ratu Margrethe II dari Denmark (Wikimedia Commons)

 

Apakah dengan menjadi negara demokratis setiap warga akan menikmati standar hidup yang lebih tinggi dibanding dalam negara monarki?

Mungkin iya, mungkin juga tidak. 

"Setiap monarki bergantung pada dukungan rakyat dan tingkatnya sangat tinggi," kata Hazell.

Pada saat kematian Ratu Elizabeth II, duka publik mencapai puncaknya di Inggris, dengan ribuan orang Inggris mengantri berjam-jam untuk melihatnya berbaring dalam keadaan kenegaraan. Pemandangan ini terjadi hanya beberapa bulan setelah jumlah yang sama muncul di jalan untuk perayaan gembira atas jubileum platinum.

Putra Ratu Inggris, Raja Charles III, telah lama dianggap sebagai penjahat karena perlakuannya terhadap mantan istrinya, Putri Diana. Namun, pada saat naik takhta, dia mendapatkan peningkatan dukungan dengan 63 persen orang Inggris mengatakan bahwa dia akan melakukan pekerjaan yang baik sebagai raja.

"Negara-negara yang tetap menjadi monarki, hingga monarki kehilangan dukungan rakyat, negara tersebut akan tetap menjadi monarki," kata Hazell.


3. Kontroversi dan Popularitas

Jelang waktu tayang series dokumentasinya, Meghan dan Pangeran Harry absen dalam acara makan siang yang diadakan Raja Charles III. (instagram/theroyalfamily)

Salah satu cara di mana keluarga kerajaan tetap berada di puncak kurva popularitas adalah dengan tetap mengikuti perkembangan zaman. 

Para bangsawan perlu memiliki tujuan-tujuan yang progresif namun tidak kontroversial seperti perlindungan Ratu Beatrix dari Belanda terhadap seni atau pidato 25 tahun Raja Harald dari Norwegia untuk mendukung multikulturalisme.

Selain itu, demi mengambil hati publik dan membuat publik tetap mendukung kerajaan, sekandal yang dibuat-buat juga menjadi kuncinya. 

"Semakin besar ukuran keluarga kerajaan, semakin besar risiko satu atau lebih dari mereka akan keluar dari jalur," kata Hazell.

Baru-baru ini Ratu Margrethe II dari Denmark mencopot empat cucunya dari gelar kerajaan untuk melangsingkan keluarga Kerajaan Denmark, sementara pada 2019 Raja Carl XVI Gustav dari Swedia melakukan hal yang sama terhadap lima keturunan putranya.

Menghindari kontroversi dengan menghilangkan elemen-elemen nakal dapat membuat kerajaan lebih kuat. 


4. Akuntabilitas dan Politik Istana

Raja Charles III (kanan) dan Permaisuri Camilla saat upacara proklamasi bersama Dewan Aksesi di Istana St. James, London, Inggris, Sabtu (10/9/2022). Pada acara itu, Raja Charles III menyampaikan pidato di hadapan sejumlah pejabat, termasuk mantan perdana menteri. (Victoria Jones/Pool Photo via AP)

Satu hal yang bisa disepakati semua orang tentang Ratu Elizabeth II yang sekarang sudah meninggal adalah bahwa dia sangat tidak memihak.

"Salah satu peran keluarga kerajaan adalah menjadi simbol bagi bangsa secara keseluruhan. Oleh karena itu raja sebagai institusi harus berusaha untuk mewakili seluruh bangsa," kata Hazell.

"Itulah sebabnya mereka harus berada di atas politik."

Seorang tokoh nasional perannya sangat penting di sebuah negara. Di Belgia misalnya, Raja Philippe adalah satu-satunya tokoh yang tidak berpihak pada politik pertentangan yang membuatnya tetap didukung.

Tapi, Politik atau tidak, umur panjang raja sebagai figur kepala negara sangat membantu mengamankan tempat mereka di hati masyarakat.

 

Infografis Ratu Elizabeth II, Penguasa Terlama di Kerajaan Inggris. (Liputan6.com/Trieyasni)

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya