Pria Depresi Timbun Sampah di Dalam Apartemen, Terpaksa Tidur di Lantai Selama 1 Tahun

Pria asal Singapura ini mengalami depresi akibat kehilangan orangtua dan pekerjaan.

oleh Dinny Mutiah diperbarui 27 Des 2022, 10:36 WIB
Ilustrasi tumpukan sampah di rumah. (dok. rawpixel.com/Freepik)

Liputan6.com, Jakarta - Depresi yang dialami seseorang bisa termanifestasi dalam berbagai bentuk. Menumpuk barang di rumah atau hoarder jadi salah satunya. Hal itu pula yang terjadi pada seorang pria di Singapura yang mengalami depresi berat setelah kematian orangtua dan kehilangan pekerjaan dalam kurun waktu berbeda.

Pria yang diidentifikasi sebagai Saini (44) itu meninggalkan rumah dan pindah ke apartemen sewaan pada 2016 setelah orangtuanya meninggal dan putus kontak dengan saudara kandungnya. Shin Min Daily News melaporkan bahwa selama beberapa waktu, ia masih mampu menghidupi dirinya sendiri dengan bekerja di terminal pelabuhan kargo.

Namun, situasinya memburuk setelah kehilangan pekerjaan akibat pandemi Covid-19. Saini sempat mencoba melamar sebagai penjaga keamanan di terminal itu, tapi tak lolos. Ia mengklaim didiskriminasi karena ukuran tubuhnya.

Keadaannya makin parah setelah Singapura menerapkan kebijakan circuit breaker untuk mencegah penyebaran infeksi Covid-19. Terkurung di apartemennya, berat badan Saini melonjak drastis. Ia melihat jarum timbangan bergerak dari angka 130 kg menjadi 240 kg hanya dalam waktu dua bulan. Ia juga menderita asam urat yang membuat gerak tubuhnya semakin sulit.

"Ketika saya tinggal di Bedok, saluran sampah terletak di dalam flat. Tapi, di sini ada di luar, di lift landing. Saya tak bisa keluar rumah, jadi saya mulai menaruh sampah di rumah," ucap Saini dikutip dari AsiaOne, Selasa (27/12/2022).

Tak terasa, sampah yang ditinggalkan makin menumpuk dan menarik perhatian kecoa maupun serangga lainnya. Kondisi lingkungan yang buruk itu memperparah kesehatan Saini. Ia terpaksa bolak-balik konsultasi ke rumah sakit.


Aksi Bersih-Bersih

Ilustrasi cairan pembersih serbaguna di rumah. (dok. pexels/Polina Tankilevitch)

Setelah mempelajari kondisi kesehatan dan tempat tinggalnya, seorang pekerja sosial medis merujuk namanya ke Habitat for Humanity Singapura. Organisasi amal internasional yang beroperasi di Singapura itu memiliki program untuk 'menghilangkan kemiskinan perumahan di seluruh dunia.'

Lima sukarelawan diterjunkan untuk membersihkan dan membereskan apartemen Saini. Mereka membutuhkan waktu lima jam untuk menjalankan kegiatan amal di bawah program Project Homeworks yang bertujuan merehabilitasi rumah agar lebih aman dan bersih untuk ditinggali. 

Saini pun akhirnya bisa kembali tidur di tempat tidurnya setelah selama setahun hanya bisa berbaring di lantai. Seorang juru bicara dari organisasi tersebut mengatakan pada Shin Min bahwa Saini juga diberikan selimut kain perca yang dijahit tangan oleh para sukarelawan lewat inisiatif terpisah.

"Sebagian besar penerima manfaat kami adalah manula yang tinggal sendirian di apartemen sewaan atau keluarga berpenghasilan rendah," tambah juru bicara itu, dengan setiap selimut terdiri dari 130 kotak kain, masing-masing bagian dirancang oleh para donor.


Rumah Tanpa Tempat Sampah

Ilustrasi membersihkan rumah. (dok. The Honest Company/Unsplash/Adhita Diansyavira)

Tempat sampah di rumah memang hal lumrah. Tapi, hal itu nyatanya bisa dihilangkan oleh Andhini Miranda, seorang praktisi hidup nol sampah.

Kepada Liputan6.com, Sabtu, 17 September 2022, ia memulai usaha itu sejak 2018. Ia dan keluarganya belajar mengurangi sampah di keseharian sejak 2012. 

"Dalam perjalanan belajar mengurangi sampah sehari-hari, kami mendapati bahwa membuang sampah pada tempatnya tidak efektif dalam mencegah kerusakan lingkungan yang disebabkan sampah," kata Andhini.

"Karenanya pada 2018, kami memutuskan mengalihfungsikan tempat sampah kami di rumah jadi pot tanaman dan berhenti membuang sampah ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA)," ia menyambung.

Ini adalah tahun keempat mereka hidup tanpa tempat sampah di rumah, dan karena dilandasi kesadaran akan pentingnya untuk tidak menghasilkan sampah, keluarga itu menjalaninya dengan senang hati. Namun, proses itu dijalani bukan tanpa tantangan.

Andhini berkata, "Saat kami memutuskan mengalihfungsikan tempat sampah di rumah pada 2018, prinsip kami adalah mencegah sampah sejak awal. Namun pada 2012, saat kami belajar secara bertahap untuk mengurangi sampah sehari-hari, tantangan yang dihadapi lebih banyak."

"Kini, tantangannya adalah sebatas ditemukannya sampah yang nyasar ke tempat sampah kami yang sudah beralih jadi pot pepaya," tuturnya. "Petugas sampah sempat menanyakan tempat sampah kami yang selalu kosong, namun itu hanya di awal-awal saja."


Mencegah Sampah

Ilustrasi merapikan rumah

Soal apa yang membuatnya yakin menerapkan prinsip rumah tanpa tempat sampah, Andhini menjawab, "Sistem tata kelola sampah di negara kita baru sebatas kumpul-angkut-buang. Sampah-sampah dari perumahan, sekolah, kampus, kantor, mal, restoran, pasar, bandara, hotel, dan berbagai tempat lain hanya dipindahkan saja oleh petugas kebersihan ke TPA."

"Di sana, sampah-sampah tersebut hanya menumpuk tidak terkelola," katanya. "Sampah-sampah yang tidak terkelola ini mengakibatkan banyak masalah lingkungan. Misalnya, sampah organik yang tidak diolah akan menghasilkan gas rumah kaca yang disebut gas metana. Gas ini memanaskan Bumi 21 kali lipat dari karbon dioksida."

Berdasarkan pengalamannya dan keluarga menjalani hidup nol sampah, mencegah sampah sejak awal dengan menolak produk dalam kemasan sekali pakai dan menolak produk yang sifatnya sekali pakai memang sangat efektif dalam menekan jumlah sampah rumah tangga mereka.

"Karena setiap produk, apapun materialnya, memiliki dampak ekologis. Tidak hanya setelah produk atau kemasasan tersebut selesai dipakai, namun sejak awal pembuatannya," tutur perempuan yang juga seorang ibu rumah tangga itu.

Infografis Journal_ Fakta Tingginya Sampah Sisa Makanan di Indonesia (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya