Liputan6.com, Pekanbaru - Dalam beberapa hari terakhir, permintaan Presiden Joko Widodo mengevaluasi Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar mencuat ke permukaan. Evaluasi hingga reshuffle ini datang dari petinggi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Djarot Saiful Hidayat.
Permintaan Djarot ini mendapat dukungan dari Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto dan politikus PDIP Andreas Hugo Pareira. Desakan perombakan ini terkait sikap Partai Nasional Demokrat (Nasdem) yang mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai bakal calon presiden.
Advertisement
Desakan ini ternyata mendapat sambutan hangat dari Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Sawitku Masa Depanku (Samade). Asosiasi petani sawit rakyat ini menilai kedua menteri tersebut tidak bisa menerjemahkan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang menjadi program prioritas Presiden Jokowi.
Menurut Wakil Ketua Umum DPP Samade, Abdul Aziz, kedua menteri tersebut terkesan menghalangi PSR. Yasin dan Siti Nurbaya tidak bisa menerjemahkan program Jokowi itu sehingga merugikan petani sawit.
Sebelumnya, jelas Aziz, Kementerian Pertanian telah mengeluarkan data bahwa potensi Peremajaan Sawit Rakyat mencapai 2,78 juta hektare. Dari 2020, juga sudah dibuat kesepahaman percepatan PSR dengan target 180 ribu hektare per tahun.
"Tapi dari 2016 sampai November 2022 lalu, kebun sawit rakyat yang baru berhasil diremajakan, masih hanya 257.862 hektare, lahan ini milik 112.925 pekebun atau petani biasa," kata Aziz, Senin petang, 26 Desember 2022.
Aziz menilai, rendahnya capaian PSR ini tidak lepas dari klaim kawasan hutan yang dilakukan oleh KLHK terhadap kebun-kebun kelapa sawit rakyat yang sesungguhnya sudah mereka kelola lebih dari 25 tahun. Rumitnya persyaratan PSR yang dibuat oleh Kementan, menambah daftar panjang persoalan yang dihadapi petani.
"Peremajaan itu bukan membuka lahan baru kemudian ditanam tapi justru menebangi pohon sawit yang sudah lalu ditanami lagi," jelas Azis.
Petani Bingung
Kebetulan, ungkap Aziz, program PSR ada bantuan dana dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Sebelumnya besaran bantuan itu Rp25 juta per hektare tapi sejak pertengahan tahun 2020 menjadi Rp30 juta per hektare.
"Dana hibah ini bukan dari APBN, tapi dari hasil Pengutan Ekspor (PE) yang kemudian dikelola oleh BPDPKS," ulas Aziz.
Untuk mendapatkan dana hibah itu, petani membuat usulan melalui dinas perkebunan yang ada di kabupaten/kota, provinsi hingga Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjen Bun). Salah satu syarat lolos usulan itu adalah kebun petani tidak berada di dalam kawasan hutan.
"Di saat pengajuan inilah kemudian ketahuan kalau ternyata lahan kebun petani berada di dalam kawasan hutan, inikan aneh, lahan yang sudah dikuasai lebih dari 25 tahun, tiba-tiba diklaim berada di kawasan hutan padahal sudah ada sertifikat tanah," tegas Aziz.
Keadaan ini membuat petani gagal mendapatkan dana hibah tersebut tanpa penjelasan dari Kementerian Pertanian. Begitu juga dengan KLHK yang tidak memberikan penjelasan kenapa lahan warga yang bersertifikat itu diklaim masuk kawasan hutan.
Aziz mempertanyakan kapan kawasan hutan itu ditunjuk dan ditetapkan. Dia mengaku sudah menanyakan bukti, mulai dari berita acara tata batas, tracking tata batas dan peta, tapi tidak pernah mendapat jawaban.
Menurut Aziz , penetapan kawasan hutan harus dengan dengan pasal 14 dan 15 UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam pasal itu dinyatakan kawasan hutan yang ditunjuk harus segera ditata batas untuk kemudian ditetapkan tapi tidak dilakukan KLHK.
"Makanya lahan petani tadi terperangkap di dalam klaim kawasan hutan itu," katanya.
Advertisement
Tidak Sesuai Aturan
Tahun 2020 lalu, pemerintah sudah mengeluarkan UU 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Di cluster kehutanan disebutkan bahwa lahan yang sudah dikuasai oleh petani minimal 5 tahun dan tidak lebih dari 5 hektar, dikeluarkan dari kawasan hutan.
Aziz menjelaskan, aturan itu berlaku untuk kawasan hutan yang sudah dikukuhkan. Artinya, di dalam kawasan hutan yang sudah dikukuhkan sekali pun, aturan itu memerintahkan agar lahan petani dikeluarkan.
"Tapi itu juga tidak dilakukan, yang ada justru KLHK selalu ngotot bahwa lahan yang sudah dia klaim sebagai kawasan hutan, itulah kawasan hutan, tidak boleh diganggu gugat," urai Aziz.
Aziz menyatakan, sikap KLHK seperti ini sama saja dengan perampasan hak rakyat atas tanah. Ini juga menjadi bukti sistem pertanahan di Indonesia berantakan karena penunjukan dan penetapan kawasan hutan tidak sesuai aturan.
Sikap KLHK ini, kata Aziz , semestinya dipertanyakan Kementerian Pertanian. Jawaban dari KLHK ini selanjutnya disampaikan kepada petani agar mendapatkan kepastian.
Menurut Aziz, Kementerian Pertanian seharusnya bisa menyodorkan Undang-Undang Cipta Kerja sebagai solusi baru agar petani bisa meremajakan kebun sawitnya. Hanya saja tidak dilakukan meskipun dua menteri itu berasal dari partai yang sama.
"Keduanya satu rumah bisa saling koordinasi, tidak ujug-ujug Presiden Jokowi membuat program PSR ini sebagai prioritas tapi pasti sudah melalui pemikiran yang matang karena dari 16,38 juta hektare kebun kelapa sawit di Indonesia, 42 persen adalah milik rakyat," tegas Aziz.