Liputan6.com, Aceh - Meski sebagai daerah yang kerap diguncang gempa bumi, namun masyarakat Kabupaten Simeulue, Provinsi Aceh, tidak lagi merasa panik karena memang adat dan budaya telah mengajari mereka bagaimana cara menyelamatkan diri saat bencana itu datang, termasuk ketika tsunami dahsyat memporak-porandakan Aceh pada 26 Desember 2004
Tsunami yang terjadi pada 26 Desember 2004 telah menghancurkan Aceh, dengan menelan korban jiwa tidak kurang dari 200 ribu orang dan sebagian dinyatakan hilang, serta menghancurkan fasilitas publik maupun rumah penduduk di sejumlah daerah di provinsi itu.
Bagi masyarakat Simeulue, ada kearifan lokal seperti cerita smong nafi-nafi yang mengajari tentang kapan mereka harus menjauh dari pantai atau berlari mencari dataran tinggi saat merasakan getaran gempa bumi.
Smong dalam bahasa asli Simeulue diartikan sebagai hempasan gelombang air laut. Secara historis, smong merupakan kearifan lokal dari rangkaian pengalaman masyarakat Simeulue pada masa lalu terhadap bencana gempa bumi dan tsunami.
Kisah tentang smong itu diceritakan secara turun-temurun dari generasi ke generasi melalui nafi-nafi. Sedangkan nafi adalah budaya lokal masyarakat Simeulue berupa adat tutur atau cerita yang berisikan nasihat dan petuah kehidupan, termasuk smong. Para tetua dan tokoh adat menyampaikan nafi-nafi kepada kaum muda untuk menjadi pelajaran.
Seperti halnya tsunami yang dipicu oleh gempa dahsyat dengan magnitudo 9,1 telah menerjang Aceh, termasuk Kabupaten Simeulue pada 18 tahun silam. Namun, di kepulauan yang terkenal penghasil cengkeh itu tidak banyak menelan korban jiwa.
Baca Juga
Advertisement
Bagi masyarakat Simeulue, secara turun temurun sudah diperkenalkan cerita rakyat tentang "smong nafi-nafi" yang merupakan sebuah kearifan lokal untuk bertindak dan bersikap jika gempa terjadi agar sesegera mencari dataran tinggi.
Smong nafi-nafi merupakan kearifan lokal masyarakat kepulauan di Samudra Hindia tersebut berupa adat tutur atau cerita yang berisikan mitigasi bencana tsunami. Dengan petuah turun temurun tersebut, banyak masyarakat di Pulau Simeulue selamat dari bencana gempa dan tsunami yang terjadi di Samudra Hindia pada 26 Desember 2004.
Smong nafi-nafi mengajarkan masyarakat segera menyelamatkan diri di tempat ketinggian jika terjadi gempa besar dan menyurutnya air laut karena berpotensi terjadi gelombang besar atau smong, kata Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Simeulue Asmanuddin.
Cerita smong yang dikemas dalam syair bisa menyelamatkan nyawa, mungkin ini terdengar aneh bagi sebagian orang. Apalagi jika dikaitkan dengan bencana dahsyat seperti tsunami dan bencana lainnya.
Tapi tidak bagi warga Simeulue. Syair yang biasa dilantunkan dalam acara nandong, seni tradisional Simeulue, diyakini telah menyelamatkan puluhan ribu nyawa di kabupaten di Samudra Hindia itu dari bencana dahsyat tsunami pada 2004.
Bagi warga Simeulue, syair tentang tsunami telah ada sejak nenek moyang mereka. Syair yang menceritakan begitu dahsyatnya tsunami ini tidak lahir begitu saja, tetapi berdasarkan pengalaman tsunami yang menghantam kepulauan itu pada 1907 yang menghancurkan rumah dan juga merenggut banyak nyawa.
"Dari cerita nenek moyang dulu dan disampaikan secara turun temurun kepada setiap generasi tentang smong itulah yang membuat masyarakat Simeulue banyak selamat dari hantaman tsunami pada 2004," kata warga Simeulue, Harunsyah, dikutip Antara.
Melalui adat tutur, kearifan lokal, dan cerita turun menurun itulah membuat masyarakat Simeulue selalu siap siaga jika sewaktu-waktu smong datang. Kesiapan itu terbukti ketika gempa dahsyat dan smong menerjang pulau Simeulue, meski ribuan rumah penduduk hancur dan rata dengan tanah. Namun, korban jiwa sangat sedikit.
Hingga kini, syair yang memiliki pesan nasihat itu masih terus disampaikan kepada generasi muda melalui nandong yang banyak ditampilkan di setiap kegiatan pernikahan ataupun sunatan.
Kendati demikian, kondisi yang sedikit miris mungkin terjadi di sebagian besar kabupaten dan kota lain di Aceh di luar Simeulue, yakni mulai kurangnya mitigasi tsunami kepada generasi muda meski Aceh termasuk salah satu rawan bencana.
Jika berkaca pada bencana pada 26 Desember 2004, banyaknya jatuh korban jiwa saat tsunami meluluh-lantakkan wilayah ini dikarenakan masyarakat Aceh kurang memahami terkait dengan bencana tersebut.
Beberapa warga yang selamat dari tsunami 26 Desember 2004 menyebutkan, tidak sedikit warga meninggal dunia atau korban terluka karena panik dan kecelakaan di jalan raya, meski tsunami saat itu belum menerjang daratan Kota Banda Aceh.
Karena itu, mitigasi bencana dirasa penting dan terus menerus dilakukan sebagai upaya menyiapkan masyarakat tangguh bencana, apalagi Aceh dan Indonesia berada di kawasan cincin api yang bisa memicu terjadinya gempa dan tsunami.
Saksikan Video Pilihan Ini:
Gerakan Melawan Lupa
Warga Aceh khususnya perlu melakukan gerakan "melawan lupa" yang bermakna terus melatih diri untuk menghadapi jika suatu saat nanti terjadi bencana, sehingga dapat meminimalisir jatuhnya korban jiwa dan juga harta.
Bahkan, beberapa bulan setelah gempa dan tsunami menerjang 18 tahun lalu, masyarakat di kawasan pesisir Aceh kerap memarkirkan kendaraan (mobil atau sepeda motor) yang langsung menghadap pintu pagar untuk memudahkan lari jika terjadi gempa dan tsunami.
"Tidak hanya kendaraan, tapi juga sandal dan sepatu diletakkan dengan posisi mudah dijangkau saat akan berlari jika terjadi gempa dan tsunami," kata praktisi media M Nasir Nurdin dalam diskusi publik tentang kebencanaan.
Sementara itu, Kepala Mitigasi Bencana Universitas Syiah Kuala (USK) Prof Syamsidik menjelaskan bahwa transfer pengetahuan mitigasi bencana dari generasi ke generasi di Aceh masih kurang.
Simeulue berhasil meneruskan mitigasi bencana dari generasi ke generasi. Pengalaman dari tsunami 18 tahun lalu maka pentingnya kita melahirkan generasi tangguh bencana..
Menurutnya, 18 tahun silam tsunami itu bukan berarti menjauhkan Aceh dari tsunami berikutnya, namun sebaliknya tetap juga semakin mendekat Aceh kepada tsunami berikutnya. Sebab, tsunami 26 Desember 2004 itu bukan yang pertama, tetapi untuk yang kesekian kalinya.
Sementara Wakil Rektor USK Agussabti juga menyatakan tidak ada transfer ilmu mitigasi bencana saat tsunami 2004. Banyak korban warga di pesisir pantai ketika tsunami terjadi itu dikarenakan tidak ada tranfer ilmu.
"Buktinya banyak masyarakat pascagempa saat itu memilih ikan di laut takkala menyaksikan air laut surut pada 26 Desember 2004. Berbeda dengan Simeulue, korban sedikit karena ada kearifan lokal turun temurun berupa cerita smong," kata dia.
Pakar kebencanaan USK Banda Aceh Dr Alvisyahrin menilai pengetahuan mitigasi bencana masyarakat di Tanah Rencong itu masih minim, sehingga perlu upaya edukasi secara kontinyu dalam menghadapi setiap bencana.
Alvisyahrin menyebut peringatan 18 tahun gempa dan tsunami Aceh pada 26 Desember 2022 seharusnya momentum untuk merefleksikan diri agar terus meningkatkan pengetahuan mitigasi bencana.
“Harapan masyarakat global membangun Aceh ialah supaya Aceh tangguh, bisa menghadapi bencana, secara lebih proaktif, bisa mengenali resiko bencana, baik nyawa atau harta bencana,” katanya menjelaskan.
Tsunami Aceh pada 2004 sangat menghentakkan dunia. Saat itu, Aceh menjadi titik perhatian dunia, hingga kemudian menjadi dasar PBB mengevaluasi kerangka aksi penanggulangan bencana global dari strategi Yokohama menjadi kerangka Hyogo yang lahir pada Januari 2005 lalu.
Artinya, Aceh menginspirasi dunia dalam skala kebencanaan. Dampak bencana yang menyebabkan ratusan ribu warga meninggal dunia itu mengantarkan lebih 112 negara dan ratusan Organisasi Non-Pemerintah (NGO) datang ke Aceh membantu penanggulangan bencana.
“Jadi ini dampak begitu meluas, kehancuran begitu hebat, dampak ekonomi hancur, makanya dunia tergugah, baik kelembagaan maupun masyarakat global. Ini menginspirasi PBB menghadirkan pembaharuan dalam menghadapi penanggulangan bencana dunia, maka lahir kerangka Hyogo,” katanya.
Namun, Aceh belum banyak menunjukkan kemajuan terkait penanggulangan bencana, terutama dalam hal mitigasi bencana. Padahal, Aceh sudah memiliki gedung evakuasi, jalur evakuasi, serta inisiatif mengedukasi masyarakat yang dimulai dari tingkat sekolah.
Tapi, selama ini sarana prasarana edukasi mitigasi bencana banyak tak terpakai sehingga membuat pengetahuan mitigasi bencana di Tanah Rencong itu bukan makin meningkat, malah terjadi penurunan.
“Dan kita bekerja agak sporadis, insidental dalam mitigasi bencana, ini bahaya. Karena mitigasi bencana itu suatu ikhtiar yang harus kita lakukan secara berkelanjutan, secara kontinu sehingga kita bisa mengimbangi kembali sisi pra bencana itu, mitigasi dengan sisi respon atau pasca bencana,” ujar Alvisyahrin.
Selama ini, Aceh hanya fokus pada sisi respon bencana yaitu penanganan pascabencana, seperti peran tim reaksi cepat, penyediaan logistik, yang seharusnya dapat dipersiapkan dengan matang dalam tahap mitigasi. Pengetahuan mitigasi bencana masyarakat Aceh bukan makin berkembang, tapi malah merosot.
Aceh, terkhusus Kota Banda Aceh, menjadi inspirasi dunia sebagai kota tangguh. Namun, hingga kini, ibukota Banda Aceh belum masuk dalam kriteria kota tangguh dunia.
Oleh sebab itu, Aceh harus bersinergi, saling melengkapi antara pemerintah daerah, BNPB, Badan Penanggulangan Bencana Aceh hingga BPBD di kabupaten kota untuk menyediakan segala kebutuhan, baik dari sisi kebijakan, pendanaan, dan kelembagaan untuk melakukan mitigasi bencana dengan benar. Apa yang dilakukan warga Simeulue dengan kearifan lokal yang dimilikinya bisa menjadi guru dalam menghadapi bencana ke depan.
Advertisement