Liputan6.com, Jakarta Masih banyak penyandang disabilitas usia kerja yang belum mendapatkan pekerjaan tetap. Hal ini salah satunya karena pelaku usaha menghadapi tantangan tersendiri untuk menuju inklusi disabilitas.
Anggota Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Myra Hanartani menyoroti 3 tantangan pelaku usaha menuju inklusi disabilitas.
Advertisement
Pertama, diperlukan ekosistem ketenagakerjaan yang inklusif seperti ruang publik, sarana transportasi dan mobilitas yang aman bagi penyandang disabilitas.
“Banyak penyandang disabilitas diterima bekerja di suatu perusahaan, tapi mereka terbentur sarana transportasi atau jalan sehingga sulit bagi mereka mencapai tempat kerja secara aman dan nyaman,” kata Myra dalam Diskusi Ketenagakerjaan Inklusif (Ditektif) yang diselenggarakan secara daring oleh Komisi Nasional Disabilitas (KND) dan NLR Indonesia pada Kamis, 22 Desember 2022.
Kedua, pengusaha sering kesulitan mendapatkan informasi tentang penyandang disabilitas yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan. Ketiga, pelaku usaha tidak tahu bagaimana menyiapkan tempat kerja, sarana, dan prasarana yang aman dan inklusif.
“Untuk itu, peran dari Unit Layanan Disabilitas adalah mempertemukan pemerintah, organisasi penyandang disabilitas, dan pelaku usaha. Serta meningkatkan keterampilan dan pendampingan bagi pemberi kerja/pengusaha yang menerima penyandang disabilitas,” lanjutnya.
Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas 2020) menunjukkan 5,79 persen atau sekitar 8 juta angkatan kerja di Indonesia adalah penyandang disabilitas. Jumlah tersebut hanya mencakup 44 persen dari populasi disabilitas usia kerja.
Data ini menunjukkan, meski kebijakan ketenagakerjaan inklusif di Indonesia telah mengalami kemajuan, tapi hambatan masih dialami oleh pelaku usaha dan penyandang disabilitas. Termasuk penyandang disabilitas akibat kusta.
Kewajiban Perusahaan Swasta dan BUMN
Sesuai dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016, peran perusahaan swasta wajib mempekerjakan paling sedikit 1 persen penyandang disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja.
Dan Unit Layanan Disabilitas dapat berperan mendorong perusahaan mewujudkan ketenagakerjaan inklusif disabilitas dan kusta.
Anggota Komisi Nasional Disabilitas Eka Prastama Widiyanta menekankan, serapan tenaga kerja yaitu 1 persen oleh perusahaan dan 2 persen oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sangat lah penting. Hal ini akan meningkatkan keterampilan dan kapasitas tenaga kerja penyandang disabilitas.
“Kita perlu memutus rantai kemiskinan dan mengubah paradigma bahwa disabilitas bukan lagi sebagai beban tapi jadi kesempatan untuk berkontribusi. Penyandang disabilitas diberi kesempatan mengakses pembangunan yang lebih berkualitas, manusiawi, adil dan setara,” jelasnya.
Untuk mendorong skema ketenagakerjaan yang inklusif, diperlukan edukasi dan media kampanye tentang nilai inklusif, disabilitas, dan kusta. Serta perlu penguatan kapasitas teknis dari Unit Layanan Disabilitas.
Advertisement
Ekosistem Tenaga Kerja Inklusif
Dalam acara yang sama, Asisten Deputi Pemberdayaan Disabilitas dan Lansia, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Drs. Ade Rustama menyampaikan, upaya memperkuat ekosistem ketenagakerjaan yang inklusif bagi penyandang disabilitas sangatlah penting.
“Kementerian Ketenagakerjaan berkomitmen mendorong nilai inklusif dari hulu hingga hilir. Seperti akses luas bagi kelompok rentan untuk mendapat pelatihan, peningkatan keterampilan, dan alih keterampilan, serta mewujudkan pasar kerja yang inklusif,” ujar Ade mengutip keterangan pers yang diterima Disabilitas Liputan6.com, Senin 26 Desember 2022.
Sementara, Angga Yanuar dari NLR Indonesia menyoroti kuota tenaga kerja penyandang disabilitas masih belum terpenuhi. Belum ada aksi afirmatif untuk keterwakilan tenaga kerja penyandang disabilitas.
“Sejak 2014 pemerintah telah mengalokasikan kuota khusus bagi penyandang disabilitas. Namun pada praktiknya, jumlah formasi yang tersedia jauh dari persentase yang dimandatkan undang-undang,” ujar Angga.
Kendala OYPMK
Angga pun menekan bahwa orang yang pernah mengalami kusta (OYPMK) juga termasuk dalam kategori penyandang disabilitas fisik sebagaimana diatur dalam UU 8/2016. Namun OYPMK sering terkendala karena anggapan keliru di masyarakat bahwa OYPMK masih menularkan kusta dan kurang memadai dalam hal pendidikan. Deformitas dan disabilitas yang terlihat sering membebani OYPMK sehingga mereka lebih suka mengisolasi diri.
Di tengah hambatan ini, praktik baik pun disampaikan dalam diskusi. Senior General Manager Human Capital Business Partner PT Telkom Indonesia Sendy E. Kameswara mengungkapkan bahwa perusahaan mendukung upaya pemerintah memberi akses inklusif pada penyandang disabilitas.
“Bahkan sejak 2015 kami sudah menerima penyandang disabilitas sebagai karyawan. Selain itu kami memiliki digital talent recruitment yang tidak membatasi usia dan pendidikan minimum. Ini memungkinkan kesempatan setara bagi penyandang disabilitas untuk berkarier dan mendapat benefit yang sama,” ujar Sendy.
Pengalaman lain disampaikan perwakilan PT Alfamart, Raja Pamungkas. Perusahaan ini mulai merekrut 5 penyandang disabilitas di tahun 2016 dan hingga 2022 telah mempekerjakan 909 penyandang disabilitas termasuk OYPMK sebagai staf hingga supervisor.
“Kami baru mencapai 0,6 persen dari 1 persen yang dimandatkan Undang-Undang,” ujar Raja.
Advertisement