Liputan6.com, Jakarta Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan menyoroti kasus defisit stok beras, yang membuat Perum Bulog terpaksa melakukan impor beras 500 ribu ton. Padahal, itu jadi salah satu komoditas pangan utama yang paling dijaga pada zaman kepemimpinan Presiden Soeharto.
Mulanya, Mendag Zulhas mengatakan, dirinya termasuk salah seorang yang kontra dengan kebijakan impor beras. Terlebih Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo disebutnya mengabarkan, negara surplus produksi beras hingga 7 juta ton.
Advertisement
"Jadi impor beras ini saya tidak setuju, saya menentang keras. Dari berkali rapat saya tidak setuju, karena Menteri Pertanian mengatakan, kita surplus," tegas Mendag Zulkifli Hasan dalam jumpa bersama Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI), Selasa (27/12/2022).
"Surplusnya itu tidak sedikit, 7 juta, walaupun dalam hati saya tidak percaya. Tapi karena datanya BPS surplus 7 juta, maka saya menolak impor beras," dia menambahkan.
Ketidaksetujuan itu pun dilontarkannya saat mengikuti rapat terbatas (Ratas) pertama terkait beras. Namun pada kesempatan itu, ia juga menerima laporan dari Bulog, stok cadangan beras pemerintah (CBP) tinggal tersisa 300 ribu ton.
Sedangkan, harga beras juga sudah meroket hampir Rp 1.000 per kg. Menurut Mendag, ini merupakan kondisi yang sudah terlampau parah. Ia mengibaratkan, situasi tersebut bahkan bisa mengusik posisi Soeharto yang 30 tahun menjabat sebagai Presiden RI.
"Beras naik Rp 100 perak saja kan dampaknya tinggi sekali terhadap inflasi, apalagi naiknya Rp 1.000. Naik Rp 1.000 pak Harto jatoh. Jadi kalau beras ini menyangkut hajat hidup orang banyak," ungkapnya.
"Oleh karena itu Presiden perintahkan, kalau stoknya banyak beli Bulog. Bulog mau beli, 50 tahun sampai saat ini penyakitnya sama, yang paling dirugikan itu petani," pungkas Mendag.
Indonesia Buka Keran Impor Beras, Pengamat: Bukan Akibat Gagal Panen
Keputusan pemerintah untuk impor beras sebanyak 500 ribu ton di penghujung 2022 dan awal 2023 telah menimbulkan pro kontra di masyarakat.
Alasan utama impor beras karena menipisnya cadangan beras pemerintah (CBP) di Bulog yang diperkirakan tinggal 200 ribu ton sampai akhir tahun.
Menanggapi hal tersebut, Pemerhati Pertanian dan Ketua Komunitas Industri Beras Rakyat (KIBAR) Syaiful Bahari mengatakan, masalah impor beras merupakan fenomena puncak gunung es.
Akar persoalannya bukan karena gagal panen sehingga industri penggilingan padi tidak dapat bahan baku gabah. Apalagi, sudah lebih duapuluh tahun industri penggilingan padi di berbagai daerah tidak ada masalah dengan suplai gabah.
"Meskipun di satu wilayah gagal panen atau panennya kurang bagus, umumnya mereka memperoleh dari wilayah lain, bahkan saling suplai antar pulau. Artinya, pasar suplai gabah berjalan normal," kata Syaiful kepada media di Jakarta, Senin, (26/12).
Tak hanya itu, lanjut Syaiful, Bulog sendiri sudah lama menjalankan program serap beras medium dan premium untuk memenuhi Cadangan Beras Pemerintah (CBP) dari industri-industri penggilingan padi, sejauh ini berjalan baik.
Namun Syaiful mempertanyakan mengapa kali ini harus impor. Selain itu, harus dibuka juga transparansi ke publik terkait distribusi CBP yang ada di Bulog, apakah benar-benar habis atau lari kemana.
Menurut Syaiful, saat ini sebagian besar penggilingan padi rakyat di daerah tidak mampu lagi mensuplai Bulog, dikarenakan harga gabah yang tinggi sehingga penggilingan padi kecil menengah tidak bisa lagi berproduksi.
"Dari 160 ribu penggilingan padi yang ada diperkirakan hanya sepuluh persen saja yang masih aktif berproduksi. Itulah sebabnya peredaran beras di pasar juga semakin berkurang karena industri penggilingan padi banyak yang tidak jalan," kata Syaiful.
Advertisement
Penggilingan Padi
Syaiful mengungkapkan, penggilingan padi di Jabar, Jateng dan Jatim saat ini kesulitan mendapatkan gabah, jika ada harganya sudah mahal. Karena sebagian besar gabah sudah diserap oleh korporasi besar.
"Korporasi ini dengan permodalan kuat tidak ada masalah membeli gabah petani skala besar-besaran, sehingga memicu kenaikan harga gabah. petani jangan cepat-cepat senang dengan harga gabah yang tinggi saat ini, karena anomali harga tersebut bisa jadi bumerang bagi petani sendiri ketika sebagian besar industri penggilingan kecil menengah yang jumlahnya besar banyak yang bangkrut," ungkapnya.
Syaiful mengatakan, masalah diatas harus jadi perhatian serius kalau memang pemerintah masih peduli dengan industri penggilingan padi rakyat yang tersebar di pedesaan. Penggilingan padi rakyat tidak mungkin bisa bersaing dengan kemunculan industri beras skala besar (konglomerasi).
Baik dari modal kerja dan teknologi, penggilingan padi rakyat jauh tertinggal yang tentunya berpengaruh dengan kapasitas dan kualitas produksi beras mereka.
"Mereka tidak mampu memenuhi standar Bulog dan pasar retail moderen," tambahnya.