Ketahanan Pangan, Indonesia Patut Optimistis di Tengah Krisis Pangan Dunia

Indonesia patut optimistis menatap tahun 2023 yang diprediksi bakal menjadi tahun yang relatif sulit.

oleh Liputan6.com diperbarui 27 Des 2022, 16:28 WIB
Pekerja melakukan aktivitas bongkar muat beras impor di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (16/12/2022). Perum Bulog mendatangkan 5.000 ton beras impor asal Vietnam guna menambah cadangan beras pemerintah (CBP) yang akan digunakan untuk operasi pasar. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Tahun 2023 diprediksi para ekonom dan berbagai kalangan usaha sebagai tahun yang relatif sulit. Outlook ekonomi relatif buruk dengan ancaman global di depan mata, seperti eskalasi Perang Rusia-Ukraina, peningkatan tensi geo-politik dunia, inflasi, serta krisis pangan dunia.

Menurut Direktur Pelaksana IMF, Kristalina Georgieva, terdapat 48 negara terkena krisis pangan secara khusus, dari jumlah tersebut 20 negara membutuhkan bantuan khusus karena terjadi food shock untuk mengatasi darurat pangan tersebut.

Sebagai negeri agragis dan maritim, Indonesia harus menentukan langkah dan kebijakan penting dalam mengatasi krisis pangan dunia, khususnya dalam membentuk kemandirian dan kedaulatan pangan. Kebijakan terkait ketahanan pangan, dan penguatan ekonomi agraria dan maritim secara simultan, menjadi agenda khusus pemerintah ke depan khususnya di 2023.

Aji Bintara, Praktisi Strategi, Intelijen, dan Ketahanan Pangan dari Universitas Indonesia, mengatakan bahwa misi strategis Indonesia di bidang pangan harus menjadi prioritas utama para pengambil kebijakan, pelaksana pejabat daerah, pelaku usaha, dan juga investor.

"Bukan hanya soal food availability, tapi isu terkait akselerasi pemanfaatan lahan sebagai lumbung pangan kita, di mana moto 'Bumi Kita adalah Pangan Kita' menjadi pedoman filosofis yang esensial, serta isu integrasi hasil pertanian industri di bidang pangan, termasuk aspek distribusi kepada masyarakat," kata Aji usai penandatanganan Kontrak Ketahanan Pangan Produk UMKM Nasional, antara Hans Mart Indonesia yaitu mini market khusus produk ketahanan pangan dan Promosindo Group,

 


Kesamaan Visi Bersama

Secara statistik, Indonesia masih mengimpor beras (periode Januari-November 2022) sebanyak 326,5 ribu ton beras. Lalu impor gandum mencapai 11 juta ton/tahun, serta impor komoditas pangan lain seperti cabai, jagung, kedelai, dan bawang.

Artinya, Indonesia masih jauh dari falsafah berdikari terkait pangan. Hal ini menjadi catatan utama dan permasalahan strategis bangsa yang harus diperbaiki untuk menghadapi tantangan ekonomi global mendatang.

Menurut Aji, yang terpenting adalah memiliki kesamaan visi bersama, kesamaan dasar filosofis, dan implementasi blue print ketahanan dan kedaulatan pangan yang tidak terpisahkan dari perilaku dan kehidupan masyarakat sehari-hari.

"Krisis tahun 2023 sebenarnya tidak terlalu besar dampaknya terhadap perekonomian Indonesia secara menyeluruh, karena PDB kt ditopang oleh konsumsi domestik, bukan transaksi ekspor-impor. Hal yang perlu diperhatikan khusus adalah soal inflasi dan integrasi sistem pangan, utamanya hilirisasi.

Perlu visi bersama antara Kebijakan Pemerintah Presiden Jokowi, misalnya dalam membangun sentra-sentra pangan, dengan keunikan dan kebiasaan daerahnya masing-masing, dan harmonisasi dengan pola industrialisasi, di mana pabrik-pabrik besar harus mampu menyerap produk hasil pertanian sebagai salah satu sumber bahan baku yang terdiversifikasi, sehingga embedness semakin tinggi, dari petani kita untuk industri kita.

Ketika pos-pos logistik dibangun dan integrasi dilakukan, inflasi di berbagai daerah menjadi terkendali dan ekonomi berputar di sekitar rakyat dan pelaku usaha industri lokal. Sinergitas ini merupakan aspek utama pencapaian Kemandirian dan Kedaulatan Pangan."


Prinsip Kehati-hatian

Terkait potensi krisis pangan dunia yang berdampak ke Indonesia, menurut Aji, hal tersebut tidak perlu terlalu dikhawatirkan namun tetap berada dalam frame kehati-hatian, utamanya bagi pemerintah dan masyarakat petani dan industri pangan.

Karena, selain faktor risiko, Indonesia juga harus mempertimbangkan keberadaan faktor peluang di tengah krisis pangan global ini, sebagai langkah inovatif dan progresif di bidang pertanian untuk meningkatkan daya saing ekonomi lokal dan nasional.

"Hemat saya, masyarakat tidak perlu terlalu khawatir, karena prinsip back to basic, yaitu kembali berekonomi ke sektor-sektor riil, menjadi langkah crisis deterrence terbaik," katanya.

Kembali kepada filosofi Marhaenisme, kata dia, penting bagi negara hadir dalam menguatkan pelaku-pelaku sektor pertanian untuk menghasilkan kecukupan kebutuhan pangan warga negara dan surplus untuk bertransaksi secara efisien di pasar domestik. Langkah inovatif dan progresif sangat menentukan ke depan dan itu tidak bisa dilakukan secara parsial, misal petani sendiri, atau pelaku industri sendiri, melainkan secara kolaboratif seluruh stakeholders pangan.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya