Liputan6.com, Jakarta - Halimdjati atau Lin Che Wei terdakwa kasus migor menyatakan keberatan dituntut bertanggung jawab mengganti uang pemerintah yang dikeluarkan untuk program Bantuan Langsung Tunai (BLT) tahun 2022. Uang pengganti itu mencapai Rp 6.194.850.000.000, atau Rp 6,19 triliun.
Lin Che Wei yang merupakan mantan Penasihat Kebijakan/Analis pada Independent Research & Advisory Indonesia (IRAI), dan Tim Asistensi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia itu, juga menyatakan keberatannya atas penghitungan kerugian negara atas kasus korupsi CPO, yang sebagiannya dibebankan ke dirinya.
Keberatan itu disampaikan penasihat hukum Lin Che Wei, Lelyana Santosa usai persidangan kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Selasa (27/12/2022).
Menurut Lelyana metode analisis input-output yang digunakan untuk menghitung kerugian negara akibat ekspor CPO, tidaklah tepat. Pasalnya penghitungan tersebut hanya menghitung biaya yang dikeluarkan atas ekspor CPO, tanpa mempertimbangkan keuntungan pemerintah dari ekspor CPO, antara lain berupa devisa dan pajak.
Baca Juga
Advertisement
"Perhitungan kerugian negara berdasarkan ahli yang diajukan jaksa, mereka memakai suatu teori yang namanya input-output. Hanya menghitung biaya yang dikeluarkan tanpa menghitung devisa yang masuk, uang yang masuk. Misal dengan adanya ekspor, ada bea masuk, pajak," ujar Lelyana Santosa.
Menurut dia, krisis minyak goreng di Indonesia berlangsung sejak tahun 2021. Atas kondisi tersebut, pada awal 2022, Menteri Perdagangan yang saat itu dijabat Muhammad Lutfi, mengundang Lin Che Wei membantu merumuskan kebijakan Domestik Market Obligation (DMO) dan Domestik Price Obligation (DPO), sebagai syarat ekspor, untuk menstabilkan pasokan minyak goreng di dalam negeri.
Namun, setelah kebijakan tersebut diterapkan, krisis minyak goreng masih terjadi. Pemerintah akhirnya menggelontorkan bantuan untuk masyarakat melalui program BLT.
Terdakwa Lain Juga Keberatan
Terdakwa lain, yakni mantan General Manager (GM) Bagian General Affair PT Musim Mas Pierre Togar Sitanggang juga menyatakan keberatan serupa. Menurut Denny Kailimang, tim kuasa hukum Pierre tidak seharusnya kliennya ikut menanggung anggaran BLT.
Denny Kailimang menyebut program BLT adalah memberikan uang kepada kelompok masyarakat rentan, sebesar Rp 300 ribu untuk tiga bulan. Denny Kailimang menegaskan tidak mungkin masyarakat kelompok rentan membutuhkan minyak goreng senilai Rp 100 ribu satu bulannya.
"Jadi tidak mungkin Rp 100 ribu dibelikan untuk minyak goreng. Itu kan (program) untuk masyarakat miskin," tegasnya.
Dia juga mengingatkan, bahwa ekspor yang dilakukan oleh PT Musim Mas menghadirkan keuntungan untuk negara. Ekspor tersebut menurut Denny Kailimang telah menghasilkan devisa untuk negara, dan telah meningkatkan pertahanan negara dari inflasi.
Kasus yang menimpa kliennya menurut Denny Kailimang sebetulnya kasus administrasi, bukan kasus korupsi. Dia menganggap sesuai Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, permasalahan administrasi seharusnya diselesaikan melalui pencabutan izin, atau pelarangan usaha selama kurun waktu tertentu.
"Tuntutan ini berlebihan," kata dia.
Seperti diketahui, Jaksa pada Kejaksaan Agung (Kejagung) mendakwa lima terdakwa kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) merugikan negara sejumlah Rp 18.359.698.998.925 atau Rp 18,3 triliun.
Kelima terdakwa adalah Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan RI Indra Sari Wisnu Wardhana dan Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia Master Parulian Tumanggor.
Kemudian, Senior Manager Corporate Affair PT Victorindo Alam Lestari Stanley MA, General Manager (GM) Bagian General Affair PT Musim Mas Pierre Togar Sitanggang, Penasihat Kebijakan/Analis pada Independent Research & Advisory Indonesia (IRAI), dan Tim Asistensi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei
Advertisement