Liputan6.com, Jakarta Jumlah remaja Indonesia yang tidak pernah merokok sepanjang 2022 mencapai 75,17 persen, sedangkan remaja perokok aktif setiap hari mencapai 22,04 persen. Data ini berdasarkan publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) berjudul "Statistik Pemuda Indonesia 2022".
"Jika dilihat berdasarkan kebiasaan merokok, pemuda yang tidak pernah merokok ternyata cukup banyak. Sebanyak 75,17 persen, atau sekitar 3 dari 4 pemuda tidak pernah merokok," demikian keterangan yang dikutip pada Rabu (28/12/2022).
Advertisement
Sementara itu, jika dilihat berdasarkan karakteristiknya, pemuda yang merokok didominasi oleh remaja laki-laki yaitu 47,06 persen, dan remaja yang tinggal di pedesaan 27,15 persen. Berdasarkan kelompok usia tertua, remaja perokok yaitu 25-30 tahun sebesar 31,84 persen.
Dalam publikasi BPS itu juga dijabarkan, pengeluaran remaja untuk merokok didominasi dari kelas ekonomi menengah 40 persen, dan ekonomi rendah 40 persen. Sementara remaja dengan ekonomi kelas atas, pengeluaran untuk merokok hanya 20 persen.
BPS juga menuliskan, yang patut diperhatikan dalam publikasi ini, terdapat sekitar 8,92 persen remaja berusia 16-18 tahun yang merokok.
"Hal ini perlu menjadi prerhatian, karena usia 16-18 tahun merupakan usia sekolah. Selain itu, merokok pada usia awal akan memberikan banyak dampak bagi pemuda remaja baik dari aspek kesehatan, psikologis, kemampuan belajar maupun fisik pemuda."
Meski berdasarkan persentase remaja tidak merokok cukup besar, namun pemerintah terus mengupayakan agar jumlah perokok dapat ditekan. Langkah yang dilakukan adalah menaikkan cukai produk hasil tembakau, dan melarang penjualan rokok ketengan.
Pro dan Kontra
Langkah ini menuai pro dan kontrak dari kalangan masyarakat.
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi mengapresiasi langkah pemerintah yang melarang penjualan rokok ketengan. Ia engatakan larangan ini akan berdampak positif yaitu menurunkan prevalensi merokok di Indonesia khususnya di kalangan rumah tangga miskin, anak anak dan remaja.
"Ini kebijakan yang patut diapresiasi, karena merupakan salah satu cara pengendalian yang efektif untuk menurunkan prevalensi merokok di Indonesia," ujar Tulus kepada merdeka.com, Senin (26/12).
Selain itu, dampak positif atas larangan menjual rokok ketengan yaitu kenaikan cukai rokok yang telah ditetapkan pemerintah akan efektif tercapai. Mengingat, kenaikan cukai selama ini tidak cukup efektif untuk menurunkan prevalensi dan konsumsi rokok.
"Karena rokok masih dijual seacara ketengan sehingga harganya terjangkau," ujarnya.
Advertisement
Menolak
Di satu sisi, pemilik warung kelontong, Rahma, menolak rencana itu. Bagi Rahma, menjual rokok ketengan seperti memberi keringanan bagi perokok yang tak punya uang.
"Enggak setuju lah, soalnya keuangan orang itu kan tidak sama, ada yang duitnya sedikit apalagi kalau tanggal tua. Kalau dia (beli) ketengan duitnya sedikit dia bisa merokok kalau (harus beli) sebungkus, enggak jadi merokok duitnya kurang," ucap Rahma pemilik warung kelontong di Kota Bekasi, Senin (26/12).
Menurut Rahma, jika harus membeli rokok per bungkus justru malah membuat pengeluaran konsumsi lebih besar dibandingkan membeli secara ketengan.
Meski keuntungan dari penjualan rokok tidak terlalu besar, namun dia menuturkan rokok merupakan komoditas yang pasti terjual setiap hari.
"Untungnya enggak gede banget," ucapnya.
Reporter: Yunita Amalia
Sumber: Merdeka.com