Liputan6.com, Jakarta - Keterangan dalam surat sakit umumnya akan menyertakan nama, tanda tangan, hingga surat tanda registrasi (STR) milik dokter. Namun, tak dapat dimungkiri bahwa surat sakit yang dibuat sembarangan dan palsu masih banyak beredar.
Berkaitan dengan hal ini, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pun mengingatkan konsekuensi apa saja yang menanti para dokter maupun pasien jika terbukti telah melakukan penyalahgunaan surat sakit.
Advertisement
Ketua Bidang Hukum Pembinaan dan Pembelaan Anggota (BHP2A) Pengurus Besar IDI, Dr dr Beni Satria mengungkapkan bahwa setiap pasien yang datang ke dokter atau klinik biasanya wajib menunjukkan KTP atau kartu asuransinya.
"Saya punya pengalaman pasien itu tidak menunjukkan KTP. Dia hanya menyampaikan nama lengkap dengan identitas yang lain, tanggal lahir, dan alamat. Kemudian minta surat keterangan. Ternyata bukan itu pasiennya. Artinya, dia pinjam nama. Tentu ini menjadi tidak benar surat keterangannya," ujar Beni dalam media briefing ditulis Rabu, (28/12/2022).
"Kalau tidak benar (keterangannya), ini akan berdampak pada hukum. Ada ancaman pidana di Pasal 267 UU Hukum Pidana, karena surat keterangannya palsu," tambahnya.
Beni menjelaskan, dokter dan pasien yang terlibat sama-sama bisa diancam dengan hukuman pidana berupa penjara paling lama empat tahun jika terbukti membuat surat keterangan sakit yang palsu.
"Dokter yang mengeluarkan, kalau dia benar dokter, itu dia bisa diancam dengan ancaman paling tinggi empat tahun. Pasien yang menggunakan itu juga ancamannya sama, yang pakai surat palsu tadi bisa terancam empat tahun penjara," kata Beni.
Perusahaan Bisa Mengadukan Surat Sakit Palsu
Lebih lanjut Beni mengungkapkan bahwa perusahaan bisa mengadukan surat sakit palsu yang dibuat oleh karyawannya. Pengaduan tersebut bisa ditempuh lewat berbagai cara. Salah satunya bisa dilakukan pada IDI.
"Kewenangan IDI adalah pembinaan pengawasan etik. Jadi tentu dokter akan dipanggil, akan diperiksa (bila ada aduan). Kalau terbukti, maka pelanggaran etik itu terbagi menjadi pelanggaran etik ringan, sedang, dan berat," ujar Beni.
"Kalau kesimpulannya adalah etik berat, tentu ada rekomendasi pencabutan STR. Itupun sifatnya rekomendasi kepada fasilitas kesehatan dan Konsil Kedokteran Indonesia," tambahnya.
Begitupun dengan Surat Izin Praktek (SIP) dokter yang sama-sama berpotensi dicabut. Namun, SIP merupakan kewenangan pemerintah melalui dinas terpadu atau dinas kesehatan.
"Tentu kalau sudah mendapat rekomendasi dari organisasi profesi (semacam IDI), karena dia melakukan pelanggaran berat, tentu dinas kesehatan terkait akan menindaklanjuti itu agar SIP-nya dicabut," kata Beni.
Advertisement
Bagaimana Jika Masuk Kategori Pelanggaran Ringan?
Sedangkan, Beni menjelaskan bahwa bila kalau masuk dalam kategori pelanggaran etik ringan, maka akan ada serangkaian proses lagi berupa pendalaman kasus yang perlu dilakukan untuk jadi pertimbangan Majelis Kehormatan Etik.
"Kalau (dokter) yang bersangkutan dikategorikan sebagai pelanggaran ringan sesuai bukti, wawancara. Apakah sudah sering dilakukan? Apakah ini baru pertama kali? Tentu ini akan menjadi pertimbangan," ujar Beni.
"Ketidaktahuan atau tahunya seseorang yang akan menjadikan dasar Majelis Etik untuk menentukan ini ringan, sedang, atau berat. Kalau hanya pelanggaran ringan kesimpulan dari etik, ini yang nanti akan dilakukan pembinaan dari organisasi profesi dalam bentuk mengikuti seminar atau membuat tulisan terkait pelanggaran etik yang dilakukan bersangkutan," tambahnya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Pengurus Besar IDI, Dr Adib Khumaidi, SpOT yang turut hadir mengungkapkan bahwa surat sakit terutama yang diberikan secara online memang memiliki banyak konsekuensi.
Sehingga menurut Adib, penting untuk lebih dulu memastikan keanggotaan IDI, STR, maupun SIP milik dokter yang tercatat dalam surat sakit tersebut.
Keaslian Dokter dalam Surat Sakit
Memeriksakan kebenaran status dokter dapat dilakukan pada laman direktori anggota IDI. Dalam laman tersebut, Anda bisa memeriksakan STR milik dokter dengan hanya memasukkan nama.
"Itu (keaslian dokter) penting untuk dipahami. Kedua adalah apakah sesuai dengan kualifikasi dan kompetensinya? Dua hal itu menjadi satu peran yang tentunya harus diketahui dari organisasi profesi yang bisa melakukan pembinaan dan pengawasan," ujar Adib.
Selanjutnya, konsekuensi pada tempat dimana pasien bekerja. "Kepentingan untuk surat sakit itu, untuk siapa? Umpamanya ia bekerja di pemerintahan atau perusahaan, jangan sampai surat sakit itu dimanfaatkan untuk menimbulkan kerugian," tambahnya.
Sehingga Adib mengungkapkan bahwa penting untuk memperhatikan persoalan surat sakit agar tidak terjadi penyalahgunaan. Apalagi ada konsekuensi etik dan hukum yang bisa diterima dokter jikalau namanya terbukti melakukan penyalahgunaan surat sakit.
Advertisement