Liputan6.com, Aceh - Pengungsi Muslim-Rohingya kembali mendarat di Serambi Makkah. Sebanyak dua kapal berlabuh di pantai Aceh, masing-masing di Kabupaten Aceh Besar dan Pidie pada 25 dan 26 Desember.
Pengungsi di Aceh Besar sebanyak 57 orang dan semuanya laki-laki. Mereka ditempatkan di sebuah menasah milik dinas sosial provinsi.
Advertisement
Pendaratan di Pidie jauh lebih mengharukan. Beberapa foto yang dirilis oleh otoritas setempat menunjukkan para pengungsi laki-laki dan perempuan terkulai lemas di pantai setelah mencapai daratan akibat perjalanan laut yang mereka lalui.
Laporan yang beredar menerangkan tentang sulitnya akses makanan setelah para pengungsi kehabisan stok di tengah samudera. Termasuk pula laporan adanya pengungsi yang terpaksa dilarungkan ke laut karena meninggal.
Sebanyak 174 pengungsi dilansir dengan menggunakan truk dari menasah desa ke SMP 2 Muara Tiga, Senin malam, dan mulai mengisi sejumlah ruang kelas di sekolah tersebut.
Pantauan Liputan6.com di lokasi Selasa malam (27/12/2022), sejak pagi hingga malam ada sebanyak 28 orang pengungsi yang diperiksa karena fisik mereka masih lemas.
Pemeriksaan kesehatan ini ditangani oleh tenaga kesehatan dari puskesmas setempat.
Pertimbangan Kemanusiaan
Kepala Dinas Sosial Provinsi Aceh, Yusrizal mengatakan bahwa pemantauan kondisi pengungsi oleh Pemerintah Aceh akan terus dilakukan melalui relawan seperti YPSM, PSM, dan TKSK.
"Sejauh ini kami lihat kondisi para pengungsi sudah tertangani dengan baik walaupun tadi malam ada beberapa orang yang kondisi kesehatannya kurang bagus," ujar Yusrizal dalam rekaman suara untuk Liputan6.com, Rabu (28/12/2022).
Menurut Yusrizal, penanganan masa darurat untuk para pengungsi ini dilakukan atas pertimbangan rasa kemanusiaan.
"Tentu tanpa dengan proses birokrasi yang panjang," kata Yusrizal.
Salah satu kebijakan yang diambil melalui Dinas Sosial Pidie dengan cara mendirikan dapur umum. Sebuah tenda cukup besar memang terlihat berdiri di tengah halaman sekolah tempat para pengungsi.
Penanganan para pengungsi sebagian besar terbantukan dengan kehadiran organisasi kemanusiaan seperti IOM dan UNHCR. KontraS Aceh pada Selasa malam pun terlihat membagikan tikar untuk melapisi lantai marmer ruang kelas yang ditempati pengungsi.
Kendati kebutuhan masa darurat sudah terpenuhi, tantangan berikutnya ialah mencari lokasi selter yang bisa ditempati oleh pengungsi untuk waktu lebih lama. Tidak lama lagi sekolah tersebut akan segera beraktivitas karena liburan tahun baru akan segera berakhir.
"Nantinya ini tanggal 3 anak-anak sekolah akan kembali masuk," ucap Yusrizal.
Hingga Selasa malam, pihak otoritas masih belum menemukan solusi soal selter alternatif untuk pengungsi di Pidie.
Advertisement
Penanganan Berbasis Kemanusiaan dan HAM
Kepala Dinas Sosial Provinsi Aceh, Yusrizal, mengaku sudah berkoordinasi dengan Pemerintah Pidie agar segera memberi laporan secara resmi kepada Satgas Penanganan Pengungsi Luar Negeri (PPLN) di bawah Kemenko Polhukam untuk penetapan relokasi bagi pengungsi.
"Jadi, para pengungsi ini hendaknya dapat segera ditempatkan pada penampungan yang prinsipinya lebih layak, lebih tepat yang memang dimaksudkan untuk penampungan sementara," harap Yusrizal.
Hal ini, kata Yusrizal lagi, juga berlaku untuk lokasi penampungan 57 pengungsi di Ladong, Aceh Besar. Artinya, kedua tempat penampungan itu hanya bersifat sebagai lokasi penampungan dengan pertimbangan darurat sebelum direlokasi.
"Idealnya ini juga segera ada kejelasan di mana penempatan berikutnya," ia menyudahi.
Isu pengungsi Muslim-Rohingya di Aceh mendapat perhatian dari jaringan masyarakat sipil pemerhati isu pengungsi dan pencari suaka di Indonesia.
Selain mengapreasi, jaringan yang terdiri dari Amnesty International Indonesia, Dompet Dhuafa, KontraS Aceh, SUAKA, dan Yayasan Geutanyoe, memberi sejumlah catatan.
Antara lain, perlunya kebijakan oleh pemerintah pusat mengenai penempatan pengungsi di Aceh. Termasuk pula koordinasi dan dukungan terhadap pemerintah daerah dalam penanganan pengungsi.
Serta kewajiban-kewajiban hukum berdasarkan Perpres Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri.
Jaringan masyarakat sipil secara khusus juga menekankan perlunya jaminan atas kebutuhan dasar para pengungsi berbasiskan kemanusiaan dan HAM.
Ini mengingat kerentanan pengungsi dengan komposisi perempuan dan anak-anak dalam jumlah besar.
Jaringan ini juga meminta agar Satuan Tugas Penanganan Pengungsi Luar Negeri (PPLN) di wilayah Aceh segera dibentuk.