Liputan6.com, Moskow - Pemerintah Rusia mulai mengakui bahwa negaranya sedang kesulitan masalah finansial. Anggaran Rusia tahun depan dipastikan defisit.
Masalah finansial yang dialami Rusia diungkap langsung oleh Deputi Pertama Perdana Menteri Rusia, Andrey Belousov.
Baca Juga
Advertisement
"Tahun depan akan sulit bagi kita dalam hal keuangan," ujar Belousov, dikutip media pemerintah TASS, Rabu (28/12/2022).
"Kita menyiapkan anggaran defisit untuk tahun depan; kami paham jumlah pinjaman. Semuanya telah disetujui dengan Bank Rusia," lanjutnya.
Belousov berkata kerangka keuangan Rusia memiliki format yang ketat. Alhasil, Rusia akan melakukan prioritasi yang ketat terhadap pengeluaran dan proyek-proyek.
Kesulitan finansial ini terjadi di tengah invasi ke Ukraina dan berbagai gelombang sanksi dari Barat. Baru-baru ini, ada juga kebijakan price cap ke minyak Rusia.
Pertumbuhan ekonomi Rusia juga diprediksi masih melemah tahun depan. Tahun depan, pertumbuhan Rusia diprediksi tak akan mencapai 3 persen, melainkan justru minus satu persen ketimbang pertumbuhan tahun ini. Padahal, pertumbuhan mencapai 4,8 persen pada 2021.
"Tentunya 3 persen tidak akan tercapai tahun ini. Itu pasti lebih rendah. Saya pikir akan sekitar nol. Prediksi kita pertumbuhan adalah minus satu persen, mungkin sedikit lebih rendah. Seperti 1-0 persen," ujar Belousov.
Kementerian Pertumbuhan Ekonomi Rusia memprediksi bahwa GDP Rusia tumbuh 2,9 persen tahun ini, kemudian turun menjadi 0,8 persen pada 2023, sebelum naik lagi pada 2024.
Belousov berkata ekonomi tahun 2023 bisa lebih baik apabila "tidak ada yang terjadi". Meski demikian, akhir dari invasi Ukraina dan sanksi ekonomi masih belum menemukan titik terang.
Uni Eropa juga mencatat penurunan GDP pada 2022-2023, namun mereka masih terus jor-joran memberikan dana ke Ukraina.
Vladimir Putin Harap Perang di Ukraina Berakhir
Sejak Februari 2022, Rusia masih belum kunjung berhasil mengalahkan Ukraina. Presiden Rusia Vladimir Putin kini membuka kemungkinan perdamaian.
"Kita akan mencari cara agar semua ini berakhir, dan tentunya lebih cepat lebih baik," ujar Presiden Vladimir Putin, dikutip media pemerintah Rusia TASS, Jumat (23/12).
Komentar Presiden Putin itu dibuat saat Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky sedang mengunjungi Amerika Serikat. Ukraina akan dikirimkan misil Patriot oleh AS.
Presiden Putin lantas mengatakan bahwa jika ketegangan semakin intens, maka akan ada kerugian yang tak diinginkan.
Pemerintah Rusia belakangan ini juga menyebut Ukraina telah dibantu oleh NATO, dan Rusia memakai istilah adanya perang proxy. Duta Besar Rusia di Jakarta, Lyudmila Vorobieva, juga mengatakan bahwa Ukraina bisa bertahan karena dibantu peralatan oleh negara-negara NATO.
Keadaan ekonomi Rusia tahun ini juga tidak menunjukkan tanda-tanda positif, meski Presiden Putin menampilkan sikap optimis. Putin menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Rusia pada 2022 menyusut hingga 2,5 persen saja.
Vladimir Putin bersyukur karena jatuhnya tidak sampai 20 persen.
"Keruntuhan ekonomi yang diprediksi tidak terjadi. Ya, kita ada penurunan," ujar Putin. "GDP berkurang tetapi 2,5 persen dan tidak 20 persen atau 25 persen," ujarnya.
Presiden Rusia juga terus mengkritik kebijakan price cap harga minyak yang dipromosikan oleh negara-negara G7. Namun, ia berkata itu tidak akan berpengaruh pada Rusia. Sementara, Dubes Lyudmila menyebut negaranya tak mau menjual minyak dengan price cap.
Advertisement
Ekonomi Global Belum Tentu Pulih Jika Perang Rusia-Ukraina Berakhir
Awan gelap ekonomi global masih akan menghantui dunia tahun depan. Kondisi ini salah satunya diakibatkan perang Rusia-Ukraina yang belum juga berakhir.
Ekonom Senior INDEF, Muhammad Nawir Messi mengingatkan berakhirnya perang tidak otomatis kondisi ekonomi global segera membaik. Mengingat ada sanksi ekonomi yang perlu dipastikan harus juga berakhir.
"Tapi kita jangan lupa perang berakhir belum tentu sanksi ekonomi berakhir. Ini belum tentu," kata Nawir dalam diskusi INDEF: Efek Resesi Global terhadap Ekonomi Politik Indonesia 2023 di ITS Tower, Jakarta Selatan, Rabu (14/12).
Nawir menjelaskan aspek sanksi ekonomi juga harus juga berakhir agar kondisi ekonomi bisa ikut berangsur pulih. Tanpa hal tersebut, gangguan rantai pasok yang sekarang terjadi masih bisa terus berlanjut.
"Perdamaian itu tidak otomatis diikuti dengan hambatan-hambatan suplai chain akan membaik ketika perang ini berakhir," kata dia.
Sehingga tingginya inflasi masih akan terjadi jika gangguan rantai pasok terus berlanjut. "Jadi itu sebuah masalah yang lain dalam menangani inflasi," kata dia.
Sri Mulyani Harus Bagaimana?
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan ada risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2023. Menkeu pun mengingatkan tantangan ekonomi RI di 2023 mendatang semakin berat.
"Tahun depan (2023), target penerimaan perpajakan sebesar Rp 1.718 Triliun- target yang dihitung dengan sangat berhati-hati dan mempertimbangkan koreksi harga komoditas dan juga perlambatan pertumbuhan perekonomian di angka 4.7 persen. Ini sebuah tantangan bagi @ditjenpajakri," tulis Sri Mulyani di Instagram, dikutip Selasa (27/12).
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan bahwa dengan adanya sinyal perlambatan pertumbuhan ekonomi, konsekuensinya ada di asumsi APBN 2023.
“Dengan pertumbuhan 5,3 persen itu harus dirombak total. Karena APBN bisa menjadi tidak relevan di tengah situasi ekonomi yang menunjukkan perlambatan” kata Bhima kepada Liputan6.com pada Selasa (27/12).
Kedua, dia menyarankan, pemerintah perlu dengan segera menyiapkan paket kebijakan ekonomi menjelang 2023.
"Segera keluarkan paket kebijakan ekonomi yang berkaitan dengan stimulus misalnya, baik fiskal maupun non fiskal dengan target menyelematkan - agar tidak terjadi bencana PHK massal" jelasnya.
Antisipasi pada PHK massal itu diperlukan terutama di sektor-sektor yang akan terimbas dari resesi global.
"Sehingga dunia usaha juga dibantu, dan pada kuartal pertama 2023, stimulus-stimulus tadi harus bisa dicairkan" ujarnya.
Advertisement