Liputan6.com, New York - Lonjakan kasus COVID-19 di China membuat pejabat kesehatan federal Amerika Serikat mengambil langkah pencegahan penularan lebih lanjut, dengan mengumumkan bahwa hampir semua penumpang pesawat udara dari negara tersebut harus menunjukkan bukti hasil negatif tes COVID-19 jika hendak memasuki wilayah AS.
Aturan itu mulai berlaku 5 Januari 2023. Pengecualian hanya diberlakukan pada penumpang berusia di bawah dua tahun.
Advertisement
Langkah yang diambil AS itu menyusul kebijakan serupa yang telah diberlakukan oleh India, Italia, Jepang dan Taiwan.
"AS mengambil langkah proaktif guna melindungi kesehatan masyarakat Amerika dan waspada terhadap potensi munculnya varian COVID-19," kata pejabat kesehatan federal seperti dikutip dari VOA Indonesia, Kamis (29/12/2022).
Pada kesempatan tersebut, pejabat kesehatan federal juga menyebutkan bahwa pemerintah China tidak memiliki dan transparan dalam menyajikan data terkait Virus Corona COVID-19.
"Ada gambaran terbatas tentang data urutan genomic, tentang varian yang terdapat di China dalam basis data global. Selain itu pengujian dan pelaporan kasus baru juga berkurang. Berdasarkan absennya data ini, semakin sulit bagi kami untuk mengidentifikasi varian baru yang menyebar ke AS," demikian kilah pejabat itu ketika berbicara pada wartawan pada Rabu 28 Desember.
Pejabat tersebut berbicara dengan syarat anonim.
Pembatasan tersebut akan berlaku untuk individu yang melakukan perjalanan dari wilayah China daratan, Hong Kong, dan Makau, termasuk mereka yang akan transit sebelum menuju ke tempat lain.
Warga China Buru-Buru Rencanakan Bepergian
Sebelumnya dilaporkan, masyarakat China yang terputus dari seluruh dunia selama tiga tahun oleh pembatasan COVID-19, berbondong-bondong ke tempat-tempat perjalanan pada Selasa (27 Desember) menjelang pembukaan kembali perbatasan, bahkan ketika infeksi yang meningkat membebani sistem kesehatan dan mengguncang perekonomian.
Dilansir Channel News Asia, Rabu (28/12), langkah-langkah zero COVID - dari perbatasan yang ditutup hingga lockdown berkepanjangan - telah menghancurkan ekonomi China sejak awal 2020, bulan lalu memicu ketidakpuasan publik terbesar di daratan sejak Presiden Xi Jinping mengambil alih kekuasaan pada 2012.
Perubahan kebijakannya pada bulan ini berarti virus sekarang menyebar sebagian besar tidak terkendali di seluruh negara berpenduduk 1,4 miliar orang.
Namun, statistik resmi menunjukkan hanya satu kematian akibat COVID-19 dalam tujuh hari terakhir hingga Senin, memicu keraguan di antara pakar kesehatan dan penduduk tentang data pemerintah. Angka-angka tersebut tidak konsisten dengan pengalaman negara-negara yang jauh lebih sedikit penduduknya setelah dibuka kembali.
Dokter mengatakan rumah sakit kewalahan dengan pasien lima sampai enam kali lebih banyak dari biasanya, kebanyakan dari mereka sudah lanjut usia.
Pakar kesehatan internasional memperkirakan jutaan infeksi setiap hari dan memperkirakan setidaknya 1 juta kematian akibat COVID-19 di China tahun depan.
Advertisement
Warga China Bersiap Liburan Imlek ke Luar Negeri Usai Aturan Buat Paspor Kembali Dibuka
Selain itu, pemerintah China mengatakan akan kembali mengeluarkan aturan pembuatan paspor agar warga China bisa liburan Tahun Baru Imlek bulan depan.
Dikutip dari laman NST.com.my, Rabu (28/12/2022), hal ini memungkinkan wisatawan China bisa bebas berwisata dan berbelanja ke negara lain seperti kawasan Asia dan Eropa.
Namun, juga menimbulkan bahaya bagi wisatawan yang mungkin bisa menyebarkan COVID-19 karena kasus di negara tersebut sedang melonjak.
China berhenti mengeluarkan paspor pada awal pandemi COVID-19 pada awal 2020, sebagai bagian dari kontrol anti-virus paling ketat di dunia dan mencoba memblokir pelajar, pebisnis, dan pelancong lain untuk pergi ke luar negeri.
Perjalanan turis ke China ditutup. Pengusaha dan warga tertentu diizinkan masuk namun lewat masa karantina hingga satu minggu.
Administrasi Imigrasi Nasional China mengatakan akan mulai menerima aplikasi pembuatan paspor pada 8 Januari untuk paspor biasa untuk pariwisata.
Pemerintah juga telah mencabut atau melonggarkan sebagian besar masa karantina, pengujian, dan aturan lain di China, bergabung dengan Amerika Serikat, Jepang, dan pemerintah lain dalam upaya hidup dengan virus alih-alih menghentikan penularan.
Jepang dan India menanggapi lonjakan infeksi di China dengan mewajibkan tes virus untuk pelancong dari negara tersebut.