Orang Kaya Bayar KRL Lebih Mahal, Wapres: Idenya Sudah Betul, Diuji Coba Dulu

Wakil Presiden Ma'ruf Amin menyebut penerapan tarif KRL Commuter Line untuk masyarakat golongan ekonomi mampu perlu dilakukan uji coba lebih dulu.

oleh Maulandy Rizki Bayu Kencana diperbarui 29 Des 2022, 14:50 WIB
Kepadatan calon penumpang kereta Commuter Line (KRL) di Stasiun Tanah Abang, Jakarta, Rabu (12/1/2022). Wakil Presiden Ma'ruf Amin menyebut penerapan tarif KRL Commuter Line untuk masyarakat golongan ekonomi mampu perlu dilakukan uji coba lebih dulu. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta Wakil Presiden Ma'ruf Amin menyebut penerapan tarif KRL Commuter Line untuk masyarakat golongan ekonomi mampu perlu dilakukan uji coba lebih dulu.

"Implementasinya seperti apa, mungkin perlu diuji coba dulu seperti apa hasilnya, bagaimana kekurangan-kekurangannya, sebab satu ide yang baik itu kadang-kadang juga perlu dicoba implementasinya dipaskan sehingga nanti ada hal-hal yang perlu diperbaiki," kata Wapres Ma'ruf Amin di Istana Wapres dikutip dari Antara, Kamis 29/12/2022).

Diketahui Menteri Perhubungan Budi Karya mengatakan agar subsidi tepat sasaran, diperlukan skema yang tepat. Caranya adalah dengan menerbitkan kartu baru yang diterbitkan untuk membedakan profil penumpang KRL termasuk penerapan harga tiket KRL akan dinaikkan khusus untuk masyarakat yang ekonominya tergolong mampu.

Selama ini tarif penumpang KRL masih disubsidi oleh pemerintah. PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) atau KAI Commuter mencatat pada 2021 realisasi subsidi tarif pengguna KRL dalam bentuk Public Service Obligation (PSO) mencapai Rp2,14 triliun.

"Karena ini suatu ide yang ingin diterapkan dalam rangka 'cross subsidy', pemerintah akan melakukan uji coba terlebih dahulu," ungkap Wapres.

Wapres pun menyambut ide Menhub Budi Karya Sumadi tersebut agar terjadi subsidi silang.

"Idenya kan memang baik supaya yang kuat itu menolong yang lemah dan memang pembebanan itu supaya juga disesuaikan dengan daya pikulnya, istilahnya 'cross subsidi', yang kuat membantu yang lemah, itu idenya sudah betul," tambah Wapres.

Dirjen Perkeretaapian Kemenhub Risal Wasal menjelaskan penumpang dengan kategori mampu akan membayar sesuai dengan harga asli KRL. Artinya maka tarif untuk penumpang mampu bisa mencapai Rp10-15 ribu.

Namun Kemenhub masih menimbang-nimbang data apa yang akan menjadi dasar pembeda antarpenumpang karena akan menggunakan data Kementerian Dalam Negeri ataupun Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) Kementerian Sosial.

 


Subsidi KRL Tak Tepat Sasaran, YLKI: Kalau Subsidi Mobil Listrik Disebut Apa?

Rangkaian KRL Commuter Line berhenti di Stasiun Bogor, Jawa Barat, Senin (24/10/2022). Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan (Kemenhub) berkoordinasi dengan Pemkot Bogor terkait rencana pembangunan sky bridge yang menghubungkan Stasiun Bogor, Stasiun Paledang, dan Alun-Alun Kota Bogor. (Liputan6.com/Magang/Aida Nuralifa)

Pemerintah kini tengah menggodok dua aturan di sektor transportasi terkait pemberian subsidi atau intensif, yakni tarif KRL Commuter Line yang rencananya akan dibedakan atas dasar status sosial ekonomi penumpang, serta subsidi pembelian mobil listrik dengan nominal terbesar Rp 80 juta.

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, menilai kedua kebijakan itu punya urgensi yang berbeda. Dia lantas lebih memilih agar regulasi terkait moda angkutan umum dikedepankan ketimbang untuk transportasi pribadi.

"Subsidi untuk angkutan umum, apalagi angkutan umum masal seperti KRL, itu subsidi yang paling tepat sasaran," ujar Tulus dikutip dari unggahan pribadinya, Kamis (29/12/2022).

Dia lalu menyoroti opini atas wacana pembedaan tarif KRL antara kelompok atas dan bawah, yang dinilai sebagai ide absurd. Terlebih kini pemerintah malah ingin memberikan subsidi mobil listrik.

"Laah, kalau subsidi pada tarif KRL dibilang tidak tepat sasaran, lalu mau disebut apa subsidi Rp 80 juta pada pengguna mobil listrik??" ungkapnya.

Menurut dia, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) seharusnya berterima kasih kepada masyarakat kelas menengah yang mau meninggalkan mobilnya. Untuk kemudian memilih menggunakan transportasi publik semisal KRL maupun Trans Jakarta.

"Yang artinya, mereka telah berkontribusi mengurangi kemacetan, polusi, risiko kecelakaan lalu lintas, dan bahkan mengurangi subsidi BBM itu sendiri," pungkas Tulus.


Naik KRL yang Sama, Kok Si Kaya Bayar Lebih Mahal?

Sejumlah penumpang naik kereta rel listrik (KRL) di Stasiun Manggarai, Jakarta, Kamis (19/5/2022). Penambahan kapasitas penumpang KRL menjadi 80 persen dibuat menyesuaikan aturan terbaru Surat Edaran (SE) Kementerian Perhubungan Nomor 57 Tahun 2022 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perjalanan Orang dalam Negeri dengan Transportasi Perkeretaapian pada Masa Pandemi COVID-19. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Agus Suyatno, menyoroti rencana pemberian subsidi tarif KRL Commuter Line di 2023. Ia mengaku tak habis pikir bila orang kaya harus bayar tarif KRL lebih mahal dari kelompok tak mampu, padahal mereka berada di satu moda dengan kelas yang sama.

"Jika dalam satu layanan kelas yang sama namun konsumen harus membayar berbeda, tentu kebijakan tidak implementatif dan cenderung menggelikan," ujar Agus dalam pesan tertulis, Kamis (29/12/2022).

Menurut dia, konsumen angkutan umum dianggap berhasil justru ketika kelompok menengah atas meninggalkan kendaraan pribadi, dan beralih ke public transport.

"Dengan demikian justru harusnya mendapat insentif, alih-alih didiskriminasi," imbuhnya.

Agus lantas menyebut dua alasan mengapa subsidi tarif KRL perlu ditolak. Selain diskriminatif, ia mempertanyakan, bagaimana akan memisahkan antara konsumen mampu dengan yang tidak mampu.

"Basis data apa yang dipakai dalam menentukan kategori konsumen mampu dan tidak mampu?" tanyanya.

Kedua, Agus mewaspadai adanya potensi terjadi gesekan, bahkan chaos di lapangan antara petugas KRL dan konsumen.

"Jadi pemisahan tarif layanan kelas yang sama dengan dasar perbedaan mampu/tidak mampu patut ditolak," tegasnya.

Sebagai solusi, ia menawarkan alternatif pilihan kebijakan untuk merespon peningkatan biaya operasional PT Kereta Commuter Indonesia, atau PT KCI. Pemerintah disebutnya bisa menambah subsidi untuk kewajiban pelayanan publik (PSO), dan menaikan tarif.

"PT KCI juga bisa mengoptimalisasi pendapatan non operasional/penjualan tiket, atau optimalisasi aset properti dan lain-lain," kata Agus. 


Tarif KRL Buat Orang Kaya Bakal Lebih Mahal di 2023, Jangan Kaget!

Menhub Budi Karya Sumadi memantau pergerakan penumpang pada KRL Jabodetabek di Stasiun Manggarai, Jakarta pada hari kedua Lebaran, Jumat (14/5/2021). Dok: Maulandy R/Liputan6.com

Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi memastikan, tarif KRL Commuter Line tidak akan mengalami kenaikan pada 2023 mendatang. Namun, pemerintah merancang skenario subsidi untuk tarif KRL 2023, dimana orang kaya bakal membayar lebih tinggi untuk mensubsidi golongan tak mampu.

Menhub menyampaikan, tarif KRL nantinya akan mengalami perubahan sistem lewat skema subsidi tepat guna via tiket kartu.

"Kalau KRL enggak naik, Insya Allah 2023 tidak naik. Tapi, nanti pakai kartu, yang kemampuan finansialnya tinggi harus bayar lain. Average, sampai 2023 enggak naik," ujar Menhub Budi Karya Sumadi di Jakarta, dikutip Rabu (28/12/2022).

Menimpali pernyataan Menhub, Direktur Jenderal Perkeretaapian Kemenhub Mohamad Risal Wasal menjelaskan, pembayaran tarif KRL via kartu ini nantinya akan diterapkan lewat skema subsidi terbatas.

"Subsidi tepat guna. Artinya tidak naik, tapi nanti kita pakai data Kemendagri. Yang kaya ya bayar sesuai aslinya, yang kurang mampu itu nanti dapat subsidi," kata Risal.

"Kalimatnya (tarif KRL) tidak naik, tapi subsidi tepat sasaran," tegas dia.

Kendati begitu, pihaknya masih memilah data apa yang bakal jadi dasar pembeda tarif KRL antar penumpang. Ia menyebut beberapa opsi data, seperti dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) atau Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) Kementerian Sosial.

Risal berharap, skema baru bayar tarif KRL ini bisa diterapkan secepatnya. Namun, Kemenhub perlu berkolaborasi dengan Kemendagri untuk mencari data mana-mana saja penumpang yang berkategori kurang mampu.

"Kuartal kedua kali ya kita upayakan. Paling lambat di pertengahan tahun (2023). Tapi kalau bisa dipercepat, kita percepat," pungkas Risal. 

Infografis Journal: Jumlah Penumpang KRL di Jabodetabek Tahun 2010-2021 (Liputan6.com/Trie Yasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya