Liputan6.com, Bali Menyongsong tahun 2023, perkembangan COVID-19 di Indonesia semakin terkendali dengan sejumlah indikator mengalami penurunan, baik kasus harian, kasus aktif, angka kematian maupun positivity rate. Hal ini menunjukkan penanganan COVID-19 berjalan baik walau virus Corona baru terus bermunculan seperti XBB dan BN.1.
Seiring dengan pelandaian kasus COVID-19, Pemerintah sedang mempertimbangkan untuk penghentian Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Bahkan momentum Natal 2022 dan Tahun Baru 2023 (Nataru), Pemerintah tidak memberlakuan pembatasan khusus meski diperkirakan hampir 45 juta penduduk akan melakukan perjalanan.
Advertisement
Kondisi COVID-19 nasional yang kian menggembirakan memunculkan pertanyaan, ‘Bolehkah status darurat COVID-19 di Indonesia dicabut?’ Hal ini mengingat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) belum mencabut Status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Global (Public Health Emergency International Concern/PHEIC) COVID-19.
Mantan Direktur WHO Asia Tenggara Tjandra Yoga Aditama mengatakan, ‘sah-sah’ saja bila status darurat COVID-19 di Indonesia dicabut lebih dulu. Menurutnya, status darurat COVID-19 di Indonesia termasuk ‘teritorial’ negara sehingga keputusan pencabutan boleh dilakukan, tanpa harus menunggu WHO mencabut PHEIC.
Seperti diketahui, Indonesia memiliki dua status darurat COVID-19 yang tertuang melalui Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia. Pertama, Status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) tertanggal 31 Maret 2020. Kedua, Status Bencana Non-Alam sebagai Bencana Nasional yang diteken tanggal 13 April 2020.
“Enggak usah nunggu kalau kita mau ubah itu (status darurat di negara sendiri) menjadi hilang (dicabut) itu boleh aja. Enggak ada yang melarang. Enggak ada disebutkan harus nunggu PHEIC dicabut dulu, enggak ada aturannya juga,” jelas Tjandra Yoga saat berbincang dengan Health Liputan6.com di Hotel Conrad Bali, Nusa Dua Bali, ditulis Kamis (29/12/2022).
Adapun penetapan COVID-19 oleh WHO sebagai PHEIC pada 30 Januari 2020. Penetapan tersebut berdasarkan kajian dari laporan 31 Desember 2019 yang diterima WHO terkait peringatan munculnya beberapa kasus pneumonia misterius di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Tiongkok. Kasus tersebut berasal dari virus yang belum teridentifikasi dan belum diketahui cara penularan atau penyebarannya.
WHO Tidak Mengatur Negara
Tjandra Yoga Aditama membeberkan, WHO tidak bisa memaksa atau mengatur terkait kebijakan masing-masing negara. Tugas WHO adalah mendukung kerja tiap Negara Anggota serta memberikan rekomendasi atau keputusan sesuai bukti ilmiah berkaitan dengan permasalahan kesehatan dari laporan yang masuk.
“Kita pikir selama ini WHO yang mengatur (kebijakan negara juga), itu enggak boleh justru. Tugas WHO adalah mendukung program kerja Negara, dia tidak mengatur negara,” ungkapnya.
“Jadi yang dia bisa lakukan adalah (menindaklanjuti) bukti ilmiah yang ada ini, kemudian ditindaklanjuti, dibahas oleh tim pakar di WHO.”
Semasa menjabat di WHO Asia Tenggara dari 2018 - 2020, Tjandra Yoga menuturkan ketika terjadi permasalahan kesehatan atau peringatan penyakit yang dimungkinkan outbreak (wabah), WHO akan berdiskusi dengan pakar-pakar dari seluruh dunia.
“Apalagi kalau ada masalah yang sulit gitu, pengalaman saya waktu di WHO, ya tinggal panggil pakar sedunia untuk mendiskusikannya. Kemudian hasilnya disampaikan ke Dirjen WHO,” tuturnya.
“Tinggal dikumpulkan para pakar dan hasilnya (yang didiskusikan) biasanya akurat. Jadi apa yang disodorkan kepada dunia itu biasanya akurat.”
Hasil diskusi dari pakar dunia tersebut juga disampaikan kepada Negara Anggota. Namun, dalam pelaksanaan di lapangan, negara berhak memutuskan, apakah akan mengikuti rekomendasi WHO atau tidak. Hal ini juga berdasarkan pertimbangan masing-masing negara.
“Tapi kalau negara enggak mau pakai (rekomendasi), itu hak negara sepenuhnya baik negara yang gede maupun kecil. Misalnya, WHO bilang pengobatan tuh harus begini, begini, dan begini,” pungkas Tjandra Yoga.
“Nah, kalau negara enggak mau pakai cara pengobatannya, ya enggak apa-apa. Enggak bisa dihukum juga negara yang enggak mau pakai obat itu.”
Advertisement
Tak Akan Buru-buru Cabut Status Darurat
Pada konferensi pers beberapa waktu silam, Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito mengungkapkan waktu tepat Pemerintah mencabut status kegawatdaruratan COVID-19 di Indonesia. Keputusan itu akan mempertimbangkan sejumlah aspek.
“Pemerintah akan mencabut status kegawatdaruratan apabila kondisi nasional dan dunia membaik,” katanya menjawab pertanyaan Health Liputan6.com di Media Center COVID-19, Graha BNPB, Jakarta pada Kamis, 27 Oktober 2022.
Situasi pandemi COVID-19 masih dinamis. Sejumlah negara tengah mengalami lonjakan COVID-19 seperti Tiongkok, bahkan di Amerika dan Eropa yang mulai memasuki musim dingin juga dikhawatirkan kasus akan melonjak.
Pemerintah juga tidak akan buru-buru mencabut status kegawatdaruratan COVID-19. Seluruh kebijakan akan dilakukan dengan hati-hati dan perencanaan yang matang.
“Kondisi yang masih dinamis ini harus kita cermati bersama,” tegas Wiku.
Sementara itu, Juru Bicara Satgas COVID-19 Reisa Broto Asmoro menekankan, saat ini status pandemi COVID-19 masih berlangsung. Hal tersebut berdasarkan pernyataan WHO.
"Hingga saat ini, status pandemi COVID-19 dinyatakan masih terus berlangsung oleh WHO," ujarnya di Kantor Sekretariat Presiden RI Jakarta, Kamis (27/10/2022).
"Hal ini dikarenakan masih banyaknya negara ditemukan infeksi COVID-19 termasuk Indonesia. Bahkan ada 24 negara yang sedang mengalami kenaikan jumlah kasus beberapa waktu belakangan ini.”
Kenaikan kasus COVID-19 pun sering dikaitkan dengan penyebaran varian Corona baru, yaini varian XBB atau BA.2.10. Varian terbaru ini merupakan mutasi dari sub varian BA.2 Omicron. Varian itu pertama kali diidentifikasi pada Agustus 2022.
"Dan merupakan salah satu dari beberapa sub varian utama yang telah berevolusi dari varian dasar Omicron. Seperti kita ketahui bersama, bahwa virus Corona ini cenderung terus bermutasi," lanjut Reisa.
"Negara kita sudah pernah mengalami lonjakan kasus setelah munculnya varian Alpha, varian Delta lalu varian Omicron. Oleh karena itu, kita harus waspada, apalagi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah mengumumkan bahwa varian XBB sudah masuk dan ditemukan di Indonesia.”
Status Darurat COVID-19 WHO Masih Berlangsung
Dirjen WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus menegaskan, Status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Global (Public Health Emergency International Concern/PHEIC) COVID-19 masih berlangsung.
“Untuk COVID-19. Pekan lalu, Emergency Committee COVID-19 bertemu untuk membahas situasi global dan langkah ke depan. Pandangan mereka adalah bahwa COVID-19 tetap menjadi darurat kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian internasional, dan saya setuju,” tegasnya saat membuka media briefing pada Rabu, 19 Oktober 2022.
“Emergency Committee menekankan, perlunya memperkuat pengawasan dan memperluas akses ke tes, perawatan dan vaksin bagi mereka yang paling berisiko, dan bagi semua negara untuk memperbarui rencana kesiapsiagaan dan respons nasional mereka.”
Situasi COVID-19 global memang membaik, namun masih banyak ketidakpastian yang terjadi dengan adanya mutasi virus SARS-COV-2.
“Sementara situasi global jelas membaik sejak pandemi dimulai, virus terus berubah, dan masih ada banyak risiko dan ketidakpastian. Pandemi ini telah mengejutkan kita sebelumnya dan sangat mungkin terjadi lagi,” sambung Tedros.
Menuju akhir tahun 2022, Tedros memaparkan, perkembangan terkini status darurat kesehatan dari beberapa penyakit. Angka kasus COVID-19 telah menurun secara signifikan tahun ini, wabah cacar monyet global berkurang, dan tidak ada kasus Ebola di Uganda selama lebih dari tiga minggu.
“Kami berharap setiap keadaan darurat ini akan berbeda di tahun depan. Tentunya, kita berada di tempat yang jauh lebih baik dengan pandemi daripada tahun lalu ketika kita berada di tahap awal gelombang Omicron dengan kasus dan kematian yang meningkat pesat,” paparnya saat konferensi pers ‘Global Health Issues’ pada Rabu, 21 Desember 2022.
“Tetapi sejak puncaknya pada akhir Januari 2022, jumlah kematian akibat COVID-19 yang dilaporkan setiap minggu telah turun hampir 90 persen.”
Walau begitu, Tedros menekankan, masih terlalu banyak ketidakpastian untuk menyatakan ‘pandemi sudah berakhir.’ Kesenjangan dalam pengawasan, pengujian, dan pengurutan berujung pada ketidakcukupan informasi untuk memahami bagaimana virus Corona berubah.
Apalagi problem kesenjangan vaksinasi COVID-19 membuat jutaan orang, terutama petugas kesehatan dan lansia tetap berisiko tinggi terhadap infeksi penyakit parah dan kematian. Kesenjangan dalam pengobatan berarti orang meninggal sia-sia.
“Kesenjangan dalam sistem kesehatan membuat mereka tidak mampu mengatasi lonjakan pasien COVID-19, flu, dan penyakit lainnya. Kesenjangan dalam pemahaman kita tentang kondisi pasca-COVID-19 berarti kita tidak memahami cara terbaik untuk merawat orang yang menderita akibat infeksi jangka panjang,” terang Tedros.
Advertisement
Soroti Lonjakan COVID-19 di Tiongkok
Saat ini, kasus COVID-19 di Tiongkok yang kembali melonjak turut menjadi sorotan WHO. Tedros Adhanom Ghebreyesus terus meminta Tiongkok untuk membagikan data dan melakukan studi.
“Seperti yang telah saya katakan berkali-kali sebelumnya, semua hipotesis tentang asal mula pandemi ini tetap ada. Pada saat yang sama, WHO sangat prihatin dengan perkembangan situasi di China dengan meningkatnya laporan penyakit parah,” terangnya.
“Untuk membuat penilaian risiko yang komprehensif terhadap situasi di lapangan, WHO membutuhkan informasi yang lebih mendetail tentang tingkat keparahan penyakit, penerimaan rumah sakit, dan kebutuhan dukungan ruangan ICU.”
WHO mendukung Tiongkok untuk memfokuskan upaya dalam memvaksinasi orang dengan risiko tertinggi di seluruh negeri. WHO terus menawarkan dukungan untuk perawatan klinis dan melindungi sistem kesehatan di sana.
Pada konferensi pers akhir tahun 2021, Tedros menuturkan bahwa pada tahun 2022, dunia harus belajar dari pandemi. Pada tahun 2022, dunia telah mengambil langkah nyata untuk membuat perubahan yang diperlukan agar generasi mendatang lebih aman.
Dana pandemi baru telah dibuat. Negara-negara telah berkomitmen untuk menegosiasikan kesepakatan yang mengikat secara hukum tentang kesiapsiagaan dan respons pandemi.
“Dan kami mendirikan mRNA Technology Transfer Hub di Afrika Selatan untuk memberikan pengetahuan kepada negara-negara berpenghasilan rendah dan rendah atau menengah untuk memproduksi vaksin mRNA mereka sendiri dengan cepat dan seterusnya,” tuturnya.
“Meskipun jumlah kasus dan kematian akibat COVID-19 yang dilaporkan setiap minggu menurun sepanjang tahun ini, kami menghadapi banyak keadaan darurat lainnya.”
Pada bulan Juli 2022, WHO menyatakan darurat kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian internasional atas wabah global cacar monyet, yang dikenal sebagai Mpox. Lebih dari 83.000 kasus telah dilaporkan dari 110 negara, walau angka kematian tetap rendah dengan 66 kematian.
“Seperti COVID-19, jumlah kasus Mpox yang dilaporkan setiap minggu telah menurun lebih dari 90 persen dari puncaknya. Jika tren saat ini berlanjut, kami berharap tahun depan kami juga dapat mengumumkan berakhirnya keadaan darurat ini,” tutup Tedros.