Nyaris Separuh Penumpang 2 Pesawat Penerbangan China ke Italia Positif COVID-19

Temuan baru, hampir setengah dari penumpang pada dua penerbangan terpisah minggu ini dari China ke Milan, Italia dinyatakan positif COVID-19.

oleh Tanti Yulianingsih diperbarui 29 Des 2022, 16:38 WIB
Ilustrasi COVID-19. Foto: (Ade Nasihudin/Liputan6.com).

Liputan6.com, Milan - Hampir setengah dari penumpang pada dua penerbangan terpisah minggu ini dari China ke Milan, Italia dinyatakan positif COVID-19. Pejabat kesehatan di Italia telah mengumumkan bahwa mereka akan menguji semua pelancong yang datang dari negara Asia Timur tersebut.

"Dua penerbangan penumpang yang sakit (terinfeksi COVID-19) tiba di Bandara Malpensa dari China pada Senin," Bloomberg melaporkan seperti dikutip dari New York Post, Kamis (28/12/2022).

Pada penerbangan pertama, 35 dari 92 penumpang dinyatakan positif Virus Corona COVID-19, sedangkan pada penerbangan kedua, 62 penumpang dari 120 terinfeksi, menurut kepala kesehatan wilayah Lombardy Guido Bertolaso.

Penumpang yang positif COVID-19 telah diisolasi, dan petugas telah meningkatkan upaya pelacakan kontak mereka.

Menteri Kesehatan Italia Orazio Schillaci pada hari Rabu mengumumkan bahwa tes akan diperlukan "untuk semua penumpang dari China dan transit melalui Italia."

Para pejabat mengatakan langkah itu akan sangat penting untuk mencegah penyebaran varian baru Virus Corona COVID-19.

“Langkah ini penting untuk memastikan pengawasan dan identifikasi varian virus apa pun untuk melindungi populasi Italia,” kata Schillaci, menambahkan bahwa rincian lebih lanjut dari rencana tersebut akan diberikan nanti.

Pengumuman Schillaci mengikuti pembalikan kebijakan ketat "nol-COVID" China awal bulan ini. Perubahan mendadak itu disinyalir telah memicu wabah infeksi COVID terbesar di China, sejak dimulainya pandemi dan membuat rumah sakit kebanjiran, kehabisan ambulans dan tidak dapat merawat beberapa pasien kritis.

Sekitar 37 juta orang mungkin telah tertular COVID-19 di China pada 20 Desember saja, dan sebanyak 248 juta orang — hampir 18% dari populasi China — tertular Virus Corona tersebut dalam 20 hari pertama bulan Desember.

 

 


AS Ikut Jejak Aturan Sejumlah Negara Hadapi Pelancong China

Bendera Amerika Serikat (AP PHOTO)

Pejabat AS mempertimbangkan untuk mengambil tindakan tambahan bagi para pelancong yang datang dari China, mengingat kurangnya data terkait virus dari pemerintah China.

"Ada kekhawatiran yang meningkat di komunitas internasional tentang lonjakan COVID-19 yang sedang berlangsung di China dan kurangnya data transparan, termasuk data urutan genomik virus, yang dilaporkan dari RRT," kata para pejabat, yang meminta anonimitas, dalam pernyataan tertulis Selasa 27 November.

"Tanpa data ini, semakin sulit bagi pejabat kesehatan masyarakat untuk memastikan bahwa mereka akan dapat mengidentifikasi potensi varian baru dan mengambil langkah cepat untuk mengurangi penyebarannya," kata pejabat tersebut, seperti yang pertama kali dilaporkan oleh Bloomberg.

"AS mengikuti sains dan saran dari pakar kesehatan masyarakat, berkonsultasi dengan mitra, dan mempertimbangkan untuk mengambil langkah serupa yang dapat kami ambil untuk melindungi rakyat Amerika."

Para pejabat menunjuk pada langkah-langkah baru-baru ini yang diterapkan oleh negara lain, seperti Jepang, India, dan Malaysia, untuk pelancong yang datang dari China.

Tak butuh waktu lama, AS akhirnya memutuskan hampir semua penumpang pesawat udara dari negara tersebut harus menunjukkan bukti hasil negatif tes COVID-19 jika hendak memasuki wilayah udaranya.

Aturan itu mulai berlaku 5 Januari 2023. Pengecualian hanya diberlakukan pada penumpang berusia di bawah dua tahun.

Langkah yang diambil AS itu menyusul kebijakan serupa yang telah diberlakukan oleh India, Italia, Jepang dan Taiwan.

"AS mengambil langkah proaktif guna melindungi kesehatan masyarakat Amerika dan waspada terhadap potensi munculnya varian COVID-19," kata pejabat kesehatan federal seperti dikutip dari VOA Indonesia, Kamis (29/12/2022).

Pada kesempatan tersebut, pejabat kesehatan federal juga menyebutkan bahwa pemerintah China tidak memiliki dan transparan dalam menyajikan data terkait Virus Corona COVID-19.

"Ada gambaran terbatas tentang data urutan genomic, tentang varian yang terdapat di China dalam basis data global. Selain itu pengujian dan pelaporan kasus baru juga berkurang. Berdasarkan absennya data ini, semakin sulit bagi kami untuk mengidentifikasi varian baru yang menyebar ke AS," demikian kilah pejabat itu ketika berbicara pada wartawan pada Rabu 28 Desember.

Pejabat tersebut berbicara dengan syarat anonim.

Pembatasan tersebut akan berlaku untuk individu yang melakukan perjalanan dari wilayah China daratan, Hong Kong, dan Makau, termasuk mereka yang akan transit sebelum menuju ke tempat lain.


Warga China Buru-Buru Rencanakan Bepergian

Ilustrasi (iStock)

Sebelumnya dilaporkan, masyarakat China yang terputus dari seluruh dunia selama tiga tahun oleh pembatasan COVID-19, berbondong-bondong ke tempat-tempat perjalanan pada Selasa (27 Desember) menjelang pembukaan kembali perbatasan, bahkan ketika infeksi yang meningkat membebani sistem kesehatan dan mengguncang perekonomian.

Dilansir Channel News Asia, Rabu (28/12), langkah-langkah zero COVID - dari perbatasan yang ditutup hingga lockdown berkepanjangan - telah menghancurkan ekonomi China sejak awal 2020, bulan lalu memicu ketidakpuasan publik terbesar di daratan sejak Presiden Xi Jinping mengambil alih kekuasaan pada 2012.

Perubahan kebijakannya pada bulan ini berarti virus sekarang menyebar sebagian besar tidak terkendali di seluruh negara berpenduduk 1,4 miliar orang.

Namun, statistik resmi menunjukkan hanya satu kematian akibat COVID-19 dalam tujuh hari terakhir hingga Senin, memicu keraguan di antara pakar kesehatan dan penduduk tentang data pemerintah. Angka-angka tersebut tidak konsisten dengan pengalaman negara-negara yang jauh lebih sedikit penduduknya setelah dibuka kembali.

Dokter mengatakan rumah sakit kewalahan dengan pasien lima sampai enam kali lebih banyak dari biasanya, kebanyakan dari mereka sudah lanjut usia. 

Pakar kesehatan internasional memperkirakan jutaan infeksi setiap hari dan memperkirakan setidaknya 1 juta kematian akibat COVID-19 di China tahun depan.

  


Warga China Bersiap Liburan Imlek ke Luar Negeri Usai Aturan Buat Paspor Kembali Dibuka

Ilustrasi Bendera China (AFP/STR)

Selain itu, pemerintah China mengatakan akan kembali mengeluarkan aturan pembuatan paspor agar warga China bisa liburan Tahun Baru Imlek bulan depan.

Dikutip dari laman NST.com.my, Rabu (28/12/2022), hal ini memungkinkan wisatawan China bisa bebas berwisata dan berbelanja ke negara lain seperti kawasan Asia dan Eropa.

Namun, juga menimbulkan bahaya bagi wisatawan yang mungkin bisa menyebarkan COVID-19 karena kasus di negara tersebut sedang melonjak.

China berhenti mengeluarkan paspor pada awal pandemi COVID-19 pada awal 2020, sebagai bagian dari kontrol anti-virus paling ketat di dunia dan mencoba memblokir pelajar, pebisnis, dan pelancong lain untuk pergi ke luar negeri.

Perjalanan turis ke China ditutup. Pengusaha dan warga tertentu diizinkan masuk namun lewat masa karantina hingga satu minggu.

Administrasi Imigrasi Nasional China mengatakan akan mulai menerima aplikasi pembuatan paspor pada 8 Januari untuk paspor biasa untuk pariwisata.

Pemerintah juga telah mencabut atau melonggarkan sebagian besar masa karantina, pengujian, dan aturan lain di China, bergabung dengan Amerika Serikat, Jepang, dan pemerintah lain dalam upaya hidup dengan virus alih-alih menghentikan penularan.

Jepang dan India menanggapi lonjakan infeksi di China dengan mewajibkan tes virus untuk pelancong dari negara tersebut.

 

Infografis Libur Natal dan Tahun Baru, Ini 5 Langkah Cegah Lonjakan Covid-19 (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya