Liputan6.com, Jakarta Surat sakit sejatinya dibuat berdasarkan kondisi kesehatan seseorang. Biasanya, karyawan perlu menyertakan surat sakit saat hendak izin bekerja untuk upaya pemulihan.
Namun, tak jarang surat sakit justru disalahgunakan. Bahkan, bisnis jual beli surat sakit dapat dengan mudahnya ditemui di dunia maya. Iklan dengan narasi ambigu tentang surat sakit yang bisa didapatkan dalam waktu 15 menit pun sempat viral beberapa hari lalu.
Advertisement
Lalu, bagaimana sebenarnya cara mengetahui keaslian surat sakit?
Ketua Bidang Hukum Pembinaan dan Pembelaan Anggota (BHP2A) Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Dr dr Beni Satria mengungkapkan bahwa salah satu hal utama yang dapat dilakukan adalah memastikan lebih dulu keaslian dokternya.
"Pertama, pastikan dulu yang bersangkutan dokter atau bukan. Memastikannya mudah, teman-teman bisa cek sendiri di www.idionline.org. Di situ jelas, ketikan saja nama saya (atau dokternya), nanti akan keluar itu. Untuk memastikan saya dokter anggota IDI atau bukan," ujar Beni dalam media briefing ditulis Kamis, (29/12/2022).
"Kalau tidak terdaftar atau tidak ada namanya, boleh dicek kembali di Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), di situs www.kki.go.id. Dari situ nanti akan terlihat," tambahnya.
Beni menjelaskan, penting untuk memastikan keaslian dokter lebih dulu karena dokter memiliki kewajiban untuk punya surat tanda registrasi (STR) dan surat izin praktik (SIP) jikalau hendak melakukan praktik kedokteran.
"Bahkan untuk melakukan praktik mandiri, dia wajib memasang papan praktik. Kalau dokter tersebut bukan dokter, artinya tidak punya STR, SIP, ada ancaman pidana denda Rp100 juta," kata Beni.
Syarat Surat Sakit Tidak Sah
Sehingga Beni mengungkapkan bahwa jikalau dokter yang bertanggung jawab dalam surat sakit tersebut tidak terdaftar namanya di IDI maupun KKI, serta tidak diketahui STR dan SIP, maka dapat dipastikan surat sakit tersebut tidaklah sah.
"Kalau ternyata dia bukan dokter, tentu (surat sakitnya) tidak sah karena bukan dikeluarkan oleh dokter," ujar Beni.
Begitupun jikalau dokter tidak melakukan rangkaian praktik kedokteran pada pasien. Beni menjelaskan, sebelum dapat mengeluarkan surat sakit, ada rangkaian praktik kedokteran yang wajib dilakukan.
Rangkaian praktik kedokteran tersebut berupa anamnesa atau wawancara, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, penentuan diagnosis, dan terakhir mengeluarkan surat keterangan sakit.
"Kalaupun yang bersangkutan itu dokter, tetapi tidak melakukan rangkaian praktik kedokteran, maka ini potensi indikasinya bisa masuk ke pelanggaran etik dan disiplin mengeluarkan surat keterangan tanpa dia periksa sendiri kebenarannya," kata Beni.
Advertisement
Rangkaian Praktik Kedokteran Sebelum Surat Sakit Keluar
Lebih lanjut Beni pun menjelaskan secara rinci rangkaian hal apa saja yang perlu dilakukan dokter sebelum mengeluarkan surat sakit pasien. Pertama, soal anamnesa atau mewawancarai pasien tentang kondisi awal yang dikeluhkan.
"Kalau dalam istilah polisi, wawancara itu interogasi, BAP (berita acara pemeriksaan). Jadi dia harus wawancarai dulu pasiennya. Setelah diwawancarai, kalau dia pusing, pusingnya sudah berapa lama? Batuk, batuknya berapa lama? Batuknya berdahak atau kering, itu wawancara. Digali terus," ujar Beni.
Kedua, yang perlu dilakukan dokter adalah pemeriksaan fisik pasien. Mulai dari suhu tubuh, tekanan darah, hingga denyut yang muncul dari tubuh. Bahkan, dokter perlu memeriksa dengan meminta pasien berjalan, berdiri, hingga jongkok secara berulang.
"Jadi periksa fisiknya. Kalau memang dia mengaku batuk, dokter harus meletakkan stetoskop di paru-paru pasien baik depan dan belakang untuk mendengar suara asingnya. Mungkin ada sesuatu di paru-parunya sehingga membutuhkan pasien istirahat nanti," kata Beni.
"Termasuk kalau pasien mengaku anemia, lemas, dokter akan melihat tangan, bibir, matanya pucat atau tidak," tambahnya.
Tahapan Menuju Dikeluarkannya Surat Sakit
Selanjutnya yang ketiga adalah pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan cek laboratorium sesuai dengan apa yang dikeluhkan pasien saat wawancara sebelumnya.
"Jangan semua diperiksa (laboratorium). Sesuai dengan wawancara pasien. Jadi kalau dia batuk, yang perlu diperiksa mungkin darah lengkap sama sputumnya. Untuk dilihat batuknya ini virus, bakteri, atau jamur," kata Beni.
"Ya kalau misalnya pemeriksaan penunjang lain rontgen atau CT scan untuk melihat gambaran paru-parunya. Ada bercak tidak, ada tumor tidak, karena ada banyak orang yang batuk tidak sembuh, ada tumor di sana. Itu namanya pemeriksaan penunjang."
Keempat, membuat diagnosis pasien dan menentukan resep obat. Beni menegaskan, rangkaian ini merupakan proses yang harus dilakukan secara berurutan, tidak boleh diloncat.
"Setelah melewati rangkaian --- baru kemudian terbit surat keterangan sakit," pungkasnya.
Advertisement