Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah ahli dihadirkan sejumlah terdakwa dalam perkara pembunuhan berencana Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J, termasuk oleh Ferdy Sambo, Putri Candrawathi dan Bharada E. Kehadiran mereka untuk memberikan pendapatnya yang bakal meringankan hukuman para terdakwa atau A de Charge.
Kedua kubu sama-sama menghadirkan ahli pidana. Mereka pun "Saling serang" dengan meminjam keterangan ahli soal sejumlah hal topik yang memungkinkan dapat meringankan hukuman dalam perkara pembunuhan berencana Brigadir J.
Advertisement
Dari kubu Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi, saksi ahli yang dihadirkan mulai dari Mahrus Ali (Ahli Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia) hingga Elwi Danil (Ahli Hukum Pidana Universitas Andalas).
Sementara dari kubu Bharada E, saksi ahli yang dihadirkan adalah Albert Aries (Ahli Hukum Pidana Universitas Trisakti), Romo Franz Magnis-Suseno (Ahli Filsafat Moral), Reza Indragiri Amriel (Ahli Psikolog Forensik), hingga Liza Marielly Djaprie (Ahli Psikolog Klinis).
Hal-hal yang dibahas para ahli tersebut mulai dari status justice collaborator, masalah hasil lie detector, psikologi para tersangka hingga konflik moral.
Strategi Adu Saksi Ahli
Pakar Hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menjelaskan adu keterangan saksi ahli antara kubu Sambo dan Bharada E merupakan hal biasa dalam persidangan.
Tim Penasihat Hukum penasihat hukum kedua kubu tentu berusaha semaksimal mungkin menghadirkan orang-orang kompeten guna membela klien mereka.
"Itu normal karena masing-masing pihak berhak untuk mengajukan saksi yang meringankan untuk membela diri, tapi sepenuhnya menjadi kewenangan hakim untuk mempertimbangkan atau tidak," kata Fickar kepada Liputan6.com, Kamis (29/12/2022).
Pakar Hukum Universitas Parahyangan, Agustinus Pohan, menilai keterangan ahli sebenarnya tidak ada yang meringankan atau memberatkan. Sebab, keterangan ahli adalah orang yang diminta memberikan keterangan sesuai dengan keahliannya, tidak memberatkan atau meringankan.
"Ini kan sumpahnya sumpah keilmuan, bagaimana dia bisa memberatkan atau meringankan. Hasilnya apakah memberatkan, meringankan, terserah majelis hakim," kata Agustinus kepada Liputan6.com, Kamis (29/12/2022).
Ia mengatakan, jangan menggunakan terminologi keterangan ahli memberatkan atau keterangan ahli meringankan. Sebab, itu sama saja dengan merendahkan ahli-ahli yang memberikan keterangan di muka persidangan.
"Mereka adalah orang orang yang memberikan keterangan sesuai dengan keahliannya. Tapi kalau dikatakan yang memberatkan, meringankan, kan berarti subyektif. Intinya sepenuhnya berlandaskan scientific. Apakah hasil meringankan atau memberatkan (kubu Sambo atau Bharada E), biar majelis hakim yang menilai saja," ucap Agustinus.
Status Justice Collaborator Bharada E
Saksi ahli kubu Sambo menilai Bharada E tidak pantas jadi justice collaborator (JC). Sebab, status JC hanya bisa diberikan pada tindak pidana kasus pencucian uang, korupsi, narkotika, dan kasus kekerasan seksual, bukan kasus pembunuhan.
Sementara saksi ahli Bharada E menyebut Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) berhak memberikan perlindungan kepada Bharada E karena pentingnya informasi dari saksi untuk mengungkap suatu perkara.
Pakar Hukum Universitas Parahyangan, Agustinus Pohan, menjelaskan memang ada kelemahan dari aturan mengenai JC yang menjadi bahan perdebatan.
"Memang, secara formal aturannya JC hanya dimaksudkan untuk tindak pidana tertentu. Karena dulunya terkait korupsi. Artinya itu sebetulnya diberikan untuk mengungkap tindak pidana. Agar orang punya keberanian, untuk itu maka kemudian dibuatlah semacam aturan untuk bisa memberi reward untuk mengimbangi adanya tekanan-tekanan agar orang bersedia memberikan kesaksian," kata Agustinus.
"Tapi menurut saya, dua-duanya (perdebatan kubu Sambo dan Bharada E) tidak ada salahnya. Yang satu mengatakan bisa saja. Dan terserah pada hakim, kalau hakim mau memberikan mau apa? Jadi kalau satu berpegang pada aturan betul. Tapi kalau hakim mau memberikan keringanan, dimana masalahnya? Jadi itu sepenuhnya nanti diserahkan saja kepada majelis hakim untuk punya pertimbangan sendiri, apakah pertimbangan formal bahwa ini ada ketentuan membatasi, menurut saya enggak juga. Diserahkan kepada hakim."
Agustinus mengatakan, wajar jika Bharada E diberikan keringanan karena kesediaannya mengungkap kasus. Dan tidak ada yang dirugikan dari hal ini.
"Kecuali yang kemungkinan dirugikan keluarga Yoshua. Tapi kan keluarga Yoshua sepertinya malah berbaik baik dengan Bharada E. Tidak ada pihak yang dirugikan, itu tetap bisa diberikan ketemunya menurut saya ada pada majelis hakim apakah akan memberikan keringanan. Keringanan seperti apa kita serahkan saja."
Hal senada dikatakan Pakar Hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar. Menurut dia, semua dikembalikan kepada majelis hakim.
"Dua-duanya pendapat tidak ada yang benar atau salah. Yang pasti tidak ada ketentuan yang membatasi untuk kasus apa saja JC bisa diberlakukan atau tidak," kata Fickar.
"JC bisa diberikan kepada saksi atau pelaku yang bekerjasama membongkar sebuah kejahatan sampai ke akar-akarnya. kompensasi dari itu JC akan menerima pengurangan tuntutan/hukuman."
Advertisement
Hasil Lie Detector Jadi Alat Bukti?
Adu saksi ahli juga terjadi mengenai hasil lie detector atau tes deteksi alat kebohongan. Saksi ahli kubu Sambo menilai hasil lie detector seharusnya tidak bisa digunakan sebagai alat pembuktian dalam perkara.
Sementara saksi ahli dari kubu Bharada E memandang hasil tes lie detector bisa jadi alat bukti yang sah dalam persidangan.
Mengenai hal ini, Pakar Hukum Universitas Parahyangan, Agustinus Pohan, menilai lie detector tidak bisa dan bukanlah alat bukti.
"Karena lie detector itu secara keilmuan tidak menjamin kebenaran. Itu alat yang bisa dikalahkan oleh manusia. Kalau alat yang bisa dikalahkan manusia terus menjadi patokan, menurut saya tidak tepat. Di seluruh dunia saya belum pernah mendengar lie detector sebagai alat untuk membuktikan. Selain itu, juga ada potensi error," kata Agustinus.
Namun, kata Agustinus, lie detector tetap bisa jadi alat pertimbangan hakim. "Meski begitu, tetap itu bukan bukti yang tidak bisa disangkal. Jadi jangan menganggap bahwa karena lie detector ngomong begini, maka kebenarannya begini. Itu keliru."
Hal senada dikatakan Pakar Hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar. Menurut dia, lie detector bukan alat bukti sebagaimana ditentukan Pasal 184 KUHAP. Karenanya lie detector tidak mempunyai kedudukan dan kekuatan atas alat bukti di pengadilan.
"Alat bukti menurut KUHAP itu adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, keterangan terdakwa, dan petunjuk," kata Fickar.
Ia menjelaskan, petunjuk adalah gabungan dua atau lebih alat bukti yang melahirkan satu petunjuk (kecuali alat bukti keterangan Ahli). Jadi untuk menilai (bohong atau jujurnya) seorang saksi, tidak perlu lie detector.
Tapi Majelis Hakim bisa membandingkannya dengan alat bukti keterangan saksi lainnya atau dengan surat seperti visum. Maka akan didapat satu petunjuk.
"Jadi lie detector tidak dibutuhkan pengadilan, karena jika saksi diketahui berbohong, maka akan diperkarakan sebagai keterangan palsu," ucap Fickar.
Adu Saksi Ahli Soal Status Justice Collaborator
- Ahli Kubu Sambo-Putri
Tim Penasihat Hukum Putri sempat mempersoalkan penyematan status justice collaborator (JC) atau saksi pelaku ke Bharada E dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Mereka pun meminta pendapat ahli hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII), Mahrus Ali, pada Kamis 22 Desember 2022 lalu.
"Nah, pertanyaan sederhananya, apakah klausul justice collaborator ini bisa digunakan untuk Pasal 340 (Pembunuhan Berencana) atau Pasal 338 (Pembunuhan) (KUHP)?" tanya pengacara, Febri Diansyah saat sidang di PN Jakarta Selatan.
Lantas, Mahrus menjelaskan, Pasal 28 Undang-Undang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menerangkan, justice collaborator hanya diberikan kepada pelaku tindak pidana tertentu untuk beberapa jenis pidana.
"Persoalannya itu adalah karena di Pasal 28 itu kan JC itu hanya diberikan kepada pelaku tindak pidana tertentu. Di situ dijelaskan pelakunya kan banyak tuh jenisnya tindak pidananya, cuma di situ ada klausul yang umum lagi termasuk kejahatan-kejahatan lain yang ada potensi serangan dan itu harus berdasarkan keputusan," kata Mahrus.
Lalu, Mahrus menambahkan, hanya tersangka tindak pidana kasus pencucian uang, korupsi, narkotika, dan kasus kekerasan seksual yang boleh diberikan status justice collaborator. Sejauh ini, Mahrus mengatakan tersangka pembunuhan tidak bisa mendapatkan status tersebut.
"Dalam konteks ini maka sepanjang tidak ada keputusan ya ikuti jenis tindak pidana itu, apa tadi pencucian uang, korupsi, narkotika kemudian apa lagi perdagangan orang, kekerasan seksual, pembunuhan tidak ada di situ," ujar Mahrus.
- Ahli Kubu Bharada E
Pada kesempatan lain, Tim Pengacara Bharada E seolah menyerang balik keterangan ahli kubu Sambo-Putri tersebut. Mereka pun menghadirkan Ahli Hukum Pidana Universitas Trisakti, Albert Aries.
"Tetapi dalam penjelasan terakhir, ada frasa lain di situ yang tidak boleh dibaca secara parsial. Di sana dikatakan bahwa tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi saksi atau korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya," kata Albert saat sidang di PN Jakarta Selatan, Rabu (28/12/2022).
Atas dasar itulah, Albert menilai kalau pemberian JC akan dilakukan secara objektif oleh LPSK dalam kewenangan memberikan perlindungan sebagaimana Syarat sesuai Pasal 28 UU Perlindungan Saksi dan Korban.
Di mana dari aturan yang disorot Albert, tertuang dalam Poin E yang menjelaskan adanya penekanan ancaman dialami oleh yang bersangkutan. Sebagai pertimbangan pemberian perlindungan dalam hal ini Bharada E.
"Nah poin menarik adalah di Poin E adanya ancaman nyata atau kekhawatiran mengenai kejadian ancaman fisik atau psikis terhadap saksi pelaku atau keluarganya. Padahal kita tahu ya, dalam tadi tidak ada saksi pelaku. Tetapi dalam konteks perlindungan gitu," kata Albert.
"Dan lima item tadi tidak harus dipenuhi secara kumulatif. Contoh di poin c mengatakan asetnya nanti akan dikembalikan kan tidak ada kaitannya pembunuhan dengan aset," tambah dia.
Selain itu, Albert mengatakan, LPSK berhak memberikan perlindungan Pasal 28 ayat 2 perihal pentingnya informasi dari saksi untuk mengungkap suatu perkara.
"Perlindungan itu bisa diberikan kepada seseorang yang memang ingin mengungkap suatu kejahatan. Sebenarnya definisi kejahatan serius ini kan berbeda. Tetapi gini, kita bisa melihat dari Pasal 6 konvensi hak sipil politik yg telah diratifikasi Indonesia melalui UU 12/2005 tentang ICCPR," ujarnya.
Advertisement
Adu Saksi Ahli Soal Lie Detector
- Ahli Sambo-Putri
Penasihat Hukum Ferdy Sambo dan Putri juga mempersoalkan keabsahan hasil lie detector atau tes deteksi alat kebohongan. Mereka menilai tes tersebut tidak bisa dijadikan alat bukti dalam persidangan.
Ahli hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII), Mahrus Ali, berpendapat hasil lie detector atau alat pendeteksi kebohongan seharusnya tidak bisa digunakan sebagai alat pembuktian dalam perkara.
Konteks jawaban dari Mahrus diawali dengan pertanyaan dari Tim Penasihat Hukum, Rasamala Aritonang yang mempersoalkan keabsahan dari hasil lie detector atau alat pendeteksi kebohongan ketika dijadikan sebagai alat bukti.
"Apakah kemudian dalam konteks tadi saudara jelaskan bukti tersebut dapat digunakan atau tidak apabila tidak sesuai dengan aturan yang seharusnya?" tanya Rasamala saat sidang, di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Kamis (22/12).
"Itu dasar hukumnya bentuknya apa?" tanya Mahrus memastikan.
"Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Nomor 10 Tahun 2009," jawab Rasamala.
Atas jawaban tersebut, Mahrus menilai jika proses pemeriksaan dengan lie detector seharusnya didasari dan diatur melalui hukum acara dalam undang-undang yang berlaku.
"Artinya apa itu tidak legal harusnya (Lie Detector). Artinya apa, tidak boleh menggunakan dasar itu sebagai dasar untuk membuktikan poligraf. kenapa karena dia juga dasarnya bukan undang-undang," jelas Mahrus.
Sebab, Mahrus menyampaikan ada aturan dalam hukum hak asasi manusia (HAM) yang membatasi atau limitasi untuk apa saja yang berlaku sebagai pembuktian dalam hukum acara.
"Jadi didalam hukum HAM itu ada namanya limitasi, pembatasan hak itu dengan undang-undang yang mulia termasuk mengatur hukum acara," jelasnya.
Mahrus juga mengatakan dalam hukum pidana dalam setiap kasus harus didasari dengan alat bukti yang sah. Syarat alat bukti itu sah pun dilandasi dengan prosedur yang benar dan materil atau sumber hukum yang mengaturnya.
"Kalau ini alat bukti itu sah harus ada dua, satu caranya sah mengikuti prosedurnya, kedua materilnya sah. kalau tidak diikuti bisa jadi hasilnya tidak valid," ucapnya.
- Ahli Kubu Bharada E
Sementara pada sidang Rabu (28/12/2022), Ahli Hukum Pidana Universitas Trisakti, Albert Aries memandang hasil tes lie detector bisa jadi alat bukti yang sah dalam persidangan. Termasuk dalam perkara dugaan pembunuhan berencana, Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.
Berawal dari pertanyaan Tim Penasihat Hukum Bharada E soal keabsahan hasil lie detector seluruh terdakwa perkara pembunuhan berencana Brigadir J yang sebelumnya dipaparkan saat sidang dan diragukan kubu Ferdy Sambo-Putri.
"Bagaimana pendapat ahli dalam menilai kekuatan pembuktian dari keterangan ahli poligraf?" tanya tim pengacara Bharada E dalam sidang.
Kemudian, Albert mengatakan perihal barang bukti sejatinya sudah diatur dalam Pasal 39 KUHP dan alat bukti sudah diatur dalam Pasal 184 KUHP. Namun dalam prakteknya memang soal lie detector belum diatur. Karena, merupakan metode pembuktian yang baru.
"KUHP membedakan alat bukti dengan barang bukti. Barang bukti diatur dalam Pasal 39 KUHP, alat bukti diatur (Pasal) 184 KUHP yang limitatif ada saksi ada surat ahli petunjuk keterangan terdakwa," kata dia
"Ketika ada metode seperti itu yang mungkin belum termaktub atau diatur dalam KUHP karena prinsip hukum acara itu limitatif dan interaktif, terbatas dan memaksa," tambah dia.
Albert menilai hasil lie detector bisa saja dijadikan sebagai alat bukti dalam persidangan dengan syarat dipaparkan oleh ahli terkait dan sah menjadi salah satu yang menjadi pertimbangan hakim.
"Kita ketahui KUHP ini dari tahun 81 banyak tidak update dengan perkembangan terkini, teknologi sebagainya. Maka ketika hasil metode itu dibunyikan, maka ketika hasil pemeriksaan itu dibunyikan oleh keterangan ahli, maka dia bisa menjadi alat bukti yang sah dan sepenuhnya pertimbangannya otoritatif hakim untuk menilai," bebernya.
Sebelumnya, hasil Lie Detector sempat dibeberkan Ahli Polygraph Polri bidang Komputer Forensik, Aji Febriyanto. Terkait hasil tes kejujuran atau lie detector Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Bripka Ricky Rizal, Kuat Ma'ruf dan Bharada Eliezer.
Hasilnya, Ferdy Sambo nilai totalnya -8 (Bohong), Putri Candrawathi -25 (Bohong), Kuat Ma'ruf dua kali pemeriksaan, yang pertama hasilnya +9 (Jujur) dan kedua -13 (Bohong), Bripka RR dua kali juga pertama +11 (jujur), kedua +19 (jujur), Bharada E +13 (jujur).
Adapun nantinya pendapat kedua ahli tersebut akan menjadi bahan pertimbangan dari Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan dalam menjatuhi hukuman atas para terdakwa.