Kesenian Montro, Selawat Khas Bantul yang Dapat Pengaruh Keraton Yogyakarta

Dalam bahasa Jawa, kata 'montro' berarti nama bunga mentimun.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 31 Des 2022, 23:00 WIB
Ilustrasi berdoa, berselawat, Muslim. (Photo by brgfx on Freepik)

Liputan6.com, Yogyakarta - Montro Sukalestari merupakan kesenian yang berasal dari Dusun Kauman, Pleret, Bantul, Yogyakarta. Awalnya, kesenian ini berfungsi sebagai sarana dakwah, terutama saat peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW dan hari besar Islam lainnya.

Mengutip dari warisanbudaya.kemdikbud.go.id, pada 11 April 1939 di Kauman Pleret, Bantul, hadir Kanjeng Pangeran Yudanegara. Ia merupakan menantu Sri HB VII yang memberikan sentuhan-sentuhan pada lagu dan singir slawatan montro.

Pada lagu iringan montro, tampak pengaruh dari wayang orang Keraton Yogyakarta dengan maca kanda. Sejak saat itu, seni montro banyak diminati oleh masyarakat Kauman, Pleret, Bantul.

Dalam bahasa Jawa, kata 'montro' berarti nama bunga mentimun. Nama tersebut juga bisa diartikan sebagai nama gending montro.

Perbedaan antara shalawat Maulud dan selawat montro adalah pada gerakan tarinya. Shalawatan Maulid hanya dilakukan dengan duduk bersila, sedangkan shalawatan montro memiliki gerakan tari di dalamnya.

Adapun tarian ini juga memiliki beberapa perlengkapan instrumen pengiring, di antaranya 4 buah rebana, 1 kendang batangan, 1 kendang ketipung, kempul, gong, 6 orang pelantun lagu, dan seorang maca kandha. Kelompok penari montro juga ikut melantunkan syair lagu.

Pada pementasannya, semua seniman montro duduk bersila dengan suasana hening. Sikap tersebut sesuai dengan isi lantunan lagu syair di dalam musiknya.

Penari montro pun juga menempati posisi duduk. Jika ada gerak yang harus dilakukan, mereka akan menggerakkan sebagian badan dan lehernya dengan lembut. Sesekali, tangan mereka juga ikut bergerak lembut sesuai dengan irama yang dilantunkan.

 

Penulis: Resla Aknaita Chak

Saksikan video pilihan berikut ini:

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya